Marseille 1993: Juara yang Bukan Juara

Cerita

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Marseille 1993: Juara yang Bukan Juara

Pada 26 Mei 1993, sejarah tercipta. Olympique de Marseille sukses mengalahkan AC Milan di final Champions League. Marseille menjadi kesebelasan Prancis pertama yang meraih gelar juara di tingkat Eropa. Marseille juga menjadi pemenang di final Champions League edisi pertama. Meskipun tidak lama setelahnya, Marseille dilempar ke divisi kedua.

Kurang dari seminggu sebelum kemenangan atas Milan, Marseille mengunci kepastian juara Ligue 1 lewat kemenangan 1-0 atas Valenciennes. Tapi pesta yang digelar untuk merayakan keberhasilan meraih gelar ganda tidak berlangsung lama. Ada tuduhan praktik suap yang mengemuka.

Setelah penyelidikan, diketahui bahwa Bernard Tapie, presiden Marseille saat itu, memberi perintah langsung kepada Jean-Pierre Bernès (general manager Marseille) untuk melakukan suap terhadap beberapa pemain Valenciennes: Jacques Glassman, Jorge Burruchaga, dan Christophe Robert. Jean-Jacques Eydelie, bek sayap Marseille, dibebani tugas menghubungi ketiga pemain tersebut.

Tapie melakukan suap untuk memastikan Marseille mendapatkan dua hal: 1) kepastian menjadi juara Ligue 1, dan 2) tidak ada pemain yang cedera. Jika Marseille tidak menang melawan Valenciennes, para pemain tidak akan dapat berkonsentrasi penuh terhadap pertandingan melawan Milan. Karena jika tidak menang melawan Valenciennes, Marseille belum dapat memastikan diri menjadi juara dan harus menjalani pertandingan hidup-mati melawan Paris Saint-Germain, yang dilangsungkan setelah pertandingan melawan Milan.

Untuk kedua kali dalam karirnya, pelatih kepala Marseille, Raymond Goethals, berada di kesebelasan yang terlibat dalam pengaturan skor di pertandingan liga agar dapat berkonsentrasi terhadap pertandingan final di tingkat Eropa. Sebelum di Marseille, Goethal sendiri menggagas suap kepada para pemain Waterschei di pertandingan terakhir Liga Belgia 1981/82. Tujuannya agar Standard Liège, kesebelasannya, menjadi juara liga dan tidak ada pemainnya yang cedera sebelum berhadapan dengan Barcelona di final European Cup Winners’ Cup.

Terbongkarnya kasus suap ini membuat Marseille diturunkan ke divisi kedua. Gelar juara Ligue 1 mereka dicabut karena kecurangan di pertandingan melawan Valenciennes. Di tingkat Eropa, Marseille kehilangan hak bermain di European Super Cup dan Intercontinental Cup. Gelar juara Champions League tetap milik mereka, namun Marseille dilarang mempertahankannya; Marseille tidak boleh ambil bagian di Champions League 1993/94 atau pada musim berikutnya.

Terlepas dari kecurangan di Liga Prancis, Marseille sama pantasnya lolos ke final seperti Milan. Kedua kesebelasan sama-sama menang besar di putaran pertama. Milan lolos ke putaran kedua dengan agregat 7-0 melawan Olimpija Ljubljana. Marseille sendiri menyingkirkan Glentoran dengan agregat 8-0. Di putaran kedua, Marseille dan Milan lagi-lagi melaju ke fase berikutnya tanpa kebobolan; Milan 5-0 Slovan Bratislava, Marseille 2-0 Dinamo Bucure?ti.

Kemenangan di putaran kedua membawa Marseille dan Milan, beserta enam kesebelasan lain, lolos ke fase Champions League, sebuah fase grup berisi delapan kesebelasan yang terbagi dalam dua grup untuk menemukan pemuncak klasemen dari masing-masing grup. Hadiah untuk setiap pemuncak klasemen: hak bermain di final. Marseille yang tergabung di Grup A bersama Rangers FC, Club Brugge, dan CSKA meraih sembilan angka. Milan di Grup B bersama IFK Göteborg, FC Porto, dan PSV Eindhoven berhasil mengumpulkan 12 angka. Kedua kesebelasan sama-sama lolos dengan selisih gol +10.

Melawan barisan belakang Milan yang berisi Mauro Tassoti, Alessandro Costacurta, Franco Baresi, dan Paolo Maldini, tiga penyerang Marseille (Alen Bokši?, Rudi Völler, dan Abedi Pele) tidak bisa berbuat banyak. Begitu juga dengan Danielle Massaro dan Marco van Basten, yang sama-sama tumpul di hadapan Jocelyn Angloma, Basile Boli, dan Marcel Desailly. Gol tunggal pertandingan ini tercipta pada menit ke-43, lewat sundulan Boli.

Leon Megginson, dalam Lessons from Europe for American Business, menulis: “Menurut Origin of Species-nya Darwin, spesies yang bertahan bukan spesies yang paling cerdas; bukan spesies yang paling kuat yang akan bertahan; tapi spesies yang akan bertahan adalah spesies yang dapat dengan paling baik beradaptasi dan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.”

Mengingat final 1993 adalah final pertama di era Champions League, mudah untuk langsung memandang Marseille sebagai kesebelasan paling adaptif, yang langsung dapat menyesuaikan diri dengan kejuaraan baru. Namun faktanya tidak demikian. Perubahan nama dari European Cup ke Champions League memang baru dilakukan pada musim 1992/93, namun format kejuaraan yang dipakai di musim pertama Champions League sudah diterapkan di musim terakhir European Cup. Pada musim 1991/92, musim uji coba format baru, Barcelona keluar sebagai juara dengan kemenangan 1-0 atas Sampdoria.

Berdasar fakta tersebut dan kasus pengaturan skor, pantas rasanya Marseille 1993 menyandang sebutan “juara yang bukan juara”.

Komentar