Menjadi Bobotoh di Jakarta: Tidak Ada Pesta di Jakarta

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Menjadi Bobotoh di Jakarta: Tidak Ada Pesta di Jakarta

Partai puncak perhelatan Piala Presiden 2015 mempertemukan Persib Bandung dan Sriwijaya FC. Lantas, dua gol tanpa balas menjadikan Persib sebagai juara. Stadion berkapasitas sekitar 88 ribu penonton tersebut menjadi tempat digelarnya pesta bagi para Bobotoh dan seluruh elemen klub.

Apapun level kompetisinya, pesta selalu tersedia buat pemenang. Namun sesemarak apapun pesta di GBK, kemeriahannya tak akan bertahan lebih dari satu malam. Buat para Bobotoh di Jakarta, perayaan kemenangan itu hanya bisa dinikmati dengan bebas selama Bobotoh lainnya masih berada di GBK. Sekembalinya mereka, euforia kemenangan pun bakal ikut menguap.

Konon, penahbisan seseorang sebagai manusia dewasa memang sering dikaitkan dengan keberaniannya buat merantau jauh dari sanak dan kampung halaman. Mereka yang merayap dari bawah di tanah rantau jelas paham benar bahwa merantau bukanlah keputusan yang mudah. Lantas, menjadi Bobotoh di Jakarta sama dengan menjadi suporter di tanah rantau. Pembicaraan rivalitas sepakbola Bandung dan Jakarta memang bukan cerita baru di ranah sepakbola negeri ini. Rivalitas keduanya menjadi bukti bahwa menjadi Bobotoh di Jakarta tak pernah menjadi perkara yang mudah.

Baca juga:

Menjadi Suporter di Tanah Rantau


"Ya begitulah, kalau sesuatu terjadi di Bandung, statement antara Persib dengan The Jak, biasanya kami yang di Jakarta jadi korban," kata Otang Timika, salah satu pengurus Viking Jakarta, ketika diwawancarai di Polda Metro Jaya sebelum pertandingan final Piala Presiden 2015, Minggu (18/10).

Ia juga mengungkapkan bahwa markas Viking Jakarta sempat mendapat teror dari sekelompok orang pasca pengumuman tempat penyelenggaraan partai final Piala Presiden 2015. Katanya, markas mereka sempat dilempari batu maupun telur. Belum lagi cerita tentang salah seorang anggota yang juga diikuti dan dikeroyok oleh orang tak dikenal pasca pengumuman tempat penyelenggaraan pertandingan.

Agaknya, apa-apa yang dibicarakan oleh Otang merupakan bukti bahwa siapapun yang hendak menjadi Bobotoh di Jakarta, harus siap dengan segala macam intimidasi.

Baca juga : Mengapa Tambahan Waktu Piala Presiden Selalu Bermasalah?

Kendati ada banyak cerita yang tak mengenakkan, Otang menjelaskan bahwa kehidupan sehari-hari Viking Jakarta berjalan seperti biasanya jika tidak ada pertandingan yang menyangkut Persib dan rivalnya di Jakarta. Ia menuturkan teror akan lebih terasa jelang momen-momen krusial saja.

"Kalau Persib yang main, di sini bakal aman-aman saja. Yang lebih takut sih kalau tim rival yang bermain. Pada ramai di jalan, takut tiba-tiba ada intimidasi. Kalau dapat teror, alhamdulillah, belum pernah," aku Agung, Bobotoh yang bekerja di Jakarta.

Bagi para Bobotoh di Jakarta, tindakan-tindakan agresif yang dialamatkan kepada mereka adalah risiko yang harus ditanggung. Yang menjadi masalah adalah, apa yang harus mereka lakukan agar tindakan-tindakan macam itu tak terjadi terus-menerus.

Tidak terlarut dalam euforia yang berlebihan barangkali menjadi salah satu langkah "aman" yang bisa diambil. Seperti ketika usai Persib dan Bobotoh merayakan gelar juara Piala Presiden di GBK, mereka lebih memilih "bungkam" saat meninggalkan stadion nasional tersebut. Bagi para Bobotoh di Jakarta, pesta itu dianggap telah selesai lebih cepat.

Perayaan sesemarak yang digelar di Bandung jelas tak ada dalam kamus mereka. Barangkali buat sebagian besar suporter, perayaan semacam ini bukanlah perayaan. Yang namanya perayaan tak seharusnya berakhir lebih cepat. Namun apa boleh buat, yang dihadapi oleh Bobotoh di Jakarta jelas bukan hal sepele. Loyalitas memang penting, tapi loyalitas tanpa akal sehat tak ada bedanya dengan kekonyolan belaka.

IMG_5783 copy

Bobotoh yang memenuhi tribun Utara Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, pada laga final Piala Presiden 2015, Minggu (18/10).

Berkaca pada beberapa tindakan yang mereka ambil, dapat disimpulkan bahwa mereka menyadari  bahwa selama berada di Jakarta, mereka adalah kaum minoritas. Dan sebagai minoritas, mereka tentu harus pandai-pandai menyesuaikan diri. Jakarta berbeda dengan Bandung, yang merupakan rumah buat Persib. Makanya, mereka juga tak bisa melakukan tindakan yang sama dengan suporter Persib di Bandung.

"Saya tamu di Jakarta teh, walaupun sudah lama tinggal di sini selama 20 tahun namun (kami ini) tetap saja tamu. Kami yang menjadi korban, coba pikirkanlah kalau ada tindakan apa-apa di luar Jakarta, tolong ingat kami yang di Jakarta," pesan Otang untuk Bobotoh di luaran ibu kota sana.

Hal-hal tak mengenakkan tersebut menjadi bukti bahwa menjadi Bobotoh di Jakarta memang bukan perkara mudah. Namun siapa tahu ketidakmudahan itulah yang membuat mereka jadi suporter yang sebenar-benarnya.

Komentar