Yang Fana adalah Messi, Ronaldo Abadi

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Yang Fana adalah Messi, Ronaldo Abadi

Oleh: Viriya Paramita*

Sulit untuk menentukan pilihan saat ada dua penguasa di satu hutan. Apalagi, bila keduanya begitu menakutkan dan mengagumkan di saat bersamaan.

Sosok mereka begitu dipuja, bagaikan juru selamat yang siap menebus segala dosa manusia. Alhasil, para pengikut masing-masing bisa jadi begitu fanatik dalam mempertahankan keyakinannya, entah dengan membela yang satu secara membabi buta ataupun menghujat yang lain dengan kesesatan berpikir yang menawan.

Banyak contoh kasusnya, dari para ekstremis Apple dan Microsoft hingga fundamentalis Jokowi dan Prabowo. Bahkan, di dunia sepakbola pun kita mengenal para radikalis Messi dan Ronaldo. Perdebatan soal siapa yang terbaik di antara Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo telah terjadi selama sekiranya hampir satu dekade terakhir. Dari tahun ke tahun, rivalitas mereka rasanya kian sengit, sementara para pendukung masing-masing pun terlihat semakin singit.

Pembahasan biasa dimulai dari segi statistik, entah soal jumlah gol atau gelar juara. Tak sampai di situ, situasi mulai memanas saat topik masuk ke ranah yang sangat subjektif, dari sikap masing-masing pemain di dalam dan luar lapangan, hingga kadar ketampanan dan kedermawanan. Selalu seperti itu, hingga di ujung perbincangan yang melelahkan akhirnya kedua kubu penggemar terpaksa bersepakat: biar bagaimanapun Messi dan Ronaldo sama-sama belum pernah juara bersama tim nasional.

Di titik inilah mereka menemui celah perdamaian. Karena sehebat apa pun Messi dan Ronaldo, keduanya tak akan pernah bisa berada di kelas yang sama dengan para legenda semacam Pele, Diego Maradona, Zinedine Zidane atau Ronaldinho, selama belum pernah mengangkat trofi internasional.

Nama-nama tersebut di atas akan selalu diingat sebagai pesepakbola kelas wahid yang mampu mengangkat performa tim sendirian di saat-saat krusial bersama klub maupun negaranya masing-masing. Hampir tak ada celah untuk mempertanyakan kapabilitas mereka di masa jayanya. Sementara itu, akan selalu ada “namun” dalam retrospeksi perjalanan karier Messi dan Ronaldo. Keduanya memang menyenangkan untuk dilihat, tapi terasa getir untuk diingat.

Menunggu Messi dan Ronaldo jadi juara bersama Argentina dan Portugal bagaikan menunggu datangnya Godot: lucu dan melelahkan. Keduanya punya kecenderungan impoten kala membela negara masing-masing, terutama di laga-laga besar. Banyak pihak kerap menyalahkan pelatih Argentina yang tak mengerti cara menempatkan Messi di lapangan dan memaksimalkan potensinya. Ada pula yang berujar, Messi kehilangan Xavi dan Andres Iniesta saat bersama tim nasional.

Sementara untuk Ronaldo, selain fakta bahwa ia kerap bermain di bawah standar, orang-orang cukup mafhum bahwa Portugal memang tak cukup bagus untuk menjuarai apa pun, terutama sejak generasi emas mereka satu per satu gantung sepatu, entah Rui Costa, Luis Figo, Vitor Baia atau Pedro Pauleta. Namun, musim panas 2016 nyatanya membawa narasi baru dalam sebuah lakon dua babak nan mencengangkan.

Babak satu: tragikomedi

Walau baru setahun berselang sejak Cile keluar sebagai juara Copa America 2015, turnamen yang sama kembali digelar secara khusus pada 3-26 Juni 2016 untuk memperingati 100 tahun penyelenggaraannya. Itu berarti, sebagian besar jadwal kompetisi terpaksa bertabrakan dengan Piala Eropa yang diadakan selama sebulan penuh dari 10 Juni hingga 10 Juli 2016.

Alhasil, pecinta sepakbola dunia bagai mendapat durian runtuh dengan kesempatan menyaksikan dua turnamen akbar beda benua itu terselenggara bersamaan. Di sisi lain, ini jadi saat yang tepat untuk membandingkan langsung performa dua pemain terbaik dunia, Messi dan Ronaldo, di ajang internasional. Bisa dikatakan, ada dua plot berbeda yang saling terkait satu sama lain dalam lakon ini.

Messi mengawali perjalanannya di Copa America dengan gemilang. Argentina sukses memenangi seluruh pertandingan di fase grup dan La Pulga bahkan sempat mencetak trigol dalam kemenangan 5-0 melawan Panama. Ia pun berhasil mencetak masing-masing satu gol saat timnya mengalahkan Venezuela di perempat final dengan skor 4-1 dan Amerika Serikat di semifinal dengan skor 4-0.

Secara keseluruhan, sejak laga pertama hingga semifinal, Messi tampil subur dengan torehan lima gol dan empat asis – belum termasuk raihan jenggot terlebat semenjak ia mengawali karier profesional sebagai pesepakbola. Intinya, ia terlihat garang dan sangat siap untuk melibas juara bertahan Chili di laga pamungkas.

Para penggemar pun mulai berkoar, bahwa inilah saatnya bagi sang dewa untuk menuntaskan takdirnya, menasbihkan diri sebagai yang terbaik sejagat dengan membawa pulang sebuah trofi internasional. Keberhasilan tentu akan disambut dengan gegap gempita karena Argentina kadung terlampau lama berpuasa: 13 tahun nirgelar, termasuk kekalahan di dua final Copa America (2007 dan 2015) dan satu final Piala Dunia (2014).

Mereka bilang, ini akan jadi kisah ideal bagi Messi, sosok rendah hati yang telah merasakan begitu banyak penderitaan sejak kecil kala mesti mengidap penyakit hormon yang menghambat pertumbuhannya. Bila semua berjalan lancar, besar kemungkinan Disney akan mengadaptasi babad Messi ke layar lebar.

Namun, yang terjadi di luar dugaan. Argentina kalah setelah melalui adu penalti, yang mana Messi pun gagal menuntaskan eksekusi. Messi menangis. Publik Argentina menangis. Para penghujat bersorak dengan bengis. Remuk, Messi memutuskan undur diri dari tim nasional.

“Buat saya, tim nasional sudah selesai. Saya sudah mencoba sebisa saya. Menyakitkan tidak bisa menjadi juara bersama Argentina. Saya tidak bisa meraihnya.”

Sementara itu di belahan dunia lain, Ronaldo menandai petualangannya di Piala Eropa dengan menolak ajakan tukar kostum dari kapten Islandia, Aron Gunnarsson, dan melempar mikrofon seorang jurnalis dari Correio da Manha TV ke danau.

Kemudian, Portugal hanya mampu seri tiga kali di fase grup, tapi tetap lolos sebagai salah satu tim peringkat ketiga terbaik berkat aturan baru yang meloloskan 24 tim ke putaran final Piala Eropa. Aturan yang dicetuskan Michel Platini, legenda Perancis sekaligus Presiden UEFA yang terlibat dalam skandal suap yang memaksanya untuk menepi dari dunia sepak bola selama enam tahun.

Babak satu pun ditutup dengan tawa dan tangis.

Babak dua: arus balik

Portugal melanjutkan performa tak meyakinkannya sepanjang babak gugur Piala Eropa. Mereka menyingkirkan Kroasia lewat gol semata wayang Ricardo Quaresma di babak perpanjangan waktu, unggul adu penalti dengan Polandia, dan untuk pertama kalinya menang di waktu normal saat melawan Wales.

Orang-orang boleh mencerca, mengatakan mereka beruntung semata. Namun, biar bagaimanapun Portugal sukses melaju kembali ke babak final setelah menanggung malu kala dikalahkan Yunani di rumah sendiri pada partai puncak Piala Eropa 2004.

Kesempatan untuk meraih trofi internasional ini bisa jadi yang terakhir bagi Ronaldo. Maklum, kini ia telah berusia 31 tahun. Senjakala hampir tiba untuknya. Lagi pula, tak ada yang berani memastikan Portugal bisa menemui kesempatan yang sama di Piala Dunia 2018 atau bahkan Piala Eropa 2020.

Karena itu pilihannya hanya dua: menang atau tidak sama sekali.

Namun, nyatanya Ronaldo hanya menjadi cameo di partai terpenting dalam hidupnya. Sebuah terjangan dari Dimitri Payet pada menit ketujuh membuyarkan segalanya. Ronaldo berteriak kesakitan memegangi lutut kiri. Dua kali ia mencoba bertahan tetap berada di lapangan. Walau begitu, Ronaldo hanya manusia biasa yang punya batasan. Ia terpaksa ditarik ke luar pada menit ke-25.

Di titik ini, kebanyakan orang telah siap mengirimkan kabar turut berduka pada para pendukung Portugal di seluruh dunia. Tuan rumah Perancis, yang memang bermain lebih meyakinkan sepanjang turnamen, diyakini akan keluar sebagai juara.

Para redaktur olahraga berbagai media pun mungkin telah menyiapkan narasi baru untuk diterbitkan dalam beberapa jam ke depan, dari keberhasilan Perancis setelah meninggalkan para penggawa angkatan emas 1987 seperti Karim Benzema, Samir Nasri, dan Hatem Ben Arfa, hingga kutukan Messi dan Ronaldo di kompetisi internasional yang terus saja berlanjut.

Tak disangka, arus balik kejayaan Portugal ternyata baru saja dimulai. Ronaldo, yang patah hati dan menangis kecewa karena cedera, menolak hanya berdiam diri menyesali. Ia memutuskan untuk tetap berkontribusi dengan caranya sendiri.

“Saat jeda, Cristiano punya kata-kata yang fantastis untuk kami. Dia memberi kami banyak kepercayaan diri dan bilang, ‘Dengar, saya yakin kita akan menang, jadi tetap bersatu dan berjuang,’” kata pemain belakang Portugal, Cedric Soares.

Lain lagi ceritanya saat jeda babak perpanjangan waktu.

“Cristiano bilang ke saya bahwa saya akan mencetak gol penentu kemenangan,” ujar Eder, penyerang cadangan Portugal yang baru masuk ke lapangan di menit ke-79 menggantikan Renato Sanches.

Bagai asisten pelatih baru, Ronaldo terus bergerilya di pinggir lapangan dengan lutut dibebat, memberi motivasi dan instruksi pada rekan-rekan setimnya. Ia begitu gelisah kala Perancis mendapat peluang terbuka, dan menangis gembira kala Eder mencetak gol kemenangan pada menit ke-109.

Di titik ini, rasanya bagai penebusan. Ronaldo, yang selalu identik dengan kata egois dan arogan, yang tak pernah mau kalah lebih dari siapa pun, akhirnya sukses jadi juara Eropa dari bangku pemain cadangan. Peran yang selama ini dengan setia dibawakan teman-temannya seperti Quaresma ataupun Eder kala Ronaldo jadi pahlawan penentu kemenangan.

Katanya, pahlawan tak akan bisa jadi pahlawan tanpa figuran yang bertepuk tangan menyambut kepulangannya. Di sini, Ronaldo membuktikan bahkan ia pun bisa jadi pemeran pendukung terbaik bagi negaranya.

Di sisi lain, beban semakin berat untuk Messi setelah ia divonis bersalah atas kasus penggelapan pajak oleh pengadilan Spanyol. Ia didenda 1,7 juta euro dan divonis penjara 21 bulan. Walau hukuman kurungan di bawah dua tahun dapat ditangguhkan di Spanyol, tetap saja selamanya ia akan dicerca sebagai seorang kriminal yang selama ini berpura-pura baik di muka publik.

Alhasil, malam puncak Piala Eropa 2016 telah mengubah segalanya, termasuk alur perdebatan antara para pendukung garis keras Messi dan Ronaldo.

Messi telah mencetak 453 gol di level tertinggi sepanjang 12 tahun karier profesionalnya bersama Barcelona, sementara Ronaldo sukses menorehkan 487 gol dalam 14 tahun bersama Sporting Lisbon, Manchester United dan Real Madrid.

Messi sukses meraih 28 gelar juara di level klub, termasuk empat trofi Liga Champions, sementara Ronaldo hanya mampu mendapatkan 17 gelar juara, termasuk tiga trofi Liga Champions.

Messi pernah lima kali jadi pemain terbaik dunia versi FIFA, sementara Ronaldo baru tiga kali.

Messi telah mencetak 55 gol bersama tim senior Argentina, sementara Ronaldo sukses mencetak 61 gol.

Messi pernah meraih medali emas Olimpiade bersama Argentina pada 2008, sementara Ronaldo adalah juara Eropa bersama Portugal pada 2016.

Di sinilah perdebatan akan terhenti. Karena, pembelaan apa pun dari pendukung Messi selanjutnya akan otomatis terasa tak relevan, entah soal sikap di dalam dan luar lapangan, hingga kadar ketampanan dan kedermawanan.

“Ronaldo juara Eropa, Bung, dan dia bukan kriminal!”

*Penulis adalah Wartawan. Jatuh cinta pada sepak bola setelah menyaksikan tendangan bebas David Beckham menembus gawang Iker Casillas pada perempat final Liga Champions 2002/2003. Dapat dihubungi di akun Twitter @ViriyaPS atau surel viriya_71@hotmail.com.

ed: fva

Komentar