Makna "Ada" dalam Diri Ronaldo dan Kurt Cobain

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Makna "Ada" dalam Diri Ronaldo dan Kurt Cobain

Oleh: Rio Rizky Pangestu*

Dalam buku “Filsafat Manusia” karya Zainal Abidin, termuat pandangan salah satu filsuf Jerman, Martin Heidegger (1889-1976), yang berpendapat bahwa salah satu “penyakit” yang menghinggapi manusia modern adalah “lupa akan makna ada”. Secara teoretis, hal tersebut berangkat dari keengganan manusia untuk melihat sisi makna atau nilai yang tersirat dalam ilmu pengetahuan yang mereka peroleh. Sedangkan secara praktis, “lupa akan makna ada” digejalai dengan krisis identitas pada manusia modern.

Krisis identitas ini terjadi ketika manusia itu “ditentukan” eksistensinya oleh orang lain, yaitu saat manusia berusaha mengejar nilai-nilai yang berlaku dan dianut secara global oleh orang kebanyakan dan takut untuk menampilkan dirinya sendiri yang sesungguhnya. Mulai dari cara bersikap yang baik, moralitas, cara berpakaian, gaya hidup, hingga cara berpose ketika sedang difoto, semuanya mengikuti tren kebanyakan orang. Tak peduli itu semua sebenarnya cocok atau tidak dengan kepribadian masing-masing individu tersebut. Dalam hal demikian, media massa, baik fisik maupun digital, menjadi elemen yang paling berperan dalam meng-arus-kan berbagai informasi tentang tren terbaru dan sebagainya, yang pada akhirnya mempengaruhi manusia modern dalam menentukan eksistensinya.

Banyak hal yang menyebabkan krisis identitas tersebut terjadi. Salah satu contoh di antaranya disebabkan oleh kekhawatiran individu tersebut, kala apa yang menjadi pilihan atau sikap nya, dianggap berbeda dan asing di pandangan umum. Kekhawatiran ini wajar, karena --masih menurut Heidegger, manusia merupakan mahkluk yang memiliki dunianya sendiri ketika mempersepsikan atau menilai objek yang dilihatnya. Ketika mempersepsikan objek yang dilihatnya, manusia akan menilai objek tersebut, berdasarkan perspektif dari pengalaman-pengalamannya di masa lalu, sehingga yang tercipta adalah penilaian secara sepihak kepada objek yang bersangkutan.

Cristiano Ronaldo, salah seorang mega bintang di era sepakbola masa kini, kerap menjadi objek dari apa yang disebut penilaian sepihak tersebut. Pemain yang lahir di Funchal, Madeira, 5 Februari 1985 tersebut, dengan segenap popularitas yang disandangnya, sudah barang tentu tingkah-polahnya hingga ucapannya di media, sering menyedot perhatian publik. Statusnya yang tidak hanya sebagai bintang Real Madrid dan Portugal, melainkan juga bintang di beberapa iklan produk-produk ternama, menjadikan perhatian publik yang tertuju kepadanya bukan cuma dari penggemar sepakbola tapi juga dari dunia hiburan. Dampak dari perhatian ini mencuatkan beragam opini dari persepsi masing-masing.

Pelbagai opini hadir, dari mulai yang baik hingga buruk, tersirat, terlontar, dan tertuang, melalui berbagai bentuk dari siapapun yang menaruh perhatian pada dirinya. Namun, jika boleh mengeluarkan sebuah hipotesis, Ronaldo dengan segala gelagat dan ekspresinya yang sering terlihat congkak baik saat di dalam maupun di luar lapangan, agaknya lebih banyak mendapat penilaian buruk sebagai bad boy dari publik, dibanding sebagai seorang publik figur yang pemalu, baik, sopan, nan ramah.

Di Piala Eropa 2016 misalnya, usai Portugal ditahan imbang Islandia, Bild menerbitkan artikel soal kesombongan pemain berjuluk CR7 ini. Judul artikelnya pun menohok: "Pria Sia-Sia yang Paling Sombong di Planet Ini. Artikel ini muncul sebagai reaksi dari ucapan Ronaldo usai pertandingan.

"Ini adalah malam keberuntungan buat mereka. Kami seharusnya dapat tiga poin, tetapi kami baik-baik saja. Saya pikir, mereka juara Piala Eropa, saat mereka merayakan di akhir laga, itu tak bisa dipercaya, saat mereka tidak berusaha untuk bermain dan hanya bertahan, bertahan, dan bertahan. Ini opini saya, menunjukkan mentalitas mereka tipis dan mereka tidak akan melakukan apa-apa di kompetisi ini,” ujar Ronaldo, seperti dilansir BBC.

Di waktu yang lain, saat ia diwawancarai oleh majalah Italia, Undici, CR7 sempat mengklaim bahwa dirinya merupakan pemain terbaik dalam 20 tahun terakhir.

“Di manakah saya menilai diri saya di antara para pemain top lainnya dalam 20 tahun terakhir? Berpikir positif, maka saya percaya dengan apa yang telah saya capai sejauh ini, saya yang terbaik. Atlet terbaik selalu menjadi pengaruh besar dalam olahraga mereka, jadi saya pikir saya telah memberikan dampak yang sangat penting," ujar Ronaldo pada Undici.

Bukan sekali-dua Ronaldo menyatakan pernyataan-pernyataan yang terdengar angkuh. Masih banyak pernyataan atau sikapnya yang oleh sebagian orang dianggap sebagai suatu arogansi dan membikin jengkel. Bahkan, mantan rekan setim Ronaldo di Real Madrid, Gonzalo Higuain, pernah berpendapat bahwa Ronaldo merupakan orang yang berlebihan dan sangat terobsesi dengan predikat pemain terbaik dunia.

“Ronaldo sangat egois. Jika Anda tak berkata ia pemain terbaik dunia, dia bukan teman Anda. Cristiano berpikir bahwa ia yang terbaik, tapi dia berlebihan. Saya berbagi ruang ganti dengan Messi, dan tak ada yang sepertinya,” ujar Higuain.

Lantas, apakah dengan banyaknya penilaian negatif terhadap dirinya, lantas membuat CR7 mengubah karakternya?

Jawabannya dapat ditemukan kala BBC Sport pada 2015 lalu mewawancarai dirinya. Kala itu ia memproklamirkan --seperti biasa, dirinya sebagai pemain terbaik dunia. Bahkan lebih hebat dari pesaing masyhurnya di Barcelona, Lionel Messi.

"Aku tak peduli apa yang dipikirkan orang-orang, yang dikatakan mereka tentang aku. Bagiku, aku selalu yang terbaik. Mungkin dalam pikiran Anda, dia (Messi) yang terbaik, tapi di pikiranku, aku selalu lebih baik darinya,” tegas Ronaldo.

Yang menarik, di lain kesempatan pada 2015 lalu, majalah The Times mewawancarai perihal sisi personal nya yang dinilai arogan dan dibenci oleh sebagian orang, Ronaldo menanggapinya dengan diplomatis. "Saya memang bukan orang paling rendah hati di dunia ini, saya akui itu. Tapi saya tidak pura-pura. Di satu sisi, saya sangat rendah hati. Saya suka untuk belajar," tegas Ronaldo.

Pengakuannya dan kalimat “Tapi saya tidak pura-pura” seakan dilemparkan Ronaldo untuk menegaskan bahwa, walaupun sikapnya itu tidak disukai sebagian orang, tetapi setidaknya dia tidak munafik pada dirinya sendiri dengan berpura-pura menjadi “baik”, mengikuti keinginan orang banyak. Ronaldo lebih memilih untuk “tidak lupa akan makna ada” atas eksistensinya, dengan menjadi dirinya sendiri secara utuh dan tak berpura-pura hanya demi menyenangkan penilaian umum.

Sifat keras kepala Ronaldo dan keteguhan untuk tetap menjadi diri sendiri tanpa banyak ambil pusing dengan penilaian orang-orang terhadap nya, mengingatkan saya akan sifat salah seorang superstar di dunia musik, yang juga sangat fenomenal di zamannya, Kurt Cobain (1967-1994).

Dalam buku biografinya yang ditulis Charles R. Cross, “Heavier Than Heaven: A Biography of Kurt Cobain” (2001), sangat kentara terlihat, bahwa Kurt merupakan seorang yang keras kepala, bebal, dan tak suka diatur orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam salah satu kisah di buku biografinya diceritakan, kecanduannya mengonsumsi obat-obatan terlarang, sempat coba dihentikan oleh istrinya, Courtney Love, pihak label, dan para sahabatnya, lantaran ia sempat mengalami overdosis sangat parah hingga dilarikan ke Rumah Sakit, usai Nirvana konser di kota Roma. Ia menenggak obat-obatan dalam jumlah banyak menggunakan sampanye. Namun, hasil usaha orang-orang terdekatnya itu nihil. Alih-alih mendengarkan saran dari orang-orang sekitarnya, Kurt, yang tempramental, malah balik menyerang dengan berkata, “Siapa kalian ini? Berani-beraninya mengatur hidupku!” Kurt pun tetap menjadi pengguna obat-obatan terlarang hingga akhir hayatnya.

Sifat keras kepalanya untuk tetap menjadi dirinya sendiri, tak peduli dengan pandangan orang lain terhadapnya, dipatenkan lewat diktum tersohornya, “I’d rather to be hated for who I am, than loved for who I am not.”

Berdasarkan hal tersebut, dapat terlihat ada satu kesamaan sifat dari Cristiano Ronaldo dengan superstar musik grunge itu: Mereka menolak secara tegas-apa yang disebut Heidegger, “lupa akan makna ada” sebagai manusia modern, dengan tidak takut menjadi diri mereka sendiri di tengah arus popularitas yang melambungkan mereka, karena bisa saja sewaktu-waktu publik berhenti menyukai mereka, karena sikap dalam diri mereka yang “tak sesuai” dengan “standar publik”, tentang bagaimana seharusnya seorang figur masyarakat bersikap.

Penulis adalah fotografer paruh waktu dan seorang pelajar yang bersekolah di alam semesta. Berakun twitter @riopngst.

Komentar