Apa Gunanya Bakat Sepakbola Tanpa Pembinaan dan Latihan?

Sains

by Redaksi 47

Redaksi 47

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Apa Gunanya Bakat Sepakbola Tanpa Pembinaan dan Latihan?

Salah satu rivalitas dunia olah raga yang masih terus berlanjut adalah soal lebih hebat mana: Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi? Ronaldo dengan otot dan kekuatan fisiknya dan Messi dengan keterampilan alami dan visi bermainnya, sering kali menjadi pemicu dari lahirnya dikotomi antara bakat dan pembinaan.

Dari situlah kadang lahir pertanyaan yang kerap kali mengemuka: lebih penting mana dalam proses "penciptaan" pemain kelas dunia: bakat alami atau kerja keras dalam latihan?

Perdebatan tentang "bakat atau pelatihan" ini, dalam bidang apapun, memang sudah dimulai sejak beberapa dekade yang lalu. Kemunculan pemain-pemain dengan penampilan yang menakjubkan, katakanlah seperti Messi, mendorong para ahli mencari ciri-ciri yang terlihat dari seorang anak berbakat luar biasa. Harapannya, mereka kelak bisa mempunyai formula yang jitu untuk mendeteksi seorang anak dengan potensi dahsyat.

Dalam kasus sepakbola, sebenarnya tidak ada ciri-ciri fisik, fisiologi, maupun psikologi yang bisa mendeteksi mana anak berbakat dan mana yang tidak/kurang berbakat. Struktur otot, VO2 Max, anaerobic fitness, antropometri, mental, dan segala macam faktor pembeda pesepakbola profesional dan amatir, jika diperiksa di usia dini hasilnya dapat jauh berbeda ketika anak tersebut sudah beranjak dewasa.

Kegagalan menentukan berbakat atau tidaknya seorang bocah melalui analisis ciri-ciri fisik inilah yang akhirnya memaksa para ahli mencari jalan alternatif. Dari situlah muncul berbagai metode yang dipraktikkan di beberapa negara.

Contohnya Ajax Amsterdam yang menerapkan metode TIPS atau "Technique, Intellegence, Personality, and Speed". Keempat kriteria itutlah yang dijadikan Ajax sebagai alat ukur dalam penilaian pemain muda yang dilakukan para pencari bakat mereka yang tersebar di berbagai benua.

Sedang Jerman punya cara berbeda. Mereka mematok empat syarat yang mesti dipenuhi seseorang yang ingin menjadi atlet berbakat, yaitu tidak memiliki keluhan medis, mampu menerima beban latihan berat, memiliki mental yang baik, dan punya prestasi akademis yang bagus. Satu saja dari keempat syarat tidak dipenuhi, jangan berharap akan ada pencari bakat (Jerman) yang akan mengintainya.

Meski berbeda-beda cara mengukurnya, namun ada satu kesamaan dari tiap metode penentuan bakat di atas yaitu menggabungkan ragam disiplin ilmu. Sebab bakat mustahil ditentukan hanya dengan melihat anak tersebut menendang bola, tapi jelas harus melihat hal-hal lainnya.

Penggabungan ragam ilmu dalam olahraga inilah yang ujungnya memunculkan ilmu olahraga (sport science). Seorang ilmuwan olahraga bisa membantu para pencari bakat untuk menentukan seorang anak berbakat atau tidak melalui suguhan data-data yang kaya dan komplit. Cara ini dirasa lebih patut digunakan daripada sekadar menyimak rekomendasi pencari bakat yang melulu mengandalkan naluri atau intuisi belaka.

Namun, tugas seorang ilmuwan olahraga jelas tidak hanya sampai sampai dalam mendeteksi bakat. Tugas seorang ilmuwan olahraga selanjutnya ialah membantu para pelatih untuk menentukan metode yang paling pas dalam mengelola seorang anak yang dianggap berbakat.

Asumsinya sangat mudah: pengelolaan dan perlakuan yang salah niscaya membuat bakat hebat seorang bocah hanya akan menjadi dongeng tanpa bukti di masa depan. Sebab memang sangat banyak elemen yang dapat dengan tiba-tiba mengubah masa depan seorang anak berbakat.

Cedera, latihan berlebihan, kegagalan psikologis, tidak dapat bersaing, dan berbagai faktor lainnya, jika tak tertangani dengan baik, hanya akan membuat bocah tersebut akhirnya tenggelam begitu saja. Dan jika ia sudah tenggelam karena penanganan bakat yang salah, maka analisis betapa berbakatnya bocah tersebut akhirnya gampang disebut sebagai isapan jempol belaka. Wong tidak terbukti, kok.

Baca juga

Messi dan Ronaldo Sebagai Representasi Posmodernisme


Ronaldo: Necessary Evil Milik Messi


Di Mana Letak Kesalahan Puntung Rokok untuk Messi dan Ronaldo?



Peneliti dari Liverpool John Moore University pernah mendeskripsikan satu model proses bagaimana seorang atlet ditemukan hingga dikembangkan. Model itu terdiri atas beberapa tahapan: pendeteksian, identifikasi, seleksi, dan pengembangan.

Dengan cara ini kita memang dapat mendeteksi kondisi fisik, fisiologi, dan psikologi pada setiap anak-anak. Tentu dengan hasil yang berbeda-beda dari satu anak ke anak lain. Namun, harus diingat bahwa manusia, terutama ketika masih kanak-kanak, adalah pembelajar terbaik di bumi ini. Manusia dapat meniru apapun yang ada dan mengubah dirinya menyesuaikan dengan kondisi yang ada.

Dari situ, tiga tahapan setelah identifikasi akan sangat menentukan bisa tidaknya potensi bakat itu termaksimalkan. Apapun hasil deteksi awal bisa menjadi sia-sia jika tiga tahapan berikutnya tidak dilakukan dengan baik dan konsisten.

Dari situlah, menjadi jelas, seberbakat apapun Lionel Messi ketika kecil, ia tidak akan menjadi Lionel Messi seperti yang kita lihat sekarang andai ia tidak melewatinya dengan sistem pembinaan yang rapi, terstuktur, berjenjang, dan berkelanjutan.

Komentar