Etika dalam Mengheningkan Cipta

Editorial

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Etika dalam Mengheningkan Cipta

Celtic memang menang 4-1 atas Ross County. Tapi manajer Celtic, Ronny Deila, merasa tidak puas; bukan pada performa anak asuhnya melainkan pada penggemar Celtic yang mengganggu minute of silence dalam “Remembrance Sunday”.

Celtic bermain tandang ke Dingwall, tapi sejumlah kecil penggemar Celtic turut melakoni away day. Dalam pertandingan yang dihadiri enam ribuan orang tersebut, terdengan sorakan sepanjang dilakukannya minute of silence.

“Saya kecewa. Ini mestinya disampaikan oleh klub tapi secara pribadi, ini mengecewakan,” tutur Deila, “Saya dari Norwegia dan saya tidak tahu terlalu banyak soal itu (Remembrance Sunday) tapi itu adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh klub.”

Celtic sendiri telah memuat pernyataan resminya di situs klub: “Keheningan tersebut dilakukan tanpa cela oleh mayoritas fans kami, seperti biasa. Secara jelas kami amat kecewa dengan sejumlah individu yang memilih untuk mempermalukan klub dan suporter kami dengan cara-cara seperti itu. Mereka tidak diterima di Celtic.”

Siulan selama minutes of silence secara jelas bisa didengar oleh penonton televisi saat kedua kesebelasan berkumpul di area lingkaran di tengah lapangan untuk menghormati mereka yang gugur dalam peperangan. Sebagian besar suporter umumnya memberi rasa hormat mereka. Sebelumnya, announcer stadion meminta para penonton untuk diam dan menjelaskan kalau mengheningkan cipta bukan cuma buat tentara Inggris dan negera persemakmurannya, tetapi juga untuk korban yang tak berdosa dan semua korban di kedua belah pihak.

Komentator televisi, Derek Rae seperti dikutip Daily Mail, pun segera meminta maaf kepada pemirsa karena hal tersebut terjadi pada siaran langsung, “Saya pikir ini memalukan karena tidak semua orang bisa meluangkan waktu untuk mengheningkan cipta saat mereka menjadi tamu di rumah orang.”

Sebelumnya, kami sempat menuliskan kalau pemain West Bromwich Albion, James McClean, enggan mengenakan patch bunga poppy. McClean beralasan kalau di tempatnya berasal, Derry,  pernah terjadi pembantaian yang melibatkan Inggris. Bukan cuma itu, McClean juga memalingkan badan saat lagu kebangsaan Inggris dikumandangkan saat pertandingan pra musim West Bromwich Albion di Amerika Serikat pada awal musim ini.

Bagian dari Etiket


Foto: telegraph.co.uk

Penulis sempat menonton lewat Youtube, betapa khidmatnya mengheningkan cipta saat Remembrance Sunday pekan lalu. Terlebih video yang penulis tonton umumnya merupakan video amatir yang diambil hanya dari satu sudut yang memungkinkan penonton melihat dan mendengar apa yang dilakukan suporter di Inggris

Tentu tidak sedikit yang meragukan tayangan di televisi bagaimana tertibnya penonton sepakbola di Inggris. Saat announcer meminta penonton untuk hening sejenak, mereka pun melakukannya. Saat wasit meniup peluit setelah masa mengheningkan cipta selesai, teriakan-teriakan dukungan pun kembali terdengar.

Mungkin kita menganggap kalau adegan tersebut direka televisi dengan menurunkan volume mikrofon di lapangan. Anehnya, kita bahkan bisa mendengar cuitan burung hingga angin kencang yang berhembus di penghujung musim gugur.

Dengan menyaksikan video amatir yang diunggah di Youtube, keraguan tersebut pupus. Dalam mengheningkan cipta tersebut, para penonton benar-benar diam. Bahkan, ada dalam satu klip, samar-samar terdengar dering telefon dari tribun seberang, saking heningnya.

Diam merupakan salah satu sikap saling menghormati antar sesama. Bentuknya bisa bermacam-macam; ada yang diam saat mengheningkan cipta, adapula diam saat lagu kebangsaan negara lain berkumandang. Dua-duanya memiliki motif yang sama: menghormati.

Sejumlah media di Inggris mengaku terkejut saat UEFA memutuskan untuk memberikan sanksi buat Manchester City karena para suporternya bersiul saat lagu “Liga Champions” berkumandang. Mereka menganggap kalau lagu tema “Liga Champions” tidak setara sehingga mesti disucikan layaknya lagu kebangsaan.

Jika mengacu pada sikap saling menghormati, apa yang dilakukan penggemar Manchester City memang merupakan hal yang salah, karena mereka bersiul saat lagu tema kompetisi dikumandangkan. Namun, karena siulan tersebut sebagai bentuk protes, mereka masih berada dalam koridor yang tepat karena lagu tema UEFA bukanlah sesuatu yang saklek mesti dihormati terutama dalam hubungan antarnegara macam lagu kebangsaan.

K. Bertens dalam bukunya Etika, menjelaskan kalau terdapat perbedaan antara “Etika” dan “Etiket”. “Etika” lebih berhubungan dengan moralitas yang berpegang pada nilai-nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk seperti mencuri dan membunuh adalah tentang hal yang buruk. Orang yang mencuri dan membunuh tidak punya etika. Di sisi lain, “Etiket” menyangkut perbuatan yang menjadi sopan santun yang mungkin saja bisa berbeda di suatu tempat, seperti saya mesti makan pakai sendok di Amerika Serikat. Saya mesti makan dengan tangan kanan di Jawa.

Diam dalam mengheningkan cipta adalah bagian dari etiket; sesuatu yang tidak mengikat dalam hukum universal karena sifatnya yang relatif. Fans Celtic menyiuli minute of silence, tapi jelas tidak ada aturan hukum yang membuat mereka bisa masuk penjara karenanya. Maka perlakuan UEFA terhadap City bisa dibilang berlebihan karena di dunia nyata sekalipun menyiuli lagu kebangsaan tidak berdampak pada seseorang secara langsung, melainkan lebih kepada hubungan antarindividu-antarnegara.

Di sepakbola terdapat sejumlah kasus siulan dalam pertandingan internasional. Umumnya hal ini terjadi salah satu faktornya karena hubungan antarkedua negara yang memang sudah renggang. Misalnya pada November 2011 saat penonton yang hadir di Stadion Kim Il Sung, menyiuli lagu kebangsaan Jepang hingga musik pengiringnya pun sama sekali tak terdengar di televisi.

Pada 2013 lalu, hal serupa juga terjadi saat suporter Serbia menyiuli lagu kebangsaan Kroasia. Tentu, kita tahu kalau masih terdapat sentimen antarnegara di wilayah-wilayah pecahan Yugoslavia tersebut.

Baca juga: Kentalnya Suasana Politis Jelang Serbia vs Albania

Sentimen antarnegara ini bahkan terjadi pada Hong Kong saat menjamu Tiongkok. Suporter Hong Kong menyiuli lagu kebangsaannya sendiri! Ya, lagu kebangsaan Hong Kong sama dengan lagu kebangsaan Tiongkok.

Pada 2014 terdapat ketidakpastian politik di Hong Kong yang dipengaruhi oleh Tiongkok. Tentu itu merupakan satu dari sekian banyak gesekan antar kepentingan politik di Hong Kong dengan di Tiongkok. Sentimen negatif tersebut kemudian menjalar ke pertandingan sepakbola lewat menyiuli lagu kebangsaan.

Soal siul menyiul agaknya menjadi hal sesuatu yang bisa dipahami saat James McClean enggan menyematkan bunga poppy di kostumnya jika alasan Remembrance Sunday hanyalah untuk mengenang tentara Inggris yang gugur semasa Perang Dunia. Sentimen Skotlandia terhadap Inggris bisa terlihat dari bagaimana suporter Skotlandia menyiuli “God Save The Queen” bahkan saat pertandingan dilangsungkan di Wembley!



Tak Ada Mengheningkan Cipta di Indonesia?

Menjadi pertanyaan menggelitik bagaimana suporter Indonesia memiliki sikap saling menghargai di stadion. Rekan penulis, Ammar Mildandaru Pratama mengungkapkan kegelisahannya ketika ia menonton pertandingan saat masih kecil.

“Aku polos saja bertanya pada bapak ku, kenapa orang-orang tidak diam dan hening saat mengheningkan cipta di stadion,” tutur Mildan saat bercerita pengalamannya, “Bapakku cuma bilang gini: Makanya kamu bapak sekolahkan.”

Apa yang diungkapkan rekan penulis tadi memang menggelitik karena penulis pun pernah hadir dalam sebuah pertandingan yang diawali dengan mengheningkan cipta. Namun, masih ada saja penonton yang tidak hening dan masih melanjutkan aktivitasnya seperti mengobrol dan lain-lain.

Selain itu, pada sebuah pertandingan Liga Indonesia Agustus tahun lalu, ada momen di mana justru penyiar televisi yang tidak menghormati (atau tidak menyadari?) momen mengheningkan cipta. Karena masalah sentimen terhadap sosok tersebut, suporter tuan rumah enggan hening. Namun, menjadi satu hal yang menggelikan karena kamera televisi justru tidak menyorot momen mengheningkan cipta yang dilakukan dua kesebelasan dengan berkumpul di bulatan tengah lapangan. Hebatnya lagi, penyiar televisi pun terus nyerocos tanpa sekalipun membahas tentang penghormatan terhadap sosok tersebut. (PS: Anda bisa cari di Youtube!)

***


Etiket menurut Bertens menyangkut terhadap sesuatu yang lahiriah. Etiket tidak akan menjadi hal yang bermasalah jika seseorang hanya sendiri karena etiket menyangkut hubungan dua orang atau lebih. Anda tidak menyalahi etiket saat mengangkat kaki ke atas meja saat makan sendirian; sebaliknya, hal tersebut buat sebagian orang bukanlah perbuatan yang sopan.

Di sisi lain Bertens justru menyoroti etika sebagai sebuah pedoman mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam kehidupan, jika Anda tertangkap mencuri barang orang lain, Anda akan dihukum pidana. Hukuman dari masyarakat pun tidak bisa terelakan dengan meninggalkan Anda dari pergaulan.

Saat Hong Kong menyiuli lagu kebangsaan Tiongkok, FIFA pun menghukum Hong Kong dengan denda 3,400 pounds. FIFA mengancam jika hal ini terus terjadi sanksi yang lebih besar siap menanti. Pemberian hukuman oleh FIFA, membuat siulan terhadap lagu kebangsaan bukan lagi dianggap sebagai etiket melainkan berubah menjadi etika. FIFA menghendaki setiap suporter untuk menghormati lagu kebangsaan karena menyiuli lagu kebangsaan adalah hal yang buruk.

Seseorang yang beretika sudah pasti berperilaku baik, sementara yang beretiket belum tentu, karena merujuk kepada Bertens, etiket adalah sesuatu yang lahiriah, yang tampak.

Bisa Anda temukan di Youtube bagaimana suporter Indonesia tetap tak bisa diam saat lagu kebangsaan negara lain dikumandangkan. Memang, tidak semua berbuah siulan seperti yang terjadi kepada lagu kebangsaan Malaysia, tetapi berisiknya suasana tersebut bisa mengganggu kekhidmatan dan nilai sakral dari lagu kebangsaan itu sendiri. Pertanyaannya adalah mengapa suporter mesti "mengganggu" lagu kebangsaan orang lain? Mengapa tidak bisa barang dua menit untuk diam dan menghormati.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “Peradaban” berarti (1) Kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin (2) Hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa.

PS: Konon, etika masyarakat menentukan tampilan dari sebuah peradaban! Simpulkan sendiri, ya!

Komentar