Cerita Perubahan pada Sepasang Sepatu di Amsterdam

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Cerita Perubahan pada Sepasang Sepatu di Amsterdam

Karya Gagah Nurjanuar Putra

Selama sepekan ini, hidup saya terasa berkualitas. Saya yang sering begadang justru tidur lebih awal. Saya juga bangun di pagi hari, tidak lupa melakukan ibadah dan berdoa. Olahraga pun tidak perlu lagi saya lewatkan. Dalam beberapa kesempatan, bahkan saya niatkan jalan kaki ke kampus. Selain menghemat ongkos, nikmat sehat bisa saya dapatkan.

Saya juga mulai membaca buku, baik fiksi maupun non-fiksi. Tidak lupa berdiskusi dengan teman-teman sekaligus menjaga silaturahmi. Semua dilakukan demi mengatur ulang kehidupan yang cukup kacau. Saya perlu perubahan demi diri sendiri, orangtua, sanak saudara, dan seorang perempuan yang ada dalam setiap doa saya. Lebih dari itu, saya ingin berguna untuk sebanyak mungkin orang.

Kemudian, pada suatu pagi, saya bangun terlalu awal. Jam menunjukan pukul tiga lebih saat itu. Pagi buta itu—entah dengan alasan apa—membawa ingatan saya pada sebuah pertemuan menyenangkan dengan tim nasional sepak bola jalanan Indonesia. Sekeping ingatan itu seperti perjalanan spiritual yang menyuntikan motivasi pada hidup saya.

Timnas sepak bola jalanan Indonesia itu dihuni pemain-pemain luar biasa. Mereka datang dari berbagai tempat di negeri ini. Latar belakang mereka berbeda-beda. Ada yang datang sebagai ODHA (orang dengan HIV/AIDS), pengguna narkoba, atau tunawisma. Mereka yang datang merasa diri mereka adalah kaum marjinal.

Saat itu saya sedang menjalankan tugas sebagai wartawan (magang) di sebuah media ternama. Seorang teman pada malam sebelumnya mengajak saya meliput keberangkatan timnas yang bakal berlaga di Homeless World Cup (HWC) 2015, Amsterdam, Belanda. Tanpa berpikir panjang, saya setuju untuk mamacu sepeda motor ke Balai Kota Bandung pada Rabu pagi, 9 September 2015.

Pagi itu di Balai Kota Bandung terpantau ramai. Orang-orang berkumpul untuk memperingati Hari Olahraga Nasional. Kami—para wartawan (yang beneran wartawan atau sekadar magang)—bercampur di sekitaran tempat berlangsungnya acara. Kebanyakan wartawan memang ingin meliput soal timnas yang terdiri dari orang-orang yang merasa dirinya marjinal itu.

Dalam kesempatan itu, saya berjumpa dengan salah seorang pemain timnas. Ia mengaku bernama Rokim, 33 tahun, seorang striker berlatar belakang ODHA asal Rembang, Jawa Tengah. Belakangan saya tahu, ia memakai nomor punggung 18. Saya melihatnya berpelukan begitu erat dalam tayangan video berdurasi singkat di akun Instagram @rumah_cemara. Pelukan itu berasal dari sebuah euforia keberhasilan setelah dinyatakan menjuarai Amsterdam Cup.

Usia Rokim memang sudah berkepala tiga, tapi ia punya semangat yang tak kalah kokohnya dengan siapa pun. Ia punya mata seperti Misugi Jun dalam anime Kapten Tsubasa, terlihat kuat padahal memendam kepedihan yang mendalam.

Rokim, dalam perjalanannya menembus seleksi timnas, rela pergi ke Jepara demi mengikuti seleksi. Akhirnya ia berhasil terpilih dan ikut pemusatan latihan di Bandung. Ia rupanya ingin tampil di Amsterdam dengan mengemban misi perubahan. Bukan dengan berjuang sendirian, bersama teman-temannya di Rumah Cemara, ia berusaha menyingkirkan stigma negatif yang melekat pada orang-orang sepertinya.

"Ingin membuktikan kepada masyarakat yang selama ini menganggap ODHA tidak bisa ngapa-ngapain,” katanya dengan tatapan serius yang masih terlihat begitu ramahnya. “Kami bisa membuktikan ODHA bisa berprestasi dan bisa memberikan yang terbaik kepada masyarakat."

Kerja kerasnya memang berbuah manis. Ia bisa berangkat membela tanah air dan membawa Indonesia menjuarai Amsterdam Cup, yang artinya Indonesia berada di peringkat 17 dunia. Memang bukan hasil terbaik yang pernah diraih Indonesia, tapi itu cukup membuat masyarakat bangga.

Di balik euforia yang terlihat, pernah ada kejadian mengharukan sebelum akhirnya terbang ke Amsterdam. Rokim yang terjangkit HIV/AIDS akibat jarum tato tidak steril, kehilangan sepatu satu-satunya. Saat pemusatan latihan di Bandung, sepatu tuanya itu jebol. Padahal sepatu yang setia menemaninya bermain bola itu sudah ia anggap legenda. Mungkin itu kesayangannya juga. Ia tidak bisa membawa sepatu legendaris itu ke Amsterdam. Namun, ia bisa membawa sepatu baru ke Amsterdam buah hasil kepedulian teman-temannya.

Saat ditanya soal kisah sepatunya itu, senyum Rokim bercampur dengan perasaan aneh. Ia agak kesulitan menjawab pada awalnya. Bukan enggan, hanya saja saya tahu ia sedang berdamai dengan perasaannya. Dari gelagatnya yang demikian itu, saya menafsirkan kalau ia sedang senang bercampur haru. Mungkin kalau tidak banyak orang, ia akan menangis. Siapa tahu?

“Intinya, semoga Tuhan yang membalas. Karena saya juga tidak mengira apa yang teman-teman lakukan," jawab Rokim jujur.

Rokim memang tidak menyangka teman-temannya itu begitu baik, mau patungan membelikannya sepatu baru supaya bisa diajak main di Amsterdam. Saya jadi ingat kepada seorang dermawan bernama Steve Nash. Ia adalah pemain bola basket NBA yang tergabung di timnas Kanada. Pada Olimpiade tahun 2000, Nash memberi pelatihnya uang sebesar $25.000. Hal itu ia lakukan demi membantu teman-teman setimnya menambal ongkos perjalanan.

Persamaan antara Nash dengan timnas Indonesia adalah bicara soal menjadi sebuah tim. Mereka sama-sama tahu, pertandingan tidak akan berlangsung tanpa sebuah tim yang baik. Yang artinya, pemain satu dengan lainnya harus ikut bahu-membahu. Dalam arti lain, tim yang solid. Bahkan pelatih mereka, Gimgim Sofyan, mengaku senang memiliki tim yang kompak di dalam dan di luar lapangan.

"Yang bedain tim ini dengan tim-tim sebelumnya tuh, terus terang, dari segi tim mereka lebih kompak. Mereka lebih berpadu, bisa bermain layaknya tim dan itu kelebihan dari tim yang kita punya untuk kali ini," ujar Gimgim.

Gimgim juga menambahkan, baginya apa yang dilakukan anak asuhnya kepada Rokim adalah juara. Manajamen memang belum mampu memberikan yang terbaik. Kejadian itu sangat membuka mata, dalam segala keterbatasan mereka melakukannya bersama-sama demi perubahan. Sebuah niat baik menjaga kaki-kaki Rokim di lapangan. Ia jadi bisa berlari berbalut sepatu anyar di Amsterdam.

Saya merasa ingin terhenyak mendengar cerita-cerita itu. Yang kemudian membuat saya berpikir, ternyata keadaan saya yang terbilang kacau tidak lebih buruk dari mereka. Saya tidak perlu berhadapan dengan stigma masyarakat terhadap saya. Saya cukup memilih jalan yang baik bagi saya. Sementara Rokim cs. justru masih harus berupaya menyingkirkan stigma negatif sambil berusaha kembali ke jalan yang seharusnya.

Berkaca pada kisah HWC ini menambah keyakinan diri, untuk mengubah nasib memang dimulai dari diri sendiri. Perubahan tidak akan terjadi jika mereka diam. Masing-masing dari mereka pasti mendamba perubahan hidup yang baik.    

Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Tergabung dalam pers mahasiswa dJATINANGOR. Akun twitter: @NJPgagaw.

Komentar