Liverpool vs Man United sebagai Babak Baru Memelihara Rivalitas yang Kian Pudar

Cerita

by redaksi

Liverpool vs Man United sebagai Babak Baru Memelihara Rivalitas yang Kian Pudar

Mulai dari sejarah persaingan kedua kota industri, persaingan jumlah trofi, manajer yang saling serang di media, pemain yang menolak berjabat tangan karena isu rasisme, lagu ejekan mengenai tragedi yang pernah menimpa kedua klub, adalah suguhan yang terjadi diantara kedua klub, Liverpool dan Manchester United.

Kedua klub ini akan bertemu di babak lanjutan Europa League, kompetisi ‘kelas dua’ yang digulirkan UEFA pada tahun 2009 untuk menggantikan Piala UEFA yang sudah bergulir sejak tahun 1971. Laga yang akan mempertemukan kedua tim ini merupakan pertemuan pertama sepanjang sejarah kedua klub di ajang Eropa.

Pertemuan kedua klub selalu menjadi laga yang istimewa, apabila melihat berbagai aspek, diantaranya raihan trofi yang berhasil dibawa oleh kedua klub baik domestik, maupun Eropa. 38 titel liga, 8 Piala Eropa, 3 Piala UEFA, 4 UEFA Super Cup, 18 Piala FA, 12 Piala Liga, serta 35 trofi FA Community Shields adalah menjadi bukti sahih.

Pelatih The Reds, Juergen Klopp mengatakan bahwa laga ini sebagai ‘mother of all football match’ atau ibu dari semua pertadingan sepakbola, saking serunya. Manajer Jerman tersebut menegaskan bahwa pertemuan kedua tim, dimanapun ajangnya, merupakan laga yang spesial.

“Duduk di bench untuk laga Liverpool melawan Man United adalah satu dari hal terbaik yang saya bayangkan. Saya harap ini bukan laga terpenting bagi karier saya di Liverpool, namun (pertandingan) ini amat penting,” ungkap pelatih 48 tahun tersebut.

Isu jumlah trofi adalah hal yang selalu mewarnai rivalitas Liverpool dan Manchester United
Isu jumlah trofi adalah hal yang selalu mewarnai rivalitas Liverpool dan Manchester United

“Liverpool versus Manchester United selalu menjadi partai besar. Ini bersejarah dan kini menjadi semakin istimewa karena kedua tim bertarung untuk posisi di Champions League” ujar manajer MU, Louis van Gaal.

Apa yang dikatakan Van Gaal memang ada benarnya, mengingat posisi kedua tim yang (nampaknya) akan sulit finis di empat besar, maka satu-satunya harapan bermain di Liga Champions musim depan adalah dengan memenangkan trofi Europa League.

Sejarah panjang rivalitas kedua tim dan pendukungnya selalu menjadi topik yang tidak habis-habisnya untuk dibahas. Kedua tim mengalami pasang surut dalam hubungannya sebagai dua klub sepakbola tersukses di tanah Ratu Elizabeth.

Sejarah mencatat, bahwa rivalitas kedua tim sesungguhnya dimulai saat Bill Shankly membawa Liverpool promosi dari Second Division ke First Division pada tahun 1962. Sejak musim 1964 hingga 1967, kedua tim bergantian menjuarai kompetisi tertinggi di Inggris tersebut.

Persaingan kian memanas di akhir 70-an hingga awal 80-an. Salah satunya kemenangan Manchester United di final Piala FA 1977 dan juga semifinal Piala FA 1979. Bahkan rivalitas sempat mencapai titik yang sulit dimengerti, ketika semifinal Piala FA 1985. Kejadian tragedi Heysel yang terjadi satu bulan setelahnya membuat fans Manchester United bisa ‘membalas’ ejekan atas tragedi Munich yang sering dialamatkan pendukung Liverpool kepada mereka.

Rivalitas yang terjadi diantara kedua klub juga tak lepas dari peran media yang memperlakukan pencitraan yang berbeda kepada masing-masing klub. John Williams, seorang football sociologist mengungkapkan bahwa imej ‘glamor dan ramah media’ yang ditampilkan United namaknya lebih menarik publik, mengalahkan Liverpool yang kala itu lebih merajai seakbola Inggris namun lebih menonjolkan imej ‘pekerja keras’.

“Ada persepsi yang terjadi di Liverpool bahwa kesuksesan besar mereka yang dibarengi dengan label ‘profesional’ srta ‘pekerja keras’ selalu ada dalam bayang-bayang (Manchester) United – yang kala itu memiliki julukan The Glams (tim glamor),” ujarnya seperti dikutip BBC.

Williams mengungkapkan bahwa rivalitas antara Liverpool dan Manchester United merupakan rivalitas yang terjadi akibat proses pencarian rival yang sengaja dibuat karena derby sekota masing-masing tim tidak membuat tensi tinggi bagi suporternya.

“Karena Liverpool dan Everton adalah rival ‘pertemanan’. Orang didalam satu keluarga bahkan memilih klubnya masing-masing, tanpa alasan geografis,” ujar Williams. Ia menambahkan bahwa ketika Liverpool tidak mungkin membenci klub sekota, di lain sisi Manchester United juga kala itu tidak melihat rival sekotanya, Manchester City sebagai rival yang kompetitif. Maka, terjadilah rivalitas di antara keduanya.

Mengenai rivalitas, Dr. Richard Elliott, direktur Lawrie McMenemy Center for Football Research di Southampton Solent University, mengungkapkan bahwa rivalitas memang sengaja dibuat agar meningkatkan tensi permainan dan kebutuhan hiburan. “Rivalitas mendorong olahraga kompetitif. Beberapa memang tercipta karena warisan sejarah, namun media juga terkadag membuatnya. Jika anda dapat mebuat sebuah rivalitas, maka and menciptakan produk hiburan yang menarik pada khalayak ramai untuk memastikan mereka mengkonsumsi ‘produk’ yang anda ciptakan sejauh yang mereka inginkan,” terangnya.

Namun rivalitas kedua tim di masa lalu tidak pernah setajam dan sekeras sekarang. Bahkan, dua tim yang merupakan klub tersukses di Inggris ini juga pernah ‘saling tolong’ terlibat skandal pengaturan skor yang terjadi pada tahun 1915, lebih dari seabad yang lalu. Kala itu Liverpool yang sudah aman berada di papan tengah akan menghadapi Manchester United di laga terakhir musim itu.

Saat itu Man United berjuang untuk lolos dari jurang degradasi, bersama Chelsea dan Arsenal. Manchester United saat itu butuh 2 poin (bukan 3 seperti sekarang) dan minimal mencetak dua gol untuk lolos degradasi, terlibat ‘main mata’ dengan Liverpool. Setelah terbukti secara hukum, beberapa pemain yang terlibat dihukum, sebagian lagi tidak terbukti, karena menolak. Salah satunya diduga karena rumah judi mengunggulkan kedudukan 2-0 untuk Manchester United.

Di era 70-an, rivalitas kedua tim yang ada di lapangan ternyata tidak menjalar ke kehidupan sehari-hari. Paddy Crerand, gelandang Manchester United yang bermin dari tahun 1963 hingga 1971 mengungkapkan bahwa ia dan teman-temannya di tim, pernah menonton Liverpool ketika tidak ada pertandingan. “Kami berdiri di The Kop,” ujarnya kepada Guardian. “Saya hampir lupa berapa kali saya menonton Liverpool dari (tribun) belakang gawang. Scousers-penduduk Liverpool tentu saja terlibat perkataan dengan saya, namun itu merupakan humor,” tambahnya.

Crerand juga menceritakan bagaimana manajer Liverpool, Bob Paisley yang kala itu akan pensiun, menawarkan sebuah laga testimonial di Old Trafford sebelum akhirnya laga tersebut batal akibat tidak disetujui oleh polisi setempat.

“Ketika Liverpool bertemu Leeds United di final Piala FA 1965, saya menyaksikan(pertandingan) dengan Noel Cantwell, Dennis Law, dan Maurice Setters dan setelahnya kami mengirim telegram kepada Bill Shankly dan mengucapkan selamat kepadanya,” ujar gelandang yang ikut menyumbangkan Red Devils dua titel liga serta Piala Eropa 1967/68 tersebut.

Match programme laga Manchester United vs. Arsenal. Stadion Anfield menjadi kandang sementara The Red Devils
Match programme laga Manchester United vs. Arsenal. Stadion Anfield menjadi kandang sementara The Red Devils

Bahkan stadion Anfield (ya, Anfield yang itu) pernah menjadi kandang Manchester United pada tahun 1971 setelah Red Devils dilarang menggunakan Old Trafford atas hukuman hooliganisme yang terjadi didalam stadion. Kala itu Liverpool dan Stoke dengan sukarela menawarkan kepada Manchester United untuk menggunakan kandang mereka, Anfield dan Victoria Ground sebagai ‘rumah‘ sementara bagi Manchester United.

Tak hanya itu, banyak yang tak menyadari kalau Liverpool pernah menawarkan dua pemainnya untuk dipinjam Manchester United pasca-tragedi Munich yang merenggut hampir semua anggota tim. Pada final Piala FA 1977, suporter MU yang merayakan juara menyanyikan chants “good luck Liverpool” sebagai bentuk dukungan moral kepada runner-up Liverpool, yang beberapa hari kemudian akan berlaga di partai final Piala Eropa. Hasilnya, Liverpool berhasil menjadi juara setelah menumbangkan Borrusia Moenchengladbach 3-1 di stadion Olimpico, Roma.

Rivalitas kedua tim menjadi berada dalam titik didih saat Manchester United dibawah arahan Sir Alex Ferguson mampu berjaya di Inggris juga Eropa, hingga akhirnya berhasil ‘menyusul’ raihan gelar domestik yang diraih Liverpool.

Potensi konflik yang terjadi diantara kedua tim juga memudar, setelah Sir Alex Ferguson berhenti mengunyah permen karet di pinggir lapangan. Ferguson dikenal gemar menebar pernyataan yang selalu membuat tinggi level rivalitas kedua tim. Dalam satu acara khusus di teater seni The Lowry, Salford, saat ia baru saja pensiun, Ferguson berkata, “Penggemar kami (Manchester United) yang kini bertumbuh dewasa bahkan tak ingat kapan terakhir kali Liverpool sukses,” ujarnya.

Kedua tim telah berganti era. Liverpool akan memulai cerita baru dengan Juergen Klopp, begitupun Manchester United dengan Louis van Gaal-nya. Laga antara Liverpool dan Manchester United di Europa League nanti bisa jadi membuat tingkat rivalitas yang sempat mendingin menjadi panas kembali. Setelah dalam beberapa tahun terakhir, sepertinya hanya kasus yang melibatkan Luis Suarez dan Patrice Evra mewarnai rivalitas diantara keduanya. Prestasi kedua tim yang 'biasa-biasa' saja membuatpertemuan kedua klub ini di Eropa akan memulai babak baru rivalitas yang telah terjalin sekian lama.

Foto: liverpoolecho, public domain, guardian

[tr/dex]

Komentar