The Beatles FC

Panditcamp

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

The Beatles FC

Ditulis oleh R.M Agung Bowo

Bukan perkara mudah jika anda diminta menyusun starting line-up yang memuat nama-nama sekelas John Lennon, Paul McCartney, George Harrison dan Richard Starkey—lebih populer dengan sebutan Ringo Starr.

Utak-atik formasi memang selalu menjadi hal menarik bagi para penggemar sepakbola. Itulah sebabnya permainan football manager sangat digemari. Sangat menarik juga jika mengutak-atik komposisi pemain dalam sebuah formasi sepakbola dengan berisikan orang-orang yang bukan pemain sepakbola. Entah itu para politikus, para filsuf dan sastrawan, atau pun musisi.

Saya mencoba melakukannya dengan menggunakan para personil The Beatles sebagai pemain utamanya. Saya kira ini “permainan” yang menarik, setidaknya merangsang ingatan dan pengetahuan saya mengenai The Beatles. Menempatkan orang-orang Merseyside itu ke dalam racikan formasi harus sesuai dengan watak dan kemampuan mereka dalam bermusik, sehingga peran di lapangan pun selaras dengan karakteristik masing-masing.

Dalam anatomi sepakbola, struktur utama yang pasti membentuk sebuah kerangka bermain terbagi ke dalam empat elemen; kiper, bek, gelandang dan penyerang. Empat elemen itu mendasari para manajer untuk mengkreasikan formasi sesuai strategi, kebutuhan dan kedalaman skuat masing-masing. Apapun skema yang diterapkan manajer di lapangan, keempat elemen itu pastilah ada.

Sama halnya dengan John, Paul, George dan Ringo yang posisi keempatnya begitu penting bahkan mendasari popularitas The Beatles. Jika salah satu saja dari mereka hilang, tentu tidak dapat disebut sebagai The Beatles.

BEATLES FC

Richard Starkey sebagai Kiper

Para penggemar The Beatles lebih suka menyebutnya Ringo Starr. Bagi saya nama Ringo Starr hanya nama punggung, layaknya Javier Hernandez yang ditulis “Chicarito”. Ringo adalah drummer yang dalam formasi di atas panggung berada pada posisi yang paling belakang. Pun dengan kiper, posisi kiper dalam sepakbola adalah posisi paling belakang.

Kiper identik dengan nomor punggung 1 mengingat perannya hanya sanggup diemban oleh satu orang. Sungguh tak lazim bila ada lebih dari satu kiper dalam satu tim di lapangan.

Khusus untuk Ringo, ia selayaknya Courtois atau Barthez, kiper yang tidak mengenakan nomor 1. Secara historis Ringo bukan founding fathers The Beatles karena baru bergabung dua tahun setelah band itu dibentuk. Sehingga prematur bila ujug-ujug memberikan kostum nomor 1 kepada Ringo. Kendati demikian perannya sebagai drummer tak perlu diragukan lagi.  

Seorang kiper apabila sekali tampil buruk secara langsung berimbas pada kegagalan tim memetik kemenangan. Pun ketukan-ketukan Ringo yang buruk juga akan berimbas pada performa The Beatles di atas panggung. Namun peringkat kelima drummer terbaik sepanjang masa versi majalah Rolling Stones agaknya menjadi bukti bahwa Ringo jarang tampil buruk.

Secara fisik Ringo bukanlah tipe kiper ideal sebab tidak berpostur tinggi besar, akan tetapi bagian fisiknya yang lain, yakni kecepatan dan ketepatan tangannya saat menabuh drum, membuat saya tidak khawatir mempercayakan gawang kepadanya.

Hal ini tentu mengingatkan kita pada legenda Real Madrid yang dibuang Florentino Perez, Iker Casillas. Dengan postur tubuh yang terbilang pendek bagi ukuran kiper, tangan-tangan Casillas adalah malaikat penjaga yang ampuh melindungi jala Madrid dari setan-setan yang tak dikehendaki.

Paul McCartney sebagai Bek

Meski di atas panggung dirinya adalah frontman bersama dengan John Lennon, akan tetapi watak keduanya bak bumi dan langit. Beatlemania tentu mengenal dengan baik karakteristik lagu mana yang digagas McCartney dan mana yang digagas Lennon. Jiwa pemberontak yang diutarakan John lewat karya musiknya yang keras dan tidak beraturan, berbanding terbalik dengan yang diciptakan Paul.

Tampil lebih elegan dan kalem membuat Paul agaknya sesuai bila ditempatkan sebagai pemain bek yang tidak banyak melakukan gerakan dan lebih butuh kedisiplinan dalam menjaga area dan mengawal penyerang lawan yang yang hobinya bergerak ke sana kemari membongkar pertahanan lawan. “Oh I believe in defender...”

Kendati berposisi sebagai bek, jangan remehkan kepiawaian Paul dalam urusan mencetak gol. Dalam sepakbola, peran yang diemban Paul layaknya seorang fullback alias bek sayap dalam skema empat pemain bertahan. Kegemarannya naik membantu serangan menguntungkan tim karena urusan mencetak gol tidak datang hanya melalui penyerang namun juga pemain bertahan. Terbukti dari banyaknya mahakarya yang ditelurkan Paul.

Bukan hal yang jarang terlihat jika seorang bek mencetak banyak gol ke gawang lawan. Roberto Carlos adalah antitesa dari tesis yang menyatakan bahwa peran bek sejatinya hanya bertahan dan bukannya menyerang apalagi mencetak gol. Adalah dosa besar membiarkan ruang menganga di depan Carlos, sebab yang terjadi bisa sangat buruk bagi lawan. Selain itu, berikan Carlos jarak tembak ideal, maka dengan senang hati pria berkepala plontos itu akan mengubahnya menjadi sebuah gol cantik dari bola mati.

Sama halnya dengan Paul, berikan saja ia alat musik dan alat tulis, dalam sekejap ia sanggup menyerang hati anda lewat senandung musik dan lirik yang perih. Sudah terlalu banyak gol yang dicetak melalui serangan ala Paul, “Hey Jude”, “The Long And Winding Road” dan “Yesterday” adalah contohnya. Kebanyakan korban tersayat lewat nada-nada khas Paul yang diselesaikan melalui sontekan tajam, menghujam jantung para penggemar The Beatles.

Selain harus disiplin, fullback juga harus lincah dan memiliki kreativitas tinggi. Paul merupakan salah satu personil The Beatles paling lincah. Ketika tiga rekannya memutuskan vakum dari tur akibat dilanda kejenuhan, dirinya justru tergoda oleh ajakan George Martin agar The Beatles menggelar tur secara terus menerus. Paul juga sosok yang punya selera tinggi. Ia tidak segan marah kepada Harrison saat rekaman lagu “Hey Jude” hanya karena kreativitasnya dalam bermusik terganggu petikan-petikan sumbang dari gitar Harrison.

Ketajaman Paul yang sejatinya seorang bek sangat menguntungkan bagi The Beatles FC. Kehadirannya jelas memberi warna tersendiri, mampu menjadi alternatif yang menguntungkan bagi tim dan yang terpenting juga bisa menyumbangkan gol-gol yang krusial di momen-momen genting.

George Harrison sebagai Gelandang

Ketika ditanya “siapa personil The Beatles yang paling berpengaruh?” jawabannya tentu beragam. Kebanyakan Beatlemania akan saling membenturkan kehebatan Paul McCartney dan John Lennon. Namun ketika ditanya “siapa personil The Beatles yang paling pendiam?” tanpa perlu perdebatan, nama George Harrison akan banyak menjadi jawabannya.

“Silence often says much more, than trying to say what’s been said before,” begitu kata Harrison saat diwawancara reporter BBC.

Dalam sepakbola, kesunyian posisi seorang gelandang atau pemain tengah justru kerap begitu bermakna bagi seorang penyerang. Ketika orang bertepuk tangan untuk gol yang dicetak penyerang, belum tentu orang yang sama akan bertepuk tangan kepada gelandang yang memberi penyerang itu umpan matang. Padahal, semestinya, orang juga harus bertepuk kaki untuk assist yang diciptakan gelandang dalam prosesi gol tersebut.

Dalam posisi tersebut, perangai kalem Harrison nampak sesuai. Terlebih ia akan piawai memerankan diri sebagai pemain tengah yang tampil defensif namun brilian dalam mengatur serangan dari tengah. Begitulah peran deep-lying playmaker, yang terkadang tenggelam dan tak terlihat, namun sejatinya vital. Persis seperti figur Harrison yang tenggelam oleh popularitas Lennon-McCartney.

Watak pendiam Harrison memancarkan aura ketenangan, sehingga dari situlah ide-ide kreatif dapat mengalir seperti air. Sama seperti peran deep-lying playmaker dalam sepakbola, ketika para penyerang tampil buntu, ia lantas membantu dengan menjadi pembeda permainan lewat kreativitas serangan dan umpan-umpan jarak jauh yang mengejutkan.

Selain sebagai pembeda, peran deep-lying playmaker yang secara wilayah berada di depan pemain bertahan dan di belakang pemain menyerang, berfungsi sebagai penyeimbang permainan sekaligus penerus aliran bola. Sudah menjadi rahasia umum, The Beatles bubar karena dua matahari kembar yang saling bersinar sudah tidak mampu lagi bekerja sama. Di sinilah peran serta fungsi Harrison yang bertahun-tahun menjadi penyeimbang grup band The Beatles sekaligus penghubung ketika Lennon-McCartney sedang tak saling bicara.

Harrison mencoba memberi pesan lewat karyanya berjudul “Here Comes The Sun” bahwa kehangatan pasti akan datang di antara dingin yang membisukan. Layaknya manusia beradab yang selalu berharap agar segalanya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Adalah keniscayaan karena yang ditunggu dari datangnya matahari adalah hangatnya sinar matahari, bukan hawa terik yang senantiasa membakar apapun. Tanpa seorang yang hangat seperti Harrison, The Beatles tak akan bubar pada 1970 melainkan sudah bubar sejak 1966, saat semua sudah muak dengan tur konser -- kecuali McCartney.

Ketika bicara pemain yang sukses mengemban peran deep-lying playmaker, tentu Andrea Pirlo adalah salah satunya. Pirlo sukses memberi warna pada Italia hingga mampu mencapai puncak tertinggi di final Euro 2014 dan di musim lalu sukses mengantarkan Juventus berlaga di partai final Liga Champions meski kedua partai tersebut berakhir dengan kekecewaan.

Harrison juga demikian. Ketika The Beatles dikritik karena menciptakan musik yang monoton, “Norwegian Wood” karya Harrison hadir memberi warna berbeda. Warna musik pada sitar India yang dipetik dengan anggun oleh jemarinya menjadikan lagu tersebut memberi warna yang segar. Seakan menjadi jawaban atas jiwa-jiwa yang gandrung akan perubahan, album yang dirilis 3 Desember 1965 itu pun dinamakan “Rubber Soul”.

Namun layaknya karakter yang diceritakan dalam lirik lagu “Norwegian Wood”, peran vital Harrison bisa dibilang hanya numpang lewat saja: muncul, lalu berlalu, dengan ringan, seakan tak ada apa-apa.

John Lennon sebagai Penyerang Sekaligus Kapten

John Lennon adalah pribadi yang komplit. Ada sosok musisi, aktor, penulis buku bahkan aktivis dalam tubuh dan hayat Lennon. Karya-karyanya dapat dikatakan sebagai alat perjuangan ketimbang sekadar hiburan. Orang akan dengan cepat membenci John ketika pernyataannya menyinggung Tuhan salah satu agama, orang juga akan dengan cepat mencintai John ketika telinga mereka sampai tahap orgasme mendengarkan lagu-lagu seperti “Revolution”, “Strawberry Fields Forever” dan “Imagine”.

Adapun yang menjadikan John layak mengemban tugas sebagai seorang penyerang adalah jiwa pemberontaknya yang menggebu-gebu. Hal itu tentu akan disukai manajer manapun karena naluri menyerangnya sangat tajam sehingga akan sangat potensial menjadi juru gedor mematikan. Kendati demikian, penyerangyang baik tak sekadar penggedor serangan, akan tetapi juga punya visi permainan yang tidak hanya menunggu bola namun juga menjemput bola untuk kemudian mengubah arah serangan dengan sentuhan yang mengecoh.

John melakukan kedua hal itu dengan sangat lugas. Hampir seluruh karyanya adalah hasil refleksi kehidupannya. John sampai harus berjalan-jalan di sekitaran pub demi berkenalan dengan perempuan, lalu dikonversinya menjadi sebuah lagu berjudul “Girl” yang terkenal dengan desahan suara vokalisnya itu. Jika ada striker yang rajin turun sampai ke tengah lapangan hanya untuk mencuri bola lalu menggiring bola itu sampai menjadi sebuah gol, pastilah semua manajer akan saling sikut berebut tanda tangannya.

Baca juga

Mengenang Justin Fashanu, Pesepakbola Homoseksual dalam Nuansa Musik Rock


Sepakbola dan Musik, Sejawat yang Sulit Dipisahkan


Si Bengal Liam Gallagher dan Jack Wilshere yang Tak Akan Pernah Menang


Warisan Aksi Panggung Keluarga kepada Flores untuk Hadapi Liga Inggris



Kepiawaian John dalam menggalang kekuatan rekan-rekannya juga patut diapresiasi. Tanpa inisiatif John yang hendak mengubah kisah hidupnya yang muram, sebuah grup band legendaris bernama The Beatles tidak akan pernah ada. Semangat mencari personil, membuat lagu dan mengunjungi studio rekaman di sana-sini membuat John layak menyandang kapten.

Ketika timnya tampil di bawah performa terbaik, John adalah orang yang pertama kali marah meskipun kepada rekan-rekannya sendiri. Wajar bila kemudian ia merefleksikannya ke dalam lirik seperti ini; “living is easy with eyes closed, misunderstanding all you see”.

Dalam sebuah kesebelasan, banyak aspek yang dipertimbangkan untuk menentukan layak atau tidaknya seorang pemain memakai ban kapten. Melihat kerja keras, visinya yang tajam, mental juara dan semangat juang John Lennon, tampaknya bukan hal berlebihan jika dirinya menjabat kapten tim.

John Lennon selain visioner juga revolusioner. Semangat memberontak tak pernah padam dari dalam dirinya. “I Am The Walrus,” katanya.

Pendekatan konflik agaknya menjadi primum remedium bagi John dalam menyelesaikan masalah, sehingga ia butuh kompatriot yang tak hanya mampu bekerja sama dengannya, tetapi juga mampu mengendalikan watak kerasnya. Adapun peran ini diemban baik oleh Paul maupun George yang kerap tampil sebagai penjinak semangat revolusionernya.

Ketika pasangan emas Tsubasa-Misaki hanya ilusi, Lennon-McCartney hadir sebagai pasangan sejati. Kendati Paul berposisi cukup jauh di belakang John, namun kepiawaiannya dalam melakukan overlap untuk sekadar membantu serangan atau bahkan mencetak gol membuat Paul tampil sebagai katalisator yang baik bagi penyerang yang selalu haus gol itu.

Duet maut Lennon-McCartney mampu membuat orang-orang seisi stadion berteriak histeris, saling menjambak rambut, gigit jari, bercucuran air mata, bahkan ada yang sampai jatuh pingsan. Bicara John Lennon berarti bicara The Beatles. Sama seperti bicara Barcelona berarti bicara Messi, bicara Totti berarti bicara AS Roma dan bicara Suarez berarti bicara gigitan.

Betapa semangat juang yang gigih, jiwa revolusioner bermentalkan juara dan visi permainan seorang John Lennon patut dijadikan panutan bagi para striker. Kini sang kapten telah tiada, namun kisah hidupnya selalu identik sebagai seorang kapten The Beatles yang mampu membawa timnya ke puncak tertinggi.

“Imagine there wasn’t a John, it’s absolutely hard to think.”

 Penulis adalah peserta kelas menulis di #PanditCamp dengan akun Twitter @agungbowo26

Komentar