Perihal Cristian Gonzáles yang Masih Diandalkan (Arema Cronus)

Taktik

by Ardy Nurhadi Shufi 37064

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Perihal Cristian Gonzáles yang Masih Diandalkan (Arema Cronus)

Cristian Gonzales membuka kemenangan Arema Cronus atas Mitra Kukar pada perebutan tempat ketiga Piala Presiden 2015. Meski gagal mengantarkannya menjadi pencetak gol terbanyak pada turnamen ini, tapi lima golnya sepanjang Piala Presiden ini menunjukkan bahwa ketajaman pemain naturalisasi asal Uruguay ini belum habis.

Kemampuan membobol gawang lawan Gonzales memang tak perlu diragukan lagi. Sejak kedatangannya di Indonesia pada 2003, Gonzales langsung menjelma menjadi penyerang produktif. Hingga saat ini, dari 12 tahun karirnya di Indonesia, menurut national-football-teams.com, Gonzales telah mengoleksi 227 gol. Dari 12 tahun karirnya tersebut, empat kali sudah pemain kelahiran Montevideo ini menjadi pencetak gol terbanyak Liga Indonesia.

Di usianya yang telah memasuki 39 tahun, ternyata kran gol masih terus mengalir lewat kaki dan kepalanya. Pada laga melawan Bali United di leg kedua di Piala Presiden ini, Gonzales bahkan menciptakan perfect hattrick di mana ia mencetak gol melalui kaki kanan, kiri dan kepalanya.

Gonzales adalah sedikit contoh pemain yang andal memerankan sebagai target men di sepakbola yang semakin berkembang ini. Di Indonesia, hampir tak ada pemain lokal yang bisa diandalkan dalam memerankan peran seperti yang dimainkan Gonzales.

Kemampuan yang diharapkan dari Gonzales memang kemampuan penyelesaian akhir dan kemampuannya dalam melindungi bola. Karena untuk soal kecepatan, pemain yang dikabarkan pernah menjadi rekan setim legenda Uruguay, Alvaro Recoba, ini Gonzales tak bisa diandalkan.

Meski posturnya cukup gempal, tapi Gonzales tetap bisa memaksimalkan kelebihannya. Bersama Arema Cronus yang telah dibelanya sejak 2013, gol-golnya masih terus mengalir yang artinya pelatih Arema memahami betul karakter bermain Gonzales.

Gonzales hanya bermain di sekitaran area tengah di kotak penalti. Ada kalanya ia harus menjemput hingga tengah lapangan. Namun kecenderungannya, ia hanya bermain di sekitaran penalty arc atau setengah lingkaran kotak penalti untuk menerima bola dan kemudian menjadi pemantul, atau melepaskan tembakan ke gawang.

Keahliannya dalam memainkan peran ini begitu menonjol saat Arema masih dihuni Gustavo Lopez. Keduanya menjadi kombinasi yang pas di mana pada Indonesia Super League 2014, Lopez berhasil mencetak delapan gol sementara Gonzales mencetak 15 gol. Namun partner sejatinya adalah Ronald Fagundez yang pernah bersama-sama saat di PSM Makassar dan Persik Kediri, sebelum kemudian dipisahkan oleh Persib Bandung dan Persisam Putra Samarinda (pada akhirnya kembali bersama di Persisam pada musim 2011-2012).

Kemampuan penyerang seperti itulah yang membuatnya tetap menjadi penyerang yang dibutuhkan kesebelasan-kesebelasan Indonesia. Dari penyerang lokal, kebanyakan para pemain berkualitasnya lebih ideal bermain sebagai penyerang sayap (sebut saja Ferdinan Sinaga, Samsul Arif, Boaz Salossa, atau Zulham Zamrun). Sementara untuk penyerang asing, kebanyakan dari mereka lebih bertipikal poacher, mengharapkan bola-bola daerah dalam menyelesaikan peluang.

Sementara gaya bermain di kesebelasan Indonesia lebih pada mengandalkan serangan sayap. Para pemain sayap tersebut kemudian melepaskan umpan silang ke kotak penalti, bahkan dari tengah pun seringkali langsung mengirimkan bola panjang ke kotak penalti. Skema ini yang tampaknya dipahami betul dan dikuasai benar oleh Gonzales.

Pemain yang setipe dengan eks penyerang Deportivo Maldonado ini di Indonesia adalah Serginho van Dijk. Pemain yang sempat merumput bersama Persib Bandung ini pun begitu handal dalam penguasaan bola, memiliki penyelesaian akhir yang baik, handal dalam duel bola atas, namun lambat untuk urusan kecepatan.

Sementara berbeda dengan pencetak gol terbanyak ISL musim 2014, Emanuel Kenmogne. Pemain yang akrab disapa Pacho ini merupakan tipe complete forward dengan kualitas di atas rata-rata pemain asing di Indonesia. Ia bisa bermain sebagai pembagi bola di tengah, lalu dengan cepatnya mencari ruang tembak di kotak penalti.

Perbedaan Pacho dan Gonzales adalah soal menciptakan ruang kosong. Pacho dengan mobilitasnya yang gemar turun ke tengah lapangan, kemudian mengisi celah pada lini pertahanan lawan dengan kecepatannya. Sementara Gonzales, lebih pada kelebihannya berduel dengan pemain-pemain bertahan lawan.

Pacho adalah tipe penyerang yang dibutuhkan dalam strategi sepakbola modern. Sementara Gonzales, bisa dibilang tipe penyerang klasik yang dibutuhkan oleh kesebelasan-kesebelasan Indonesia. Mungkin jika bukan di Indonesia, Gonzales akan kesulitan menemukan performa terbaiknya mengingat jatah untuk pemain target men mulai kalah oleh penyerang-penyerang bertipe false nine, complete forward atau poacher.

Saya pernah memerhatikan secara khusus lewat pandangan langsung bagaimana cara bermain Ilija Spasojevic (dalam sejumlah pertandingan Persib) dan Cristian Carrasco (saat menyaksikan Persebaya 1927 beberapa waktu lalu), keduanya tak seperti Gonzales. Keduanya sering lebih dulu mencari ruang kosong ketika bola masih berada di tengah.

Bahkan keduanya tak segan untuk menjauhi bola (misal, ketika bola di kanan, kedua pemain tersebut mencari ruang kosong di kiri) jika area kosong tersebut memang berada jauh dari bola berada, gaya bermain poacher. Sementara Gonzales, tak memedulikan bola berada di mana dengan hanya konsisten bermain di tengah.

Pada akhirnya tak mengherankan jika permainan Gonzales-lah yang lebih cocok dengan permainan sepakbola di Indonesia sehingga saat ini masih merupakan penyerang nomor satu di Indonesia. Pemanggilannya oleh timnas Indonesia pun menjadi bukti bahwa penyerang seperti Gonzales di Indonesia memang sudah langka. Dan selama Gonzales belum memutuskan untuk pensiun, jangan heran jika kita masih akan melihat nama Gonzales sebagai kandidat kuat pencetak gol terbanyak.

foto: ligaindonesia.co.id

Komentar