Fanatisme dalam Sepakbola

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Fanatisme dalam Sepakbola

Ada yang membikin kita tertegun untuk beberapa saat ketika bintang-bintang yang selalu menjadi harapan banyak orang kehilangan sihirnya di atas lapangan. Ada yang membuat kita kecewa, atau barangkali menyesal, karena pada saat-saat tertentu penantian menjadi sebuah penyesalan yang tak kita perkirakan sebelumnya.

(Ditulis oleh Muhammad Romyan Fauzan)

Selalu alasan dari mereka adalah manusia biasa. Selalu juga di saat yang sama kita seolah tak percaya bahwa mereka manusia biasa, karena kita takjub ketika mereka ada dalam keajaibannya. Selalu juga di saat yang sama kita tidak bisa menerima bahwa hidup adalah menang dan kalah.

Bisa dibayangkan jika kita menjadi seorang Lionel Messi yang telah memberi banyak hal untuk kenikmatan mata kita dengan tarian tango-nya di atas lapangan. Namun ketika dalam beberapa pertandingan ia tak mencetak gol dan bermain buruk, dan tim yang dibelanya kalah, seluruh dunia menghardiknya, bahkan dengan nada yang seperti membela, namun terasa sekali kekecewaannya.

Pada akhirnya ia mencetak gol yang ditunggu-tunggu jutaan pasang mata itu datang juga, gol ke-500 dalam kariernya. Hanya saja Barcelona kalah. Penantiannya itupun menjadi melankoli.

Tapi ada hal yang lebih menarik dari itu; perihal fanatisme. Fanatisme memang bisa menjadi senjata makan tuan jika kita tak menyadarinya. Seseorang bisa murung karena tim kesayangannya kalah. Bahkan teman saya terlihat tidak bersemangat dan begitu sendu saat timnya remuk. Beruntung hanya sedih, di luar sana banyak yang rela mengorbankan nyawa, berkorban segala hal, demi sebuah ekspektasi dari tim kesayangannya.

Dan bagaimana bisa fanatisme menjadikan rasa seseorang sedemikian berubahnya? Ini penting karena berhubungan dengan banyak orang. Sepakbola telah menjadi sebuah peradaban yang lain dari kehidupan manusia di bumi ini. Sepakbola bisa menjadi hiburan di saat sedih, bisa menjadi hiburan yang menyedihkan. Bisa memompa sekaligus menghancurkan suasana orang selama berhari-hari bahkan selamanya. Bisa menjadi kepuasan yang tak terkatakan.

Tak sedikit yang masih sakit hati ketika mengingat Roberto Baggio gagal penalti di Piala Dunia 94. Atau seketika akan muncul kesedihan di benak orang-orang selalu mengingat peristiwa Hillsborough di mana 96 orang menerbangkan nyawa demi sebuah tontonan yang bernama sepakbola. Dan masih banyak peristiwa lain yang lekat dalam ingatan masing-masing orang.

Seorang novelis bernama Marquez bilang bahwa tak pernah ada yang lupa menyimpan harta kekayaannya. Sepakbola pada saat-saat tertentu bisa menjadi kekayaan yang ada dalam memori kita. Karena kita menyimpannya dengan sedih dan gembira. Dan kita menganggapnya penting.

Fanatisme pada sebuah tim bisa dibilang wajar sekaligus tak wajar. Wajar ketika menang dan merayakannya, karena kebahagiaan seseorang bisa didapat dengan jalan apapun. Tetapi sekaligus tak wajar karena kadang ketika kalah bisa merusak suasana hati hingga lebur berkeping-keping.

Tapi itulah, bola itu memang bundar. Tak ada yang berencana untuk menjadikan olahraga ini begitu disegani di muka bumi. Semua berputar begitu saja, dan bisa kita lihat sekarang bagaimana manusia merelakan waktunya untuk sebuah kebahagiaan dan kesedihan yang bernama sepakbola. Bagaimana fanatisme itu hadir dalam diri masing-masing orang.

Sepakbola bukan hanya sekadar hiburan, tapi ada rasa di dalamnya. Seperti jatuh cinta yang tak pernah selesai, berharap cintanya seindah senja, namun seketika malam datang, kalau tak ada bintang, kelamlah yang menyapa. Itulah mengapa orang-orang di seluruh penjuru negeri ini terus berharap ada kompetisi sepakbola. Begitu banyak orang merasakan bahagia ataupun sedih karena si kulit bundar.

Bagi pecinta sepakbola Indonesia, tentunya ada kegembiraan yang menyeruak ketika kompetisi reguler bernama Torabika Soccer Championship akan segera digelar. Nanti kita akan kembali melihat, bagaimana orang-orang tertawa, menangis, tertegun, kecewa karena yang mereka idolakan kalah atau menang. Yang pasti, sepakbola juga mengajari kita untuk bisa menerima apa yang terjadi. Seperti dalam kehidupan yang dilalui, sering hal-hal mengecewakan namun di saat itu kita harus menerimanya. Kita kagum pada sesuatu, ada harapan di situ.

Pada akhirnya, apa yang telah, sedang, dan akan selalu kita kagumi akan selalu berputar seperti bola. Sepakbola pun pada dasarnya permainan, yang akan selalu mempermainkan perasaan kita dengan fanatisme yang ada dalam diri masing-masing kepada yang kita kagumi.

Tentang fanatisme pada sepakbola, Johan Cruyff pernah berkata, "There is only one ball, so you need to have it.". Karena sebuah bola, fanatisme itu muncul tanpa kita sadari. Mungkin selama masih ada sepakbola di bumi ini, fanatisme akan selalu ada, dalam sedih dan gembira.



Penulis adalah seorang petani yang hobi membaca, juga penggemar Sepakbola. Beredar di dunia maya dengan akun twitter @uyanromyan.


foto: fxan.net

Komentar