Dan Pemenangnya adalah Nobar Itu Sendiri

Panditcamp

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Dan Pemenangnya adalah Nobar Itu Sendiri

Ditulis oleh R.M Agung Bowo

Ronaldo menerima umpan matang dari Kleberson, mengontrol laju bola yang sengaja dilewati Rivaldo, kemudian dengan mulusnya bola diarahkan ke sisi kiri gawang Oliver Kahn. Saya yang waktu itu masih berusia tujuh tahun lantas menangis terisak-isak. Bukan karena saya seorang Jerman atau pelaku sejarah runtuhnya tembok Berlin. Jerman, kala itu, adalah timnas pertama yang saya dukung pada gelaran Piala Dunia.

Pada sebuah tempat terpencil di antara Citayam dan Bojonggede, euforia Piala Dunia 2002 sulit ditampik. Benua Asia yang kala itu bertindak sebagai tuan rumah membuat kami bersuka cita. Adapun yang menjadi salah satu faktor utama karena jam pertandingan sesuai dengan aktivitas penduduk Asia.

Sebagai bocah ingusan yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar, menyaksikan Piala Dunia sore hari adalah keberkahan. Begitu pula saat malam hari, saya masih sempat menonton pertandingan yang tayang pukul 20.00 sampai 22.00 asal selesai mengerjakan PR. Hasil tontonan malam hari dengan gagahnya saya diskusikan dengan para kawan di kelas pagi harinya.

Empat tahun ketika turnamen akbar itu digelar di negara Perancis, saya masih berusia empat tahun hingga sulit mencerna makna dari hadirnya 22 pemain yang saling berebut bola. Piala Dunia 2002 adalah momen berharga, karena dalam hal sepakbola jadi serba pertama bagi saya.

Piala Dunia 2002 sebagai suatu fragmen yang memprakarsai minat saya dalam menekuni segala hal tentang sepakbola. Pertama kalinya kamar tidur saya bertempelkan poster para pemain sepakbola (sebelumnya hanya ada poster Paman Gober). Pertama kalinya saya menyisihkan uang jajan untuk membeli koran bola (sebelumnya disisihkan utnuk membeli makanan atau mainan). Pertama kalinya saya mengerti aturan-aturan dasar pertandingan sepakbola; seperti offside, hukuman penalti, handsball, tendangan penjuru, akibat kartu kuning dan merah, sampai perpanjangan waktu. Pertama kalinya dan ini bagian yang paling disyukuri; saya ikut nonton bareng alias “nobar”.

Di kawasan Citayam, nonton bareng Piala Dunia bak sebuah tradisi. Perayaan hadirnya kejuaraan empat tahunan itu selalu disikapi sebagai bentuk rasa syukur hingga semua manusia yang hadir tenggelam dalam puja-puji kesebelasan favorit masing-masing.

Nonton bareng terdiri dari dua kata. Kata pertama “nonton” berasal dari kata dasar "tonton" yang merupakan kata kerja. Kata kedua “bareng” adalah kata sifat yang artinya bersama-sama. Sehingga nonton bareng yang disingkat “nobar” adalah sebuah kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama.

Saya kira dengan menonton sendirian di depan televisi ditemani soda dan setoples kacang sukro sudah dapat larut dengan euforia Piala Dunia, ternyata anggapan itu salah. Momen final Piala Dunia 2002 yang mempertemukan Jerman dengan Brazil disambut meriah oleh lingkungan RT di rumah saya. Pasalnya, untuk pertama kalinya, acara nonton bareng digelar.

Awalnya saya ogah dan berniat menonton di rumah saja karena kebanyakan kawan adalah pendukung kesebelasan Brazil sehingga saya menghindari debat dengan mereka. Namun kain putih lebar lengkap dengan proyektor dan sound system berjarak hanya sepuluh meter dari televisi rumah. Sungguh suatu kebetulan yang tidak dapat dihindari mengingat pihak RT memutuskan menggelar acara nobar di garasi rumah saya. Apa boleh buat, saya terpaksa lebur dengan kawanan berbaju kuning pendukung Brazil. Saya masih ingat betul saya adalah satu-satunya bocah yang mengenakan kostum putih milik Jerman.

Kepulan asap rokok, tangis rewel bayi, harum kuah sekoteng, angin malam yang seliwiran menusuk dada adalah kondisi garasi rumah saya yang disulap menjadi arena nobar. Dari mulai anak-anak, remaja, bapak-bapak bahkan ibu-ibu turut meramaikan acara gratisan tersebut. Bahkan salah seorang tetangga harus membawa bayinya turut serta karena takut jika sang bayi ditinggal sendirian di rumahnya. Mereka bukan para kaum papa yang tidak punya televisi, kebersamaan semangat euforia yang membuat mereka rela meluangkan waktu.

Tidak sekadar nonton kesebelasan favorit, makna lain di balik nobar yakni mempererat tali silaturahmi dan menumbuhkan sifat toleransi. Bahkan tidak jarang nobar menjadi ajang transfer informasi. Alhasil, wawasan kita akan semakin bertambah luas karena berkomunikasi dengan peserta lain.

Hiruk pikuk nuansa nobar mengubah suasana hati saya yang tadinya ogah menjadi ceria kembali. Setidaknya untuk 45 menit awal sebab pada babak kedua, dua gol Ronaldo ke gawang Kahn mengubur impian saya melihat kesebelasan favorit jadi juara.

Karena ikut nobar, saya menemukan banyak teman baru dari RT lain, bahkan dari desa sebelah akibat berbincang seputar sepakbola a la Weshley Hutagalung. Beberapa kawan kagum akan kemahiran saya dalam memprediksi partai final tersebut, pun dengan saya yang kagum karena mereka turut menambah wawasan akan sepakbola.

Bukan hal mustahil ketika nobar anda menemukan banyak sekali para komentator sepakbola gadungan. Itulah yang terjadi di garasi rumah saya tahun 2002. Saya masih ingat betul betapa komentar pedas membuat saya harus berulang kali mengelus dada. Namun disitulah letak keunikan nobar, melatih kesabaran dan juga sifat toleransi.

Nobar pertama saya berakhir kekecewaan. Jerman yang saya banggakan, pada partai puncak tampil menyedihkan hingga membuat air mata saya keluar. Alih-alih larut dalam emosi, salah seorang tetangga merangkul pundak saya lalu menjelaskan alasan kekalahan Jerman dengan nada lembut dan kalimat yang mampu ditangkap logika. Saya tidak ingat pasti kata-katanya saat itu, yang pasti kata-katanya memikat hati.

Pasca menggelar nobar di garasi rumah, selain rasa sedih ada perasaan lain yang turut hadir di relung hati. Ya, betapa nuansa kebersamaan nonton bareng adalah keceriaan semu yang membuat saya makin tertarik menggeluti hingar bingar dunia sepakbola. Mungkin jika saya nonton sendiri saya akan berhenti menonton sepakbola akibat rasa kecewa, akan tetapi nobar menyelamatkan saya dari hal tersebut. Brazil memang keluar sebagai juara setelah menghantam panser Jerman dua gol tanpa balas.

Akan tetapi bagi bocah tujuh tahun yang baru belajar merangkak dalam hal sepakbola, nobar adalah pemenangnya.

Penulis adalah peserta kelas menulis di #PanditCamp dengan akun Twitter @agungbowo26

Komentar