Teofilo Cubillas, Legenda Peru yang (Mulai) Terlupakan

Cerita

by Redaksi 33

Redaksi 33

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Teofilo Cubillas, Legenda Peru yang (Mulai) Terlupakan

Apakah Anda ingin menjadi seorang legenda? Bayangkan kalau Anda menjadi seperti seorang Sir Alex Ferguson, legenda Manchester United, atau, menjadi seperti seorang Diego Armando Maradona, legenda tim nasional Argentina. Pasti rasanya akan menyenangkan, bukan? Semua orang akan menghormati Anda atas apa yang telah Anda lakukan yang membuat anda dinobatkan sebagai seorang legenda.

Namun, menjadi legenda tidak semenyenangkan itu. Ketika menjadi legenda, selain harus siap dengan puja-puji dan kehormatan yang diberikan, Anda juga harus siap dengan sebuah pengasingan yang penuh dengan kesendirian. Ir. Soeratin adalah seorang legenda. Ia membentuk sebuah organisasi yang bernama PSSI. Namun, pada akhirnya hidupnya, ia diliputi oleh sebuah kesendirian, bahkan beberapa orang tidak mengenali makamnya sama sekali.

Teofilo Cubillas adalah orang yang sekarang sedang merasakan hal itu. Seperti halnya para legenda-legenda masa lampau semisal seorang Raul Gonzales yang terlupakan oleh Real Madrid, ataupun seorang Ernst Happel, pelatih yang pernah mengantarkan Feyenoord dan Hamburg menjadi juara European Cup namun sekarang perlahan terlupakan, Cubillas pun sekarang sedang menjalani masa dilupakannya itu.

Di sebuah daerah di pinggiran South Florida, ia menghabiskan waktu di sebuah rumah yang cukup sederhana. Dari rumahnya, tidak tampak ciri-ciri bahwa dirinya adalah pahlawan dalam ajang Piala Dunia bagi Tim Nasional Peru. Namun, dalam salah satu sudut kamarnya yang sedikit tertutup, yang ia buka ketika wartawan ESPN FC, Jeff Carlisle, mengunjungi rumahnya, barulah terkuak ciri-ciri yang menunjukkan dirinya adalah pesepakbola.

Kostum Tim Nasional Peru, yang berdekatan dengan kostum Alianza Lima dan Fort Lauderdale Strikers, klub yang ia bela semasa ia bermain, tersimpan dengan rapi. Ada juga foto dirinya memakai kostum Alianza sambil mendekap anaknya, dan juga foto dari tim Alianza yang mengalami kecelakaan pesawat pada 1987.

"Sisanya ada di Peru, tidak saya bawa ke sini," ujar Cubillas, yang juga biasa dipanggil dengan sebutan "Nene", seperti dilansir ESPN FC. "Di Peru saya menyimpan trofi Silver Boot 1978, saat saya bersaing dengan Mario Kempes sebagai pencetak gol terbanyak," tambahnya.

Pada era 1970an sampai 1980an awal, hampir semua orang mengelu-elukan nama seorang Cubillas. Tercatat, pada kurun 1973 sampai 1977, ia pernah membela dua klub di Eropa, yaitu FC Basel (kurun waktu enam bulan) dan FC Porto (dalam waktu tiga musim). Sayang, di Eropa ia tidak bertahan lama dan akhirnya ia pun memilih untuk kembali ke Peru membela Alianza Lima.

Dirinya adalah bagian dari skuat Peru yang berhasil masuk ke babak perempat final Piala Dunia 1970. Ketika itu ia mendapat penghargaan FIFA World Cup Young Player Award berkat kontribusinya membawa Peru ke babak perempat final, sebelum dikalahkan oleh Brasil 2-4.

"Banyak orang bilang bahwa pertandingan melawan Brasil adalah salah satu pertandingan terbaik. Ketika itu, kami kalah 2-4. Brasil memiliki banyak pemain hebat seperti Pele, Tostao, Jarzinho, dan Carlos Alberto. Saya kira, mereka bahkan adalah tim yang dapat bermain tanpa kiper sekalipun, karena serangan mereka luar biasa sekali," kenangnya.

Ia juga menjadi bagian dari skuat Peru yang menjuarai Copa America 1975. Ketika itu, meski Peru tidak lolos ke Piala Dunia 1974 yang diadakan di Jerman Barat, Peru berhasil membayarnya dengan memberikan trofi Copa America yang kedua. Dalam ajang Piala Dunia 1978, ia merupakan pesaing Mario Kempes dalam perebutan trofi Golden Boot. Cubillas kalah satu gol dari Kempes, sehingga ia harus puas hanya mendapatkan trofi Silver Boot.

Sekarang, di masa tuanya, ia banyak memberikan ceramah motivasi bagi mahasiswa-mahasiswa di Peru, kadang juga di Amerika. Ia berusaha untuk menanamkan kepada para pemuda di Peru bahwa menjadi pesepakbola bukanlah segalanya. Kadang, seorang pesepakbola pun harus fokus pada hal lain, semisal belajar.

"Saya selalu menekankan kepada anak-anak muda di Peru, bahwa menjadi seorang pesepakbola profesional bukanlah segalanya. Jika memang bisa membagi waktu antara main bola dan belajar, tidak ada salahnya untuk melakukan hal itu," ujarnya.

Dan bagi timnas Peru yang sekarang, ia melihat bahwa tim ini memiliki peluang untuk berbicara dalam ajang Copa America Centenario. Ia mengucapkan bahwa sekarang ini kekuatan skuat Peru lebih merata dibandingkan dengan pada zamannya dahulu.

"Dulu, terkadang ada kasus ketika lima pemain merebutkan satu posisi yang sama. Hal itu menyulitkan pelatih untuk memilih pemain mana yang terbaik. Sekarang, semua berbeda. Tiap posisi diisi oleh pemain-pemain yang tepat, utamanya adalah pemain-pemain yang bermain di luar negeri," ujar Cubillas.

"Saya akui level kompetisi di Peru masih rendah. Namun, saya percaya, dengan bantuan para pemain yang bermain di luar negeri, Peru bisa mengulang kembali kejayaan seperti dahulu kala," tambahnya.

foto: espnfc.com

ed: fva

Komentar