Mengendap-endap, Cara Kami Menyaksikan El Clásico

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Mengendap-endap, Cara Kami Menyaksikan El Clásico

Oleh: Muhammad Getar

Menjadi seorang santri yang setiap harinya dijejali dengan berbagai macam kitab – dari kitab gundul sampai kitab yang berbaris - membuat otak kian mengencang. Bangun pagi, sebelum shubuh mengaji kitab. Setelah sholat shubuh, pengajian lagi. Kembali ke asrama menjelang pukul 06.30, membuat kami harus berdesak-desakan mandi setiap hari.

Teng! Pukul 08.00 jam formal masuk kelas. Santri juga mempelajari banyak hal – selain yang berbau keagamaan. Sastra, Fisika, dan lain-lain. Tentu, sesuai dengan jurusan yang diambil.

Mata pelajaran apa yang paling disukai dan sangat jarang bisa untuk dinikmati? Jawabannya, tentu, Penjaskes. Kemudian, Penjaskes kembali dijabarkan. Metode belajar apa yang disukai, tentu praktik, tidak lain yaitu tentang sepakbola. Meskipun begitu santriwati lebih memilih berdiam diri di dalam kelas ketika praktik menendang bola.

Sepakbola sudah sangat lumrah dan menjadi olahraga yang sangat disegani hampir seluruh umat manusia. Tak terkecuali dengan para santri di setiap pondok pesantren. Bagi pondok pesantren yang memiliki fasilitas lengkap, akan sangat mudah untuk bermain bola setiap harinya.

Bagaimana dengan pondok pesantren yang melarang keras anak asuhnya bermain bola? Tentu akan sangat kesulitan untuk menikmatinya. Untungnya, pondok pesantren tempat saya nyantri ada di tengah; tidak melarang keras, tapi tidak juga memperbolehkan, karena tersedianya lapangan yang bisa digunakan untuk bermain sepakbola. Boleh bermain sepakbola, hanya saja jika ketahuan dapat hukuman.

Saya adalah santri yang begitu menyenangi sepakbola. Setiap ustadz yang hendak menjelaskan di dalam kelas kemudian secara tidak sengaja kekurangan alat tulis, saya selalu mengajukan diri membantunya dengan pergi ke kantor untuk mengambilkannya spidol atau tinta.

Hal itu saya lakukan, tidak lain, agar saya bisa membaca koran di kolom ‘olahraga’ surat kabar lokal pagi itu, Lombok Post. Maklum, membaca koran di lain kesempatan agak sulit dilakukan.

Sementara itu, hal yang paling menggugah dan membuat adrenalin kencang selain bermain bola adalah ketahuan untuk (nekat) menonton sepakbola. Ya, selain bermain sepakbola, menonton sepakbola pun menjadi hal lain yang dilarang.

Biasanya, para santri terlebih dulu sudah memiliki jaringan masing-masing ke warga yang dikenal. Setiap akhir pekan, sengaja mampir – hanya untuk menyaksikan sepakbola.

Dulu, salah satu rumah warga yang sudah sangat akrab dengan kami, kami jadikan tempat untuk nonton bareng. Tentu, konsekuensi jika ketahuan sangatlah besar. Selain dipukul menggunakan rotan, nama baik juga akan tercoreng karena akan membuat kami masuk ke daftar ‘catatan hitam’ yang sangat ditakuti santri.

Beberapa tahun yang lalu, Liga Inggris bisa kita saksikan di beberapa TV swasta. Karenanya hampir setiap akhir pekan, rumah warga ramai disesaki santri.

Jangan tanya bagaimana cara kami datang. Sekaligus? Tentu tidak, itu adalah hal yang sangat mustahil. Kami datang mengendap-endap, satu per satu. Taruhannya kami bisa dianggap sebagai maling. Tapi syukur alhamdulillah hingga saat ini tidak ada warga yang menganggap salah satu dari kami adalah pencuri yang akan menyatroni rumah warga ketika melakukan hal tersebut.

Beda lagi dengan Liga Spanyol. Selain Barcelona dan Real Madrid, rumah tersebut akan sepi. Jika Real Madrid yang main, entah melawan kesebelasan mana pun, akan datang beberapa orang santri yang menganggap diri sebagai Madridista. Begitu juga ketika Barcelona bertanding.

Lalu, bagaimana untuk laga bertajuk El Clasico?

Setiap El Clasico, tidak hanya pendukung dari kedua belah pihak, melainkan santri-santri yang mengatasnamakan dirinya pecinta Liga Inggris ikut berbaur. Entah, kedatangannya bermaksud untuk apa. Hanya saja yang saya lihat, mereka hanya menjadi kompor untuk kedua pendukung. Pantas, pertandingan semacam ini dinilai mahal dan paling banyak ditonton jutaan pasang mata di muka bumi.

Jika kalian mengatakan anak pesantren menonton sepakbola itu biasa saja, itu sangat lah salah. Saya yang merupakan seorang Madridista ecek-ecek, akan dibully habis-habisan setiap kali Real Madrid menelan kekalahan. Perang urat syaraf juga terjadi. Untungnya tidak sampai beradu jotos.

Memprokmalirkan diri menjadi Madridista atau Barcelonistas di pesantren tidak hanya dibuktikan dengan membeli jersey saja. Bahkan, ada salah satu teman saya yang hari itu kena bully lantaran tidak berani ikut nonton bareng, dengan alasan takut ketahuan ustadz. Ia pun mendapatkan sindiran, “Ah, kamu. Katanya Madridista. Buat dukung klub kesayangan aja ngga berani.”

Saya ingat betul masa-masa itu. Masa penuh perjuangan untuk nonton bareng. Terlebih waktu itu Jose Mourinho masih menjadi entrenador Real Madrid dan Josep Guardiola menangani Barcelona.

Badan ingin mencuat setiap kali bola di depan gawang. Tidak sedikit yang menyentil Mourinho lantaran hobinya yang gemar ghibahin orang lain. Lantas kami, Madridistas, akan membalasnya dengan Guardiola yang tidak suka keramas. Kami pun tahu adegan-adegan lucu setiap kali mereka berdua berada di pinggir lapangan.

Keesokan hari setelah laga El Clasico, para santri akan berebut masuk ke kantor guru,  berebut membaca koran di kolom ‘olahraga’. Padahal sebenarnya kami sudah tahu hasil pertandingan tersebut.

Hanya saja jika pagi itu yang menelan kekalahan adalah Barcelona, tentu yang akan ke kantor pagi itu Madridista. Begitu pun sebaliknya. Dengan satu alasan yang sama, ‘sebagai kenang-kenangan saja’.

Setitik kesalahan bisa dijadikan bully-an. Baik itu dari pelatih, pemain, bahkan ada yang bilang kalau Santiago Barnabeu itu banyak debunya (Santiago Berdebu?). Tidak logis, tapi, ya, sebagai bahan tertawaan setelah nonton bareng itu sah-sah saja.

Kepuasan  menonton pertandingan sepakbola, khususnya El Clasico, memang sebanding dengan perjuangan dari asrama ke rumah warga. Walaupun sebenarnya, untuk berteriak ketika pemain mencetak gol harus diganti dengan gestur tanpa kata.

Tapi kami semua, penyuka sepakbola, akan berbahagia. Hal kecil bagi kami seperti nonton pertandingan sepakbola bisa membuat beban seminggu full kegiatan seolah kembali fresh.

Apalagi jika pertandingan yang kami saksikan adalah pertandingan yang paling ditunggu-tunggu seluruh umat, yaitu El Clasico. Kami rela melakukan apa saja, dengan segala resikonya, agar bisa menyaksikan pertandingan yang bisa dibilang merupakan terakbar di dunia itu.

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab. Yang suka menulis tentang apa saja. Beredar di dunia maya dengan akun Twitter: @Muhammad_Getar.

Foto: reuters.com

Komentar