Ranieri, dari Tinkerman Menjadi Tinkerbell

Cerita

by Redaksi 32

Redaksi 32

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Ranieri, dari Tinkerman Menjadi Tinkerbell

Claudio Ranieri seakan tak henti-hentinya menjadi perbincangan bagi publik, dalam konteks yang positif tentunya. Keberhasilannya menyulap Leicester City dari klub semenjana menjadi raja, membuatnya dianugerahi gelar sebagai pelatih terbaik versi League Managers Association (LMA) yang beranggotakan manajer dari kompetisi profesional di Inggris.

Peraih LMA Award dipilih berdasarkan sistem voting. Penghargaan tersebut tidak cuma terpaku pada raihan trofi pada satu musim, tetapi juga performa tim meski dalam situasi keuangan yang sulit. Maka dari itu, setiap pelatih di Inggris berpotensi untuk mendapatkan gelar tersebut, meski tidak melatih klub di Liga Primer.

Gelar yang diraih oleh Ranieri terasa spesial. Berbeda ketika Eddie Howe yang mendapatkan gelar tersebut di musim lalu saat membawa Bournemouth menjadi juara Divisi Championship atau sewaktu Sir Alex Ferguson membawa Manchester United juara di musim 2010/2011. Ranieri merupakan meleburkan kedua aspek tersebut, dengan kondisi keuangan yang tak terlalu baik mampu mengalahkan dominasi tim mapan dengan merengkuh trofi Liga Primer.

Ranieri menjadi orang Italia pertama sekaligus non Britania Raya kedua yang mendapatkan LMA Award setelah Arsene Wenger yang pernah mendapatkannya pada 2002 dan 2004 silam. Tak ada yang meragukan kelayakan dirinya mendapatkan gelar tersebut. Akan tetapi pemasangan pemain yang hampir selalu sama di tiap pertandingan layak menjadi sorotan. Pasalnya, ia sempat dijuluki sebagai tinkerman, karena kebiasaannya membongkar pasang pemain di tiap pertandingan.

Dalam mengarungi musim 2015/2016 tercatat ada dua pemain yang tak pernah absen di setiap laga, yakni Wes Morgan dan Kasper Schmeichel. Selain mereka, terdapat delapan pemain yang telah mengemas lebih dari 30 laga sebagai starter, artinya Ranieri hanya melakukan rotasi di satu pos saja yakni pada posisi penyerang. Ranieri memasang secara bergantian Leonardo Ulloa dan Shinji Okazaki, meski pemain asal Jepang tersebut lebih sering diturunkan sebagai starter.

Sedikit mundur ke belakang, pada musim 2001/2002 total ia memasang 23 pemainnya sebagai starter dari jumlah 26 pemain yang dimilkinya. Jika dipersentase, ia memasang 88,4% jumlah seluruh pemainnya sebagai starter, tentu sebuah jumlah yang besar untuk tim mapan sekelas Chelsea.

Semusim setelahnya ia masih mengulangi hal yang sama. Dari total 24 pemain, ia memasang 21 pemainnya sebagai starter. Dengan persentase sebesar 87,5%. Metode itu lagi-lagi belum mampu menghasilkan trofi yang dirindukan publik Chelsea.

Bandingkan dengan Jose Mourinho yang di musim 2004/2005, ia hanya memainkan 23 pemain sebagai starter dari 30 pemain yang ada di skuadnya, dengan persentase sebesar 76,6%. Hanya dengan persentase yang lebih kecil dibanding Ranieri, ia justru berhasil menyudahi puasa gelar Liga Primer selama setengah abad yang dialami Chelsea.

Namun itu empat belas tahun yang lalu. Bersama Leicester musim ini ia hanya memasang 19 pemain sebagai starter dari 24 pemain yang tersedia, dengan persentase sebesar 79,1%. Jumlah yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Ranieri yang dulu. Kini seiring bertambahnya usia, Ranieri telah menemukan pakemnya dan mulai meninggalkan kebiasaannya lamanya sebagai tinkerman dan menjelma menjadi seorang tinkerbell.

Tinkerbell adalah sebuah karakter fiksi buatan J.M Barie yang merupakan bagian dari dongeng anak-anak berjudul Peterpan. Tinkerbell sendiri digambarkan sebagai seorang peri yang mempunyai kelebihan untuk memperbaiki panci dan ceret yang rusak. Ia juga hanya bisa berkomunikasi dengan orang-orang tertentu yang akrab dengannya, dan akan bersuara seperti bel yang berdenting apabila berbicara dengan orang asing.

Seperti layaknya Ranieri yang merubah panci dan ceret yang tersedia di Leicester menjadi sebuah perkakas yang bisa menghidangkan makanan paling lezat yang yang dicari oleh banyak orang. Selain itu tak semua tim akan mampu mencerna strateginya, seperti Chelsea yang pernah dibesutnya tak bisa berkomunikasi dengannya. Strategi bongkar pasang yang diterapkannya hanya akan terdengar bising layaknya sebuah bel yang berdenting tak beraturan. Berbeda dengan Leicester yang mendengar bel tersebut sebagai tanda kemenangan kala menjuarai Liga Primer.

Foto: belfasttelegraph

ed: fva

Komentar