Agar Sepakbola (Indonesia) Tak Lagi Memakan Korban

Editorial

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Agar Sepakbola (Indonesia) Tak Lagi Memakan Korban

Ulah suporter sepakbola Indonesia kembali membuat dahi berkerenyit. Laga antara Persija Jakarta di Stadion Utama Gelora Bung Karno menghadapi Sriwijaya FC memakan korban. Namun, insiden kali ini terbilang tak lazim. Bukan perselisihan antara suporter, melainkan bentrokan antara pendukung Persija Jakarta, The Jakmania, dengan pihak aparat keamanan.

Bentrokan itu membuat beberapa anggota polisi mengalami luka-luka. Bahkan satu di antaranya mengalami luka serius – dikabarkan Kompas, mata kiri Brigadir Hanafi terpaksa diangkat.

Terlepas adanya unsur balas dendam atas insiden sebelumnya yang menewaskan seorang Jakmania remaja atau membalas aksi kepolisian menembakkan gas air mata (pasti ada alasan mengapa polisi menembakkan gas air mata), yang dilakukan Jakmania kali ini jelas tidak bisa dibenarkan. Bentuk kekerasan apapun, terlepas dari siapa yang melakukannya, tak mungkin lepas dari hukum positif.

Namun bukan soal alasan kekerasan itu yang ingin kami soroti. Di samping aksi kekerasan di atas, ada hal yang lebih menggelitik, yakni hukuman Komisi Disiplin Indonesia Soccer Championship (ISC) terhadap insiden ini. Menjadi menggelitik karena Komdis ISC seolah tidak belajar dari yang sudah dan pernah terjadi.

Kekerasan suporter Indonesia tentu bukan kali ini saja terjadi. Terlalu banyak pula yang menjadi korban akan aksi kekerasan dari bentrokan yang melibatkan suporter. Di sinilah harusnya Komdis atau pengelola liga, yang meski mengatasnamakan pengelola baru namun merupakan orang-orang yang sebelumnya juga terlibat, harus bisa berbenah.

Persija Jakarta, atas kejadian di GBK kemarin, ‘hanya’ mendapatkan hukuman denda 100 juta rupiah, dinyatakan kalah WO (0-3) dan larangan penggunaan atribut Jakmania di pertandingan Persija Jakarta (kandang maupun tandang) hingga akhir ISC. Disebut ‘hanya’ karena hukuman seperti inilah yang berpotensi kembali menimbulkan masalah serupa di masa mendatang.

Larangan penggunaan tanpa atribut takkan menimbulkan efek finansial yang terlalu besar kepada klub, terutama jika dibandingkan dengan hukuman larangan tanpa penonton. Sementara bagi suporter, apakah sekadar melepaskan atribut akan membuat mereka-mereka yang datang ke stadion untuk berbuat onar kehilangan kesempatan? Memangnya suporter tak beratribut tak mungkin berbuat kekerasan?

Di sinilah terlihat Komdis tak benar-benar ingin menerapkan hukuman yang benar-benar berefek jera.

Sedikit mencontoh Inggris, setiap tragedi atau insiden pada pertandingan sepakbola selalu disikapi secara serius. Bahkan bukan hanya oleh pengelola liga atau Komisi Disiplin, melainkan oleh Negara yang memang bertugas menjamin keamanan setiap masyarakatnya.

Inggris pernah mengalami sejumlah tragedi di sepakbola yang memakan korban. Misalnya saja Tragedi Heysel, Tragedi Hillsborough, dan Tragedi Valley Parade pada tahun 1980-an.

Yang paling mendekati dengan kerusuhan GBK adalah Tragedi Heysel. Pada tragedi itu, pendukung Liverpool menyerang pendukung Juventus pada final Liga Champions 1985 di Stadion Heysel. Akibatnya, 39 tewas serta 600 luka-luka.

Pemerintah Inggris kemudian terjun langsung mengusut tuntas masalah tersebut. Bahkan tidak hanya pelaku yang menyebabkan insiden, namun seluruh elemen sepakbola di Inggris pun terkena dampaknya.

Pada tragedi Heysel, meski kala itu hanya pendukung Liverpool yang melakukan kekerasan, kesebelasan lain pun mendapatkan kerugian dari UEFA. UEFA tegas melarang kesebelasan asal Inggris berlaga di kompetisi internasional selama lima tahun dan tambahan tiga tahun untuk Liverpool.

Hal sama juga terjadi ketika terjadi tragedi Hillsborough yang menewaskan 96 pendukung Liverpool pada 1989 silam. Pemerintah Inggris Raya menyelidiki penyebab insiden tersebut terjadi dan menghasilkan laporan yang dikenal dengan nama Laporan Taylor.

Laporan itulah yang mendasari munculnya peraturan-peraturan yang secara tegas harus dipatuhi seluruh pihak pengelola stadion di seantero Inggris seperti pemisah antar tribun, adanya pemeriksaan keamanan, penghilangan tribun berdiri untuk menghindari membludaknya penonton, antar tempat duduk memiliki jarak 78cm hingga 80cm, hingga pengaturan lokasi antara penonton tuan rumah dan penonton tim tamu.

Penyelidikan pemerintah Inggris Raya pula, bukan oleh federasi sepakbola Inggris, apalagi pengelola liga, yang mengusut tuntas tragedi Valley Parade (kebakaran stadion). Langkah-langkah menyeluruh itulah yang akhirnya menyebabkan tak ada lagi tragedi yang sampai memakan korban jiwa. Liga Primer Inggris bahkan saat ini menjadi salah satu liga terbaik dunia.

Apa yang dilakukan Inggris ini patut dicontoh. Pemerintah wajib hadir dan mengambil tindakan serius ketika sebuah pertandingan sepakbola, juga olahraga lain, sampai memakan korban. Apalagi The Jakmania kemarin sampai dengan beraninya melawan aparat keamanan.

Para suporter kesebelasan Indonesia, tidak hanya Jakmania, harus menyadari hakikat pendukung kesebelasan. Suporter memiliki kata dasar “support”, yang artinya mendukung. Sementara mendukung, sangat jauh bahkan bertolak belakang dengan kekerasan.

Klub membutuhkan dukungan, teriakan dan nyanyian, serta pemasukan dari tiket pertandingan atau merchandise jika memungkinkan. Jika seorang suporter mencintai klub yang didukungnya, tentunya ia harus bisa menjaga sikap agar setiap perlakuannya tidak merugikan pihak klub.

Namun kembali lagi, apa yang terjadi di GBK harus menjadi pelajaran serius bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya pemerintah. Menghentikan liga, bahkan melarang penyelenggaraan sepakbola secara akbar (untuk menghindari turnamen-turnamen berskala besar), bisa jadi solusi yang benar jika pengelola liga terlalu memberikan toleransi pada setiap kekacauan yang mengancam nyawa banyak orang.

Perlu kembali diingat, insiden yang sudah terjadi di sepakbola Indonesia sudah terlalu sering berulang, bahkan untuk penyelenggaraan Indonesia Soccer Championship yang dikelola oleh operator liga (yang katanya) baru. Karenanya sepakbola Indonesia membutuhkan hukuman atau sikap yang lebih memberikan efek jera, bukan sekadar denda atau larangan atribut, di mana hal ini bisa dilakukan pemerintah agar sepakbola atau stadion tidak lagi menjadi tempat meregang nyawa.

Komentar