Jürgen Klopp, Sang Pembawa Romantisme Kejayaan Liverpool Era Bill Shankly

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Jürgen Klopp, Sang Pembawa Romantisme Kejayaan Liverpool Era Bill Shankly

Oleh: Ikhsan Abdul Hakim*

Nama Liverpool begitu termahsyur pada medio 1970-an sampai awal 1990-an. Kala itu, pada 1959, Bill Shankly yang menjadi manajer Liverpool melakukan perombakan besar, bukan hanya pada tubuh melainkan jiwa Liverpool. Ia memperbaiki segala lini yang membuat The Reds memiliki kekuatan untuk naik ke divisi teratas dan mencatatkan kejayaan.

Shankly pun pensiun pada 1974. Estafet kejayaan Liverpool diteruskan Bob Paisley sampai Kenny Dalglish. Sayangnya, setelah itu kejayaan Liverpool seolah memudar; meninggalkan romantisme sejarah penggemar Liverpool di era Premier League.

Tragedi Heysel menjadi awal penanda kemunduran prestasi Liverpool. Mereka absen di kancah Eropa selama enam tahun. Lalu, tragedi Hillsborouh melengkapi catatan buruk tersebut. Puluhan Kopites meninggal yang menyisakan duka mendalam. Bahkan, Kenny Dalglish pun meninggalkan klub yang sedang berjuang meraih gelar karena trauma. Tragedi Heysel dan Hillsborough seolah memberi peringatan kalau masa jaya Si Merah telah sampai pada akhirnya. Selepas itu, pada era Premier League, yang dicecap Liverpool seakan hanyalah kejayaan laten.

Premier League dimulai pada 1992. Liverpool menunjuk Graeme Souness sebagai manajer baru. Tapi kemudian dia menjadi suksesor yang buruk. Ketidakkonsistenan performa menjadi alasan. Meski masih sempat menjuarai Piala FA pada 1992, tapi Souness hanya bertahan sampai 1994.

Roy Evans kemudian ditunjuk menggantikan Souness. Evans berhasil mengembalikan warisan Shankly, yaitu pass and move. Tetapi materi pemain yang kurang mendukung membuat Liverpool tak bisa meneror perebutan gelar juara. Meski muncul juga pemain-pemain muda berbakat, tapi Evans tak mampu membawa Liverpool ke konsistensi yang jaya. Hingga pada 1998, klub menunjuk Gerrard Houllier menemani Evans sebagai joint manager. Tapi kemudian Roy Evans merasa tak cocok dengan Gerrard Houllier dan mengundurkan diri.

Setelah jadi manajer tunggal, Gerrard Houllier melakukan perombakan besar. Nama-nama macam Sami Hyypia, Stephan Henchoz, Dietmar Hamann, dan Gary McAllister masuk. Selain itu Michael Owen juga kian matang dan tampil moncer, juga, Houllier mempromosikan bakat muda bernama Steven Gerrard.

Perombakan Houllier mulai berbuah manis ketika musim 2000/2001 Liverpool memenangi tiga gelar: Piala FA, Piala Liga, dan Piala UEFA. Tapi kejayaan Houllier tak bertahan lama. Taktik bertahan yang diusungnya dianggap tak bisa bersaing di Liga Inggris, sehingga pada 2004 dia digantikan Rafael Benitez.

Ekspektasi tinggi disematkan pada diri Benitez. Mengingat dia—bersama Valencia—adalah pemecah dominasi Madrid-Barca di Liga Spanyol. Ekspektasi itu terjawab, pada akhir musim 2004/2005, Benitez membawa Liverpool juara Liga Champions secara dramatis. Menorehkan sejarah sebagai salah satu final UCL terbaik sepanjang masa. Ditambah musim keduanya yang membawa pulang Piala FA yang tak kalah dramatis pula. Publik Liverpool kembali berandai-andai tentang trofi Liga Inggris dan masa kejayaan.

Pada masa Benitez juga, Liverpool punya ujung tombak setajam Fernando Torres yang didukung lini tengah solid binaan Steven Gerrard dan Xabi Alonso. Hal ini membuat Liverpool pada musim 2008/2009 menampakkan taring di liga. Musim yang hebat sebelum dengan tragis mereka disalip Manchester United yang menjadi juara, dan harus puas sebagai runner-up. Setelah 2008/2009, Benitez menjalani musim yang suram dan performa Liverpool merosot drastis, sehingga dia pun akhirnya dipecat dan digantikan Roy Hodgson.

Tak ada yang istimewa dari era Hodgson. Performa yang angin-anginan ditambah masalah internal klub membuat Liverpool menjadi tim papan bawah. Berada di zona degradasi, hingga akhirnya Roy Hodgson dipecat.

Merajut Era Kejayaan

‘King’ Kenny Dalglish kembali menahkodai Liverpool. Membuat keputusan berani dengan menjual Torres, Dalglish memasukkan Suarez dan Carroll sebagai taring baru. Juga dia berkeputusan memainkan pemain-pemain muda. Kedatangan Dalglish membawa angin segar. Liverpool bangkit dari papan bawah dan mengakhiri musim di peringkat keenam. Raihan luar biasa yang membuat ekspektasi publik kembali membumbung. Pada akhirnya, seperti yang sudah-sudah, pasukan Kenny berakhir mengecewakan dengan finis di bawah zona Liga Champions. King Kenny pun digantikan oleh Brendan Rodgers.

Rodgers sebelumnya telah mengalami era yang membanggakan bersama Swansea. Hal ini membuat para penggemar kembali berharap. Permainan menyerang yang diperagakannya ditambah ketajaman Suarez kembali mengangkat harkat Liverpool. Puncaknya adalah musim 2013/2014. Suarez menggila, Liverpool yang sebelumnya tak difavoritkan juara mengganas di musim ini. Bertengger di puncak klasmen dengan torehan gol yang fantastis pada nyaris akhir musim. Tapi kemudian Gerrard “terpeleset”, penampilan Liverpool angin-anginan, lalu menjadi runner-up lagi.

Akhir era Rodgers ditandai kepergian Suarez dan pensiunnya Gerrard. Liverpool di bawah Rodgers tampil tak konsisten dan menuai hasil-hasil buruk. Kebijakan transfer yang tak tepat tambah memperparah performa klub. Hingga akhirnya, belum lama ini, Brendan Rodgers dipecat digantikan Jurgen Klopp.

Apa bisa diharapkan dari Klopp? Sebenarnya ada banyak, mengingat Klopp adalah yang membawa Borussia Dortmund tampil gilang-gemilang selama beberapa musim. Juga gaya permainan dan kepemimpinannya memang terlihat menjanjikan.

Liverpool—meski masih terbilang inkonsisten—mulai membaik. Terakhir kita melihat bagaimana Klopp dan timnya membuat comeback luar biasa di Carrow Road, skor 5-4 untuk Liverpool setelah sebelumnya tertinggal 1-3. Tapi memang pertandingan dramatis seperti ini telah lekat dalam masa “kejayaan laten” Liverpool. Bagaimana mereka bertarung dengan luar biasa sehingga menimbulkan romantisme yang manis dikenang adalah “biasa”.

Houllier pernah meraih treble dengan dramatis. Begitu pula Rafa yang membawa trofi UCL dan FA Cup dengan dramatis. Belum lagi pertandingan-pertandingan yang menegangkan lagi patut dikenang. Pada masa Premier League, Liverpool memang punya banyak pertandingan macam itu meski minim trofi. Dan para fans sudah begitu rindu dengan gelar liga apalagi masa jaya Bill Shankly sampai Kenny Dalglish dulu.

Kopites terkenal sebagi fans yang tabah, karena romantisme yang dihadirkan selama ini memang membuat jiwa mereka romantik. Pertandingan dramatis, momen-momen jaya yang kadang-kadang, membuat mereka tak menjadi fans glory hunter. Meskipun kerinduan akan trofi dan masa jaya yang sebenar-benarnya kian menjadi. Tetapi mereka tak bakal gampang berpaling dari klub kesayangannya.

Selama era Premier League, tak ada santapan fans Liverpool selain kejayaan yang sebentar saja dan romantisme, apalagi romantisme sejarah. Hal ini menjadi tantangan bagi Klopp. Akankah ia akan meneruskan jejak pendahulunya di era Premier League? Mempersembahkan romantisme dan kejayaan yang sebentar saja? Atau sanggup membawa Liverpool ke garis konsistensi sampai benar-benar berjaya kembali? Biarlah waktu yang menjawabnya.

Meski Klopp telah membawa nafas baru yang baik, jangan terlalu berharap, wahai penggemar Liverpool. Karena, berdasarkan kejadian yang sudah-sudah, selama Premier League, kehidupan Liverpool selalu begini. Membaik untuk kemudian menghadirkan blunder dan tumbang. Tapi siapa tahu? Mungkin juga malah Klopp yang menjadi reinkarnasi Bill Shankly. Lagipula kita bisa melihat bagaimana Klopp mengubah berbagai hal di Liverpool, mulai dari gaya permainan yang aktif menyerang sampai mengelola pemain akademi.

foto: thefootballmind.com

*Seorang mahasiswa dari Gunungkidul. Mantan calon pemain sepakbola ini sedang mempelajari kepenulisan sepakbola. Berakun twitter @ikhsnvc

Komentar