Legenda-legenda Tukang Catut dari Cicadas

Cerita

by redaksi

Legenda-legenda Tukang Catut dari Cicadas

Oleh: Aqwam F. Hanifan


Bagian pertama dari cerita ini dapat Anda baca di sini

Kehidupan calo-calo uzur di sekitaran Gedung Persib di Jl. Gurame memang menggelitik. Di bawah sorotan terik matahari saya sering melihat kakek-kakek ini berlarian mengejar pelanggan yang memakai motor. Terlihat mereka menahan nafas yang tersengal-sengal. Kadang ada pula yang memegang pinggang karena encok atau asam urat mereka kumat.

Saya bahkan melihat seorang calo, namanya Pak Asep, usianya 74 tahun, tumbang. Kakek dengan kumis baplang itu paginya masih segar bugar. Bolak balik dia berlari-lari mengejar pelanggan atau calon membeli yang berkerumun mencari tiket di sekitar Gedung Persib. Menjelang siang, saat terik panas matahari sedang sangat menyengat, dia pun kolaps.

Dia akhirnya beristirahat di dalam Gedung Persib. Kemudian keluarganya datang menjemput. Salah seorang anggota keluarga yang menjemput terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tak habis pikir dengan polah ayah atau mungkin kakeknya yang masih juga bertarung di jalanan di usia yang sudah berkapala tujuh.

Tapi Pak Asep tak sendiri. Salah satu legenda di dunia percatutan di Kota Bandung bernama Pak Husin. Hidup dan matinya benar-benar didedikasikan untuk menjadi seorang catut. Bahkan dia pun meninggal saat sedang �"berdinas�". Dalam salah satu laga Persib di Stadion Siliwangi, penyakit darah tingginya kumat. Dia pun terkapar dan meninggal seketika di depan Stadion Siliwangi.

Calo-calo uzur di Gurame adalah sisa-sisa dari masa lalu yang masih eksis di zaman ini. Jumlah mereka kian lama kian berkurang. Bukan karena beralih aktifitas atau pensiun, tapi lebih karena ajal menjemput mereka secara bergiliran.

�"Semuanya sudah berkurang, banyak yang sudah jadi almarhum,�" ucap Ukar, calo yang usianya 78 tahun.

Tak pernah ada istilah pensiun bagi mereka. Lantas, berapa sebenarnya keuntungan yang bisa mereka peroleh jika Persib bertanding? Ternyata keuntungan setiap calo per pertandingan bisa mencapai 200 ribu sampai 1 juta rupiah. Angka itu jelas tak bisa dibilang sedikit bagi lapisan masyarakat yang tingkat ekonominya kebanyakan pas-pasan itu.

Bahkan jika Persib bertanding persahabatan di Ciamis, Tasikmalaya atau Sumedang, sekali pun, calonya ya tetap mereka-mereka juga. Di mana pun Persib bertanding di Jawa Barat, calo-calo dari Bandung ini akan dengan sigap membuntutinya, tentu saja sembari berusaha mengais rezeki. Beberapa dari mereka juga sangat biasa berkeliaran di sekitaran Gelora Bung Karno saat timnas sedang bertanding. Di era perserikatan, jika Persib lolos ke babak 8 Besar, mereka juga ikut �"bertarung�" di seputaran Senayan.

Mayoritas para calo-calo (khususnya calo-calo berusia sepuh ini) banyak berasal dari Cicadas. Letaknya sekitar 2 km ke arah selatan dari Terminal Cicaheum. Di Cicadas ini juga terdapat pasar tradisional yang posisinya berhimpitan dengan toko-toko dan kios modern. Juga salah satu wilayah terpadat, bukan hanya di Bandung, tapi juga salah satu yang terpadat di dunia. Tingkat kepadatan penduduknya mencapai 13 ribu jiwa per km2.

Cicadas merupakan salah satu daerah slum di Bandung. Cicadas dikenal sebagai �"negara beling�" mengingat angka kriminalitasnya yang cukup tinggi. Jeger-jeger Bandung banyak yang berasal dari sana. Termasuk para calo. Dari dulu sampai sekarang mayoritas tukang catut berasal dari Cicadas. Pekerjaan jadi calo seperti sebuah tradisi yang diurunkan dari kakek ke ayah, ayah ke anak dan seterusnya.

Memang butuh keberanian untuk menjadi calo. Pada zaman dulu keberanian itu memang mutlak milik orang Cicadas. �"Kita harus siap kejar-kejaran dengan polisi perintis. Pakaian mereka necis. Patrolinya pun pakai sepeda. Tapi galaknya minta ampun. Masalahnya dulu mereka bukan bawa pentungan, tapi nenteng bedil,�" ucap Ujang (65 tahun).

Ujang dan kawan-kawan sudah hampir 50 tahun lamanya bergelut di dunia calo tiket. Dulunya mereka adalah calo-calo tiket bioskop. Namun setelah industri bioskop padam di akhir dekade 1980-an, menjadi calo tiket Persib menjadi satu-satunya harapan.

Hubungan mereka dan Persib juga sudah amat sangat erat. Ketika Persib masih dikelola secara amatir dan mengalami kesulitan dana, para calo-calo inilah yang jadi ujung tombak menjual tiket pertandingan. Secara door to door dari rumah ke rumah, pasar ke pasar, mereka menjual tiket ke konsumen.

�"Harga yang kami jual ya harga sesuai tiket, karena Persib memang sudah kasih diskon ke kita. Ya ini niatnya juga saling membantu saja,�" tutur Ujang yang sudah memiliki 12 cucu ini.

Lain dulu lain sekarang. Lain juga kambing hitamnya. Saat tiket sulit didapat calolah yang selalu dijadikan kambing hitam. Generasi bobotoh sekarang sangat mudah mengkambinghitamkan para calo tiap kali kesulitan mendapatkan tiket, khususnya di laga-laga yang menyedot perhatian.

Agaknya, memang ada kisah yang terputus, ada cerita yang tak tersampaikan, tentang bagaimana para calo ini, dulu, di masa-masa Persib sulit, menjadi �"salesman�" penjualan tiket Persib. Mereka pernah menjadi ujung tombak yang bahu-membahu mengalirkan darah segar ke pundi-pundi keuangan Persib.

Sampai batas tertentu, keluhan terhadap para calo ini bukannya tak berdasar. Terutama, sekarang, jumlah calo pun meroket drastis. Ada ratusan orang yang berburu tiket untuk dijual kembali dengan harga yang mahal.

Regenerasi para calo di era sekarang bergerak �"di luar jalur tradisi�". Berpindahnya kekuasaan di tubuh Persib dari Jl. Gurame ke Jl. Sulanjana juga membuat model patronase antara para calo dan pemasok tiketnya berubah. Regenerasi bukan hanya terjadi di kalangan calo, tapi juga para pemasoknya. Dalam satu pertandingan saja jumlah calo bisa mencapai 800 orang. Persoalan menjadi lebih rumit setelah tiket-tiket palsu mulai banyak beredar dari tangan ke tangan. Ini menambah keruwetan baru yang dulu praktis tak pernah ditemui.

Baca juga:

Para Legenda Calo Tiket di Pertandingan Persib


Cara MLS Menjual Tiket Musiman


Skandal Percaloan Tiket di Piala Dunia


Tapi di sisi lain, ada alur distribusi tiket yang memang tak rapi. Semua bobotoh yang rutin ke stadion tahu, di laga-laga besar, tiket memang akan sangat sulit dicari. Dan itu bukan karena ulah para calo. Seperti yang saya kisahkan di bagian pertama, calo pun kini hanya kebagian sedikit tiket saja. Ada �"calo-calo lain�" yang bermain dengan cara yang lebih canggih. Calo-calo yang lebih wangi dan lebih bersih.

Semua kondisi mutakhir inilah yang membuat calo-calo uzur ini tersisih. Sadar dirinya kalah fisik, kalah modal dan kalah jaringan (mengingat otoritas sekarang tak berada lagi di Jl. Gurame). Jarang mereka berjualan di Stadion Siliwangi atau Jalak Harupat. Mereka memilih mengasingkan diri ke tempat terasing bernama gedung Persib.

Dari tempat yang kini semakin tersisih dari hiruk-pikuk kemewahan pengelolaan Persib itulah calo-calo ini mencoba menghayati waktu-waktu yang tersisa bagi mereka.

Saya bertemu dengan calo lain yang usianya tidak kalah tua. Namanya Pak Dahlan. Usianya 68 tahun. Kepada saya, Pak Dahlan berujar bagaimana sepakbola mengajarkannya menjadi seorang pria. Walaupun dia tak pernah bertarung habis-habisan di lapangan, setidaknya dia dapat merasakan aura perjuangan itu.

�"Sebenarnya bukan hanya materi saja, seperti ada sesuatu yang hilang dan tak bisa diungkapkan ketika saya hanya diam di rumah saja saat Persib main di Bandung. Meski sudah tua renta seperti ini ada saja energi dorongan yang buat saya lebih semangat. Kalau nyaloan (event lain) saya sudah malas. Pemain dengan cara mereka sendiri, suporter aktif dengan cara mendukung, dan saya pun punya jalan sendiri untuk aktif di sepakbola,�" katanya.

Ya itulah sepakbola. Sepakbola bisa mengubah seseorang menjadi hal yang terduga. Calo-calo uzur inilah contohnya. Toh mereka sebenarnya tak perlu bekerja keras mati-matian, panas-panasan, adu jotos dengan rekan gara sepakbola. Dari segi materi mereka memiliki anak, cucu dan cicit yang bisa dijadikan tempat menggantungkan masa tua.

�"Mau aturan dibuat serumit apapun, ditekan kayak apa juga saya akan tetap jadi calo. Karena hanya lewat ini saya bisa interaksi langsung dengan sepakbola dan dengan Persib. Itu sudah cukup bahagia buat saya,�" ucap Pak Dahlan.

Saya ingat ucapan Santiago, nelayan tua dalam novel cemerlang Old Man and the Sea karya maestro Ernest Hemingway. Setelah melewati pertarungan panjang dan melelahkan dengan ikan-ikan hiu yang hendak merebut ikan marlin yang ditangkapnya dengan susah payah, Santiago berkata lirih: �"But man is not made for defeat, a man can be destroyed but not defeated. �"



Akun Twitter penulis @aqfiazfan

foto:

Komentar