Mengenang Kegagalan Kesebelasan Negara Indonesia Menuju Olimpiade Montreal

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Mengenang Kegagalan Kesebelasan Negara Indonesia Menuju Olimpiade Montreal

Oleh: Ajie Rahmansyah*

Kurang lebih 40 tahun lalu, atau tepatnya pada 26 Februari 1976, kesebelasan negara Indonesia menorehkan tinta emas yang sampai hari ini belum bisa diulang kembali. Indonesia yang bermain secara luar biasa, nyaris lolos ke putaran final cabang olahraga sepakbola di Olimpiade 1976.

Malam itu, Indonesia yang bertanding di Stadion Utama Gelora Bung Karno telah mencapai babak final pra Olimpiade Grup II Zona Asia.  Namun, Indonesia gagal meraih asa karena dikalahkan Korea Utara. Iswadi Idris dan kawan-kawan tidak dikalahkan dalam 2x45 menit. Indonesia dikalahkan melalui kejamnya dewi fortuna pada babak adu penalti.

Awal kisah bermula dari Ketua Umum PSSI saat itu, Bardosono, yang memiliki tugas melanjutkan prestasi yang sudah diberikan ketua umum sebelumnya yaitu Kosasih Purwanegara. Di tangan “Mang Kos” sapaan akrabnya, timnas Indonesia memiliki mutu yang saat itu setara dengan raksasa asia lain macam Korea Selatan, Arab Saudi, dan Jepang. Kesebelasan Indonesia pun bermandikan gelar yaitu juara Piala Aga Khan 1967 di Pakistan, Kings Cup di Bangkok setahun berselang, serta Piala Pesta Sukan di Singapura pada 1972.

Langkah Bardosono sebagai ketua umum pun langsung dihadapi dengan target meloloskan kesebelasan garuda ke turnamen Olimpiade 1976 di Montreal, Kanada. Hingga 1976 (bahkan sampai sekarang) Indonesia baru sekali bermain di Olimpiade, lebih tepatnya pada Olimpiade 1956 yang berlangsung di Melbourne.

Ketua umum PSSI ketujuh itu pun akhirnya memilih Wiel Coerver sebagai pelatih kesebelasan Garuda menggantikan pelatih sebelumnya yaitu Aang Witarsa. Keberhasilan Coerver yang membawa Feyenoord juara piala UEFA 1974, serta pendekatan a la Eropa yang dimilikinya pun menjadi alasan dirinya ditunjuk menangani skuad Garuda. Selain itu sikapnya yang keras dan ucapannya yang blak-blakan pun menjadi warna tersendiri bagi sepakbola Indonesia saat itu. Dirinya bahkan tidak segan-segan mengatakan bahwa pemain Indonesia saat itu memiliki mental kacung.

Coerver memulai persiapan menghadapi babak kualifikasi Olimpiade 1976 Grup II Asia dengan mengadakan pelatnas jangka panjang. Selain itu mereka juga dihadapkan dengan dua uji coba menghadapi Ajax Amsterdam dan Manchester United. Dari dua uji coba yang menghasilkan kekalahan 1-4 dari Ajax dan 0-0 melawan Manchester United tersebut menghasilkan 18 nama yang dipersiapkan untuk menghadapi kualifikasi di mana Indonesia juga ditunjuk sebagai tuan rumah. Pemilihan 18 nama itu juga dibantu oleh Ronny Pattinasarani.

Babak kualifikasi dimulai dari tanggal 15 sampai 26 Februari 1976. Indonesia berada satu grup bersama dengan Korea Utara, Malaysia, Singapura, dan Papua Nugini. Pada pertandingan pertama, Indonesia hanya bermain imbang 0-0 melawan Singapura sebelum membantai Papua Nugini 8-2. Akan tetapi di pertandingan ketiga Indonesia dikalahkan Korea Utara 1-2. Kekalahan ini membuat peluang Indonesia tertutup karena berada di peringkat ketiga di bawah Malaysia. Indonesia mau tidak mau harus menang melawan tetangganya di pertandingan terakhir. Korea Utara sendiri sudah memastikan diri tampil di final dengan menyapu bersih empat pertandingan dan memperoleh delapan poin (saat itu kemenangan dihargai dua poin).

Sebanyak 120 ribu penonton saat itu menjadi saksi di mana Indonesia berhasil lolos dari lubang jarum. Malaysia yang bermain bertahan dengan membiarkan Isa Bakar dan Wan Zawawi berada di depan terlihat kerepotan menghadapi kecepatan para pemain kesebelasan Indonesia. Iswadi Idris kemudian membawa Indonesia unggul 1-0 sebelum Malaysia membalas melalui Isa Bakar pada menit 29. Indonesia kembali unggul pada menit ke56 setelah Risdianto menyambut umpan sepak pojok dari Waskito.

Selepas gol tersebut Malaysia kemudian mengurung pertahanan Indonesia. Dikomandoi oleh Oyong Liza dan Suhatman, Indonesia pun bertahan dengan solid. Selain itu mereka juga langsung mengulur-ulur waktu dengan membuang bola sesaat setelah mendapatkan bola. Skor 2-1 pun bertahan dan Indonesia pun lolos ke final menghadapi Korea Utara.

Partai final yang berlangsung pada 26 Februari diawali dengan membludaknya penonton di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Ada lebih dari 120 ribu suporter yang mendatangi GBK bahkan dikabarkan sampai ke lintasan atletik. Pertandingan final ini sendiri dipimpin oleh wasit Toshio Asami dari Jepang.

Korut yang hingga babak final hanya kebobolan satu gol itu kembali menunjukkan permainan mereka yang defensif namun diimbangi dengan permainan serangan balik yang cepat. Sementara anak-anak asuh Wiel Coerver mengandalkan kecepatan-kecepatan di posisi sayap yang diisi oleh Iswadi Idris dan Sueb Rizal.

Meski memiliki sayap-sayap berkategori pelari, namun lini pertahanan Korut tidak bisa ditembus oleh Iswadi dan Sueb. Duet striker Risdianto dan Waskito pun juga mendapatkan pengawalan ketat. Iswadi Idris pun mengungkapkan kepada salah satu media bahwa pada saat itu dirinya sudah merasa habis-habisan berjuang namun pertahanan mereka tetap solid. Lepas 90 menit plus perpanjangan waktu skor akhir tetap 0-0 dan pertandingan harus berlanjut hingga babak adu penalti.

Kapten Iswadi kemudian menanyakan ke Wiel siapa saja yang menjadi algojo.Wiel sendiri ternyata sudah menyiapkan tujuh penendang. Lima penendang pertama Indonesia adalah kapten Iswadi Idris, Junaedi Abdillah, Waskito, Oyong Liza, dan Anjas Asmara. Sementara Risdianto dan Suaeb Rizal disiapkan sebagai penendang berikutnya apabila babak tos tosan ini berlanjut hingga ke babak sudden death.

Tiga penendang pertama Indonesia semuanya berhasil. Indonesia bahkan unggul 3-2 dan sedikit lagi terbang ke Montreal Kanada untuk putaran final sampai akhirnya tendangan dari Oyong liza ditepis oleh Jin In Chol. Bahkan Korut bisa menyamakan kedudukan menjadi 3-3 dan membawa adu pinalti tersebut ke babak sudden death setelah tendangan Anjas Asmara terlalu lemah dan ditahan oleh In Chol.

Korut berbalik unggul 4-3 sebelum Risdianto menyamakan kedudukan. Korut unggul 5-4 setelah Ronny Paslah gagal menghalau tendangan Hong Song Nam. Beban berat ada di pundak Sueb Rizal karena lolos tidaknya Indonesia berada di kakinya. Percaya diri dalam melakukan tendangan penalti Sueb justru melenceng jauh dari gawang. Indonesia kalah dan gagal terbang ke Montreal.

Para pemain Indonesia pun larut dalam kesedihan. Mereka gagal berdiri sejajar dengan skuad Olimpiade Melbourne 1956. Anjas Asmara mengaku bahwa kegagalan di final tersebut adalah titik terendah dalam karir sepakbolanya.

“Kegagalan menendang penalti saat itu merupakan kenangan pahit bagi karier sepak bola saya. Kalau saja tendangan saya masuk maka Indonesia bisa tampil di Montreal,” kata Anjas. Pemain yang juga pernah mengadakan ajang pencarian bakat sepakbola ini pun mengaku bahwa sebenarnya dirinya tidak siap untuk menendang penalti. Hal ini dikarenakan kaki kirinya yang terkilir.

Setelah kegagalan tersebut, Indonesia kesulitan untuk berprestasi. Mereka harus menunggu hingga 11 tahun untuk kemudian mendapat medali emas cabang olahraga sepakbola di Sea Games 1987 di Jakarta. Coerver sendiri kemudian memutuskan pulang ke Belanda sebelum akhirnya kembali ke Indonesia untuk menjadi penasehat teknis di berbagai klub di Indonesia. Kegagalan 1976 tersebut menjadi prestasi tertinggi yang pernah diperoleh Indonesia dalam ajang pra Olimpiade selepas keberhasilan menahan imbang 0-0 Uni Soviet pada 1956. Entah sampai kapan kita terus bermimpi untuk melihat kiprah pemain-pemain sepakbola Indonesia dapat bermain di kejuaraan-kejuaraan besar di dunia.

Diolah dari berbagai sumber


*Penulis adalah seorang mahasiswa Psikologi sekaligus penggemar Manchester United. Tinggal di Yogyakarta berakun twitter @ajielito

Komentar