Sembilan Menit Berjalan Kaki

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Sembilan Menit Berjalan Kaki

Oleh: Ganes Alyosha*

Kompleks Gelora Bung Karno yang terletak di Senayan, Jakarta Pusat, merupakan salah satu kawah candradimuka pembinaan sepakbola usia muda di Ibu Kota. Setidaknya terdapat tujuh sekolah sepakbola (SSB) yang aktif menyelenggarakan kegiatan pembinaannya di Senayan.

Mereka adalah ASIOP, Gelora Poetra, Ricky Yakobi, Bintang Muda Senayan, Senayan Star Shadow, Putra Nusantara, dan Tunas Ikaned. Mereka tersebar di lapangan A, B, C dan D yang kesemuanya bisa ditemui di Jalan Pintu I kompleks olahraga tertua di Indonesia tersebut.

Di sana ada puluhan pelatih yang membina ratusan pemain muda masa depan Indonesia. Pemain muda yang bermimpi bisa bertanding membela tim nasional di Stadion Utama Gelora Bung Karno yang sudah barang tentu menjadi pemandangan mereka setiap kali berlatih.

Namun usaha mereka untuk meraih mimpi tidak sepenuhnya mulus. Mereka berlatih saban hari di lapangan yang jauh dari kata sempurna. Kondisi lapangan B yang menjadi markas bagi SSB Gelora Poetra, Ricky Yakobi, dan Bintang Muda hampir seluruhnya berupa tanah berpasir. Salah-salah, anak-anak bisa terluka bila terjatuh. Rumput tak lagi tumbuh karena selain digunakan untuk kegiatan SSB, lapangan B juga disewakan untuk umum.

Kondisi serupa juga dialami lapangan D yang menjadi markas SSB Senayan Star Shadow, Putra Nusantara, dan Tunas Ikaned. Lebih parah lagi di lapangan ini kontur tanahnya bergelombang. Tidak heran banyak anak-anak yang terkena cedera engkel. Nasib lebih baik dirasakan oleh ASIOP yang menempati lapangan A. Kondisinya berumput tebal karena memang hanya ASIOP satu-satunya pihak yang memiliki keistimewaan menggunakan dan merawat lapangan tersebut.

Selain soal lapangan, sejumlah SSB di Senayan juga tak memiliki kurikulum atau blue print pembinaan yang jelas. Akibatnya pelatih kesulitan menerapkan metode yang tepat sasaran. Sering kali ada satu pelatih yang mendidik sekelompok pemain dalam jumlah yang terlampau banyak. Ada pula pelatih yang tidak menggunakan metode latihan sesuai dengan kategori usia pemain-pemainnya. Darius Subardjo, eks asisten pelatih PSS Sleman yang sempat melatih sejumlah SSB di Senayan pun membenarkan hal tersebut. “Sebagai contoh, beberapa pelatih kerap menggunakan metode latihan U-12 untuk diterapkan di tim U-10,” ujar Darius pelatih pemegang lisensi B nasional.

Lebih lanjut Darius mengatakan bahwa dampak dari hal tersebut adalah pemain-pemain muda akan menjadi matang sebelum waktunya. “Mereka memang akan terlihat tangguh dibanding pemain-pemain lainnya, namun itu tidak bagus bagi perkembangan psikologis maupun fisiologisnya,” ujar Darius.

Menurut Darius, pemain-pemain tersebut akan tumbuh menjadi pemain yang cepat puas dan sombong. Lebih parah lagi lanjutnya, metode yang tak tepat sasaran rawan menyebabkan pemain muda mengalami cedera parah.

Hal yang tak kalah fundamental selain lapangan dan kurikulum adalah pelatih sepakbola itu sendiri. Di Senayan kebanyakan pelatih-pelatihnya hanya berlisensi D nasional atau level terendah dalam tingkat lisensi kepelatihan. Hanya sedikit SSB yang memiliki pelatih dengan lisensi di atasnya. Bahkan di Senayan ada pula pelatih yang tidak memiliki lisensi namun telah melatih pemain-pemain muda selama bertahun-tahun. Menilai kualitas melatih mereka pun rasanya segan, karena kebanyakan dari mereka dibayar sangat murah. Kisarannya yaitu 75 ribu hingga 100 ribu rupiah per sekali melatih bagi pelatih berlisensi D atau yang tak berlisensi sama sekali.

Bayaran pelatih yang kecil ternyata memiliki dampak buruk lainnya bagi pembinaan sepak bola di Senayan. Praktek jual-beli tempat di tim inti antara oknum pelatih dengan orang tua siswa tak jarang ditemui. Ini sungguh jauh dari nilai-nilai fair play yang sejatinya sudah harus ditanamkan sejak usia dini. Bicara soal fair play, bahkan kita juga belum membahas praktek pencurian umur yang kerap dilakukan oknum pelatih atau pembina SSB. Suatu praktek yang jelas mengajarkan pemain-pemain muda kita berbuat curang atau bisa membuat mereka memiliki sifat koruptif di kemudian hari.

Mari sedikit bergeser dari lapangan A, B, C dan D. Namun kita masih akan berada di kawasan yang sama tepatnya di Jalan Pintu X-XI. Terdapat kantor pusat federasi sepak bola Indonesia, PSSI. Tidak megah, namun bangunannya terkesan modern setelah proses renovasinya rampung belakangan ini. Konon PSSI telah menempati kantor yang berada satu bangunan dengan SUGBK ini sejak awal 1960-an atau sebelum pindah dari kantor lamanya di Stadion Ikada dan Jalan Semarang 7, Menteng.

Melalui fitur perencana rute milik jasa peta virtual gratis dan online Google Maps, diketahui jarak antara kantor PSSI dengan lapangan ABC dan D adalah 800 meter. Dengan menaiki mobil, Google Maps memprediksi kita dapat menempuh perjalanan dalam waktu 2 menit. Apabila ingin sedikit berkeringat, kita pun dapat menjangkau lapangan ABC dan D hanya dalam 9 menit berjalan kaki dari kantor PSSI. Rasanya tidak berlebihan jika kita menyebut dua lokasi tersebut berjarak sangat dekat.

Lantas, bagaimana kita bisa memercayai bapak-bapak di PSSI mampu memperbaiki sepakbola Indonesia hingga ke penjuru negeri bila sebentuk masalah berjarak sembilan menit berjalan kaki saja mereka abaikan? Apa kabar kondisi lapangan, kurikulum, dan kualitas pelatih SSB di desa-desa yang ada di pelosok negeri? Ah sudahlah, mari berharap revolusi PSSI segera terwujud. Memang tidak ada jaminan pengurus-pengurus baru nanti akan lebih baik dari pengurus yang sekarang. Namun, paling tidak kita tidak lagi berharap pada orang-orang yang sama yang telah terbukti gagal mengurus sepak bola negeri ini selama lebih kurang 20 tahun terakhir.

foto: feelgoodphotos.com

*Penulis merupakan karyawan swasta, lulusan FISIP UI, dan sempat 2,5 tahun menjadi manajer salah satu SSB di Senayan yang bubar karena pemiliknya putus cinta dengan pacar pesepak bolanya. Bisa dihubungi di akun twitter @ganesalyosha

Komentar