Menjadi Besar di Luar Zona Nyaman

Cerita

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Menjadi Besar di Luar Zona Nyaman

Eric Dier menjalani debutnya di kesebelasan utama Sporting Clube de Portugal di posisi bek kanan karena kesebelasannya mengalami krisis pemain di posisi tersebut. Bermain di dekat garis tepi ketimbang di dalam kotak penalti, Dier yang posisi aslinya adalah bek tengah tidak mengecewakan. Entah karena memang tidak ditakdirkan menjadi bek tengah atau bukan, Dier menjadi besar setelah ditempatkan di lini tengah, sebagai pelindung lini pertahanan.

Pelatih pertama yang menjadikan Dier seorang gelandang bertahan adalah Jesualdo Ferreira, pada 2 Maret 2013. Usia Dier saat itu baru 19 tahun. Tak tanggung-tanggung, Ferreira memainkan Dier di posisi baru saat menghadapi FC Porto di Estádio José Alvalade; pertandingan yang tidak memberi ruang sedikit pun kepada kesalahan.

Sejak hari itu hanya ada dua alasan yang membuat Dier tidak ambil bagian dalam pertandingan: cedera atau larangan bertanding. Mungkin jalan karir Dier memang ditakdirkan demikian. Di Tottenham Hotspur, kesebelasan yang ia bela sejak 2014, hal yang sama dialaminya.

“Dier adalah seorang pemain yang serbabisa dan muda dan kami merasa ia memiliki bakat besar,” ujar manajer Tottenham, Mauricio Pochettino, sebagaimana dikutip dari FourFourTwo, ketika Dier mendarat di kesebelasannya. “Kami telah mengamatinya selama beberapa lama dan kami rasa ia dapat berkembang menjadi pemain belakang kelas satu.”

Di musim pertamanya sebagai pemain sepakbola profesional di Inggris, Dier tidak selalu bermain. Wajar karena ia memang didatangkan sebagai pemain serbabisa, untuk bermain sebagai pelapis di banyak posisi. Tidak ada posisi tetap untuknya. Bisa saja pekan ini ia bermain sebagai bek tengah dan pekan berikutnya sebagai bek kanan. Setelahnya bek tengah lagi selama beberapa lama. Lalu bek kanan lagi. Begitu seterusnya.

“Orang-orang lupa ini musim pertamaku di Inggris dan aku sama saja dengan orang-orang asing yang datang ke sini,” ujar Dier sebagaimana dikutip dari The Independent. “Mungkin memang tidak beruntung saja, karena aku orang Inggris orang-orang beranggapan aku akan terbiasa. Aku sejujurnya seperti orang-orang asing lain. Aku merasa begitu.”

Dier lahir di Cheltenham, Inggris, 15 Januari 1994. Walau demikian ia tidak merasa seperti orang Inggris karena tumbuh besar di Portugal. Orang tuanya membawa Dier pindah ke Algarve saat Dier berusia 7 tahun. Setahun kemudian mereka pindah ke Lisbon, di mana Dier bergabung dengan kesebelasan pertamanya.

Setelah berusia 17 tahun Dier pulang ke Inggris, namun hanya sementara. Ia bergabung dengan kesebelasan Everton U-18 sebagai pemain pinjaman. Selama berada di Everton Dier sempat pula bermain di kesebelasan reserve, bahkan sempat beberapa kali berlatih di kesebelasan utama di bawah arahan David Moyes. Namun setelah masa pinjamannya berakhir, Dier pulang. Sedikit banyak keputusannya untuk kembali ke Sporting, selain karena ia memang harus pulang, adalah karena ia merasa tidak kerasan di tanah kelahirannya sendiri.

“Jika aku boleh jujur, aku sangat ... aku tidak membencinya, namun saat itu, aku berpikir: ‘bawa aku keluar dari sini.’ Rasanya sangat berbeda,” ujar Dier sebagaimana dikutip dari The Guardian. “Gaya hidupnya, cuacanya, tempatnya, orang-orangnya ... bahkan bahasa menjadi faktor. Aksen scouse sulit bagiku. Dan, soal sepakbolanya, Inggris lebih agresif.”

Latihan dan budaya sepakbola di Inggris berbeda dengan Portugal yang, menurut Dier, lebih santai. Pelatih-pelatih di Portugal tidak banyak membentak dan membiarkan pemain-pemain muda belajar dari kesalahan mereka sendiri. Di Inggris, kesalahan adalah undangan untuk dipermalukan. Walau demikian Dier tetap mengisi hari-harinya dengan kerja keras dan tidak mengeluh, karena ia sendiri yang menginginkan itu.

Dier merasa membutuhkan latihan di negara kelahirannya untuk memberi kualitas Inggris kepada permainannya yang sangat Portugal. Karena itulah saat Everton mengajukan perpanjangan masa pinjam selama satu tahun untuk kesepakatan awal selama enam bulan saja, ia menerimanya.

Hasil dari semua kerja keras itu mungkin memang belum membawa Dier ke jajaran pemain papan atas, namun jelas sudah terlihat. Setidaknya oleh Tottenham. Baru satu musim menjalani kontraknya yang berdurasi lima tahun, Dier sudah ditawari kontrak baru. Ia menerimanya.

Pochettino mendorong Dier ke lini tengah di musim ini. Sebagian karena kesebelasannya kedatangan bek tengah baru, sebagian karena Tottenham memang memerlukan seorang gelandang bertahan. Pochettino menolak menghabiskan dana transfer untuk mendatangkan pemain yang dibutuhkan. Ia lebih memilih Dier. Sejauh ini, keputusan Pochettino terbukti tepat. Bersama Dier, Tottenham sulit ditembus. Jumlah kebobolan mereka paling sedikit: hanya tujuh.

Positioning yang baik membantu Dier menjalankan tugasnya dengan baik pula. Ini juga yang membuatnya menjadi pilihan utama, melangkahi duet poros ganda musim lalu, Ryan Mason dan Nabil Bentaleb. Selain itu Dier juga memberi keseimbangan. Pasangannya di lini tengah, Delle Alli, sangat gemar membantu serangan. Tak jarang ia masuk kotak penalti lawan. Karena itulah kehadiran Dier sangat berarti. Terlebih lagi para fullback Tottenham sering bermain jauh meninggalkan area pertahanan.

Tidak mengherankan jika Dier, yang awalnya didatangkan untuk menjadi pelapis serbabisa, kini menjadi pemain utama yang tidak tergantikan. Sepanjang musim ia hanya melewatkan satu pertandingan; satu saja, karena memang satu pertandinganlah hukuman untuk akumulasi lima kartu kuning di Premier League.

Komentar