Aberdeen, Warisan Kejayaan Sir Alex Ferguson yang (Hampir) Terlupakan

Cerita

by redaksi

Aberdeen, Warisan Kejayaan Sir Alex Ferguson yang (Hampir) Terlupakan

Sebelum mendapatkan gelar "Sir" karena mengharumkan nama Inggris dari Ratu Inggris, Alex Ferguson adalah manajer yang haus gelar. Saat pertama kali menjadi manajer, kemampuannya sebagai pembentuk rezim sudahlah terlihat. Hal ini ia tunjukkan kala masih menangani salah satu kesebelasan asal Skotlandia, Aberdeen pada medio 1978-1986.

Ia mampu membawa Aberdeen menjuarai berbagai gelar yang cukup bergengsi, di antaranya adalah Scottish Premier League, Scottish Cup, Scottish League Cup, dan tentu saja yang paling dikenang adalah European Cup Winners’ Cup. Itulah gelar Eropa prestisius yang ia berikan sebelum akhirnya ia pindah ke Manchester United di tahun 1986.

Awal melatih Aberdeen dan kecanggungan Ferguson

Ferguson mulai menjadi manajer Aberdeen pada 1978, menggantikan Billy McNeill yang hengkang ke Glasgow untuk memanajeri Glasgow Celtic. Sebelumnya, Ferguson mengawali kariernya sebagai manajer di St. Mirren selama empat tahun. Ia berhasil mengantarkan St. Mirren menjuarai Scottish Football League First Division tahun 1977, kompetisi divisi kedua Liga Skotlandia pada saat itu. Ia dianggap sebagai manajer yang spesial dan mampu menyatukan kekuatan muda klub St. Mirren saat itu.

Namun, perselisihan yang ia alami dengan manajemen klub St. Mirren membuat ia akhirnya dipecat oleh presiden klub St. Mirren, Willie Todd. Ferguson pun memutuskan untuk hijrah ke Aberdeen pada 1978, setelah ia menganggap bahwa manajemen St. Mirren tidak membayar pemainnya secara pantas dan tuntutannya agar para pemain St. Mirren lepas dari jerat pajak tidak dipenuhi. Kepindahan inilah yang disesalkan oleh Todd bertahun-tahun kemudian, tepatnya saat ia berusia 87 tahun pada 2008.

Singkat kata, Ferguson pun resmi menjadi manajer Aberdeen mulai Juni 1978. Saat itu, Aberdeen adalah salah satu kesebelasan besar Skotlandia (mungkin sampai sekarang) bersama dengan duo Glasgow, Celtic, dan Rangers, dan juga Dundee United. Hanya saja, Aberdeen sudah lama sekali tidak meraih gelar juara Scottish Premier League, yang terakhir mereka juarai pada 1955 di bawah kepemimpinan Dave Halliday.

Di awal masa manajerialnya di Aberdeen, Ferguson sulit sekali untuk mendapatkan rasa hormat dari para pemainnya. Usia Fergie yang tidak terpaut jauh dengan pemain-pemain lain membuat ia tidak dihormati oleh para pemain, utamanya pemain senior Aberdeen saat itu, Joe Harper. Walhasil, di musim pertama Ferguson menjadi manajer Aberdeen, ia meraih pencapaian yang kurang memuaskan, yaitu hanya mencapai babak semifinal Scottish Cup dan Scottish League Cup, dan finish di urutan keempat Scottish Premier League.

Awal kejayaan di Aberdeen, dan masa jaya sampai 1986

Pada musim 1979/1980, atau tahun kedua ia melatih Aberdeen, Fergie mulai meraih sukses, juga kepercayaan dari para pemainnya. Sukses itu diawali dengan menjuarai Scottish Premier League musim 1979/1980. Selain itu, pada musim yang sama ia juga berhasil mengantarkan timnya melaju sampai ke babak final Scottish League Cup, meski pada akhirnya kalah di final. Namun, Fergie mengakui bahwa capaian inilah yang membuat ia mulai mendapatkan respek anak buahnya di Aberdeen.

“Capaian-capaian mengesankan itu (juara Scottish Premier League dan runner-up Scottish League Cup) telah menyatukan kami sebagai tim, juga, membuat para pemain mulai percaya kepada saya,” tutur Fergie.

Musim 1979/1980 adalah awal, dan sisanya adalah sejarah. Ferguson pun membawa trofi-trofi bergengsi ke lemari piala Aberdeen, mulai dari trofi Scottish Premier League (1979/1980, 1983/1984, 1984/1985), trofi Scottish Cup (1981/1982, 1982/1983, 1983/1984, 19885/1986), trofi Scottish League Cup (1985/1986), trofi Drybrough Cup (1980), trofi UEFA Cup Winners’ Cup (1982/1983), dan UEFA Super Cup (1983). Masa 1979-1986 adalah salah satu masa keemasan Aberdeen di sepakbola Skotlandia, bahkan Eropa.

Untuk di Eropa, trofi UEFA Cup Winners’ Cup adalah salah satu trofi bergengsi selama karier manajerial Fergie di Aberdeen. Menjadi tim yang tidak diunggulkan, namun secara tidak terduga mampu melaju sampai ke babak final, setelah menaklukkan lawan-lawan mereka, termasuk raksasa Jerman, Bayern Muenchen, di babak delapan besar dengan agregat total 3-2. Di babak final, mereka menghadapi raksasa Spanyol, Real Madrid.

Dengan bermodalkan pemain-pemain andalannya macam Jim Leighton, Alex McLeish, Gordon Strachan, Neil Simpson, Eric Black, dan John Hewitt, Aberdeen mampu menjungkalkan Real Madrid di babak final dengan skor 2-1 dalam pertandingan yang digelar di Stadion Nya Ullevi, Swedia. Puluhan ribu suporter Aberdeen yang sampai rela datang ke Swedia dengan menggunakan perahu dan tidur di jalanan Swedia akhirnya pulang ke Skotlandia dengan hati gembira usai Aberdeen menang atas Madrid.

Sampai akhirnya, musim panas 1986, Ferguson mengutarakan keinginannya untuk hijrah dari Aberdeen menuju ke salah satu klub asal kota Manchester. Meski di halang-halangi oleh manajemen Aberdeen, toh pada akhirnya ia tetap pergi ke Manchester, dan seperti yang kita tahu, ia membentuk dinastinya sendiri di sana. Tepat di musim panas 1986, rezim Ferguson yang juga disebut sebagai Furious Fergie oleh para pemainnya di Aberdeen berakhir.

Singkat cerita, Ferguson sekarang sudah menjadi legenda. Tapi, meskipun ia menjadi legenda bukan di tanah Skotlandia, tanah kelahirannya, mungkin bisa dikatakan bahwa Aberdeen memiliki tempat spesial di hati Fergie. Mengapa? Karena Aberdeen adalah batu loncatannya untuk menjalin sebuah dinasti besar lain di tanah Inggris, di sebuah kota industri bernama Manchester.

(sf)

foto: guardian.co.uk

ed: fva

Komentar