Juventus (Mesti) Berharap pada Berkah Kompetisi Kasta Kedua

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Juventus (Mesti) Berharap pada Berkah Kompetisi Kasta Kedua

Oleh: Alfan Suhandi





Italia berduka. Dua kuda pacu scudetto rontok pada putaran grup Liga Champion. Sepasang tim wakil Italia Utara dan Italia Selatan, Juventus dan Napoli, harus menerima kenyataan pahit pada pertandingan terakhir mereka.

Napoli sebenarnya mampu menang 2-0 atas Arsenal. Tapi hasil itu tidak mampu meloloskan tim besutan Rafael Benitez, karena Dortmund mampu mengungguli Marseille di Prancis.

Sementara itu, Juventus pun tidak kalah mengenaskan. Sang Nyonya Tua tersingkir karena gol semata wayang Sneijder -eks punggawa Internazionale- saat waktu normal tersisa lima menit saja.

Kala itu, suporter Juventus sebenarnya tidak bisa meminta lebih dari skor 0-1 jika menengok kondisi rumput Turk Telekom Arena. Stadion neraka yang identik dengan asap merah terlihat seperti padang bermain anak-anak: penuh kubangan lumpur yang bercampur salju yang enggan menyingkir. Kedua klub ditengarai kembali meminta laga ditunda, namun otoritas UEFA bersikeras partai sisa itu harus habis pada hari Rabu (11/12).

Tetapi, di balik pledoi rumput, sebenarnya Conte dan pasukannya menyiratkan kerinduan pada sosok Pirlo. Koneksinya jelas! La Vecchia Signora bermain tanpa arah dengan umpan lambung yang terlalu mendominasi. Fernando Muslera bahkan relatif menganggur hari itu, sementara Buffon sempat menepis usaha Drogba dengan satu tangan.

Galatasaray sebagai kuda hitam paham betul pentingnya memaksimalkan laga kandang. Apalagi itu partai penentuan. Ya, harus diakui anak asuh Roberto Mancini bermain dengan determinasi setingkat di atas Juve.

Berkah Berselubung Cibiran

Pada akhirnya, pantang untuk Sang Kekasih Italia bermuram durja karena hasil itu. Di Serie-A, sang Serigala Ibu Kota bisa menerkam kapan saja jika Zebra lengah. Jarak delapan poin hingga pekan ke-20 terlalu berharga dan harus dijaga, karena intensitas persaingan kini cenderung meninggi.

Apalagi, di Coppa Italia, Juventus juga tersingkir karena kalah dari AS Roma. Status raja Italia di piala domestik, yang diperebutkan oleh Juventus dan Roma karena telah sama-sama mengoleksi sembilan gelar�sudah pasti lepas dari tangan Juventus.

Maka, meski dicibir karena dianggap kompetisi kasta kedua, "pengasingan" ke Liga Eropa semestinya jadi berkah terselubung bagi Juventus. Ayolah. Chelsea sukses mengawinkan trofi Liga Eropa dan Liga Champion pada dua musim beruntun, dan apa ada yang berani mencibir pencapaian mereka?

Maksud saya, trofi adalah trofi dan jalan mendapatkannya sama-sama dengan keringat. Pernyataan Presiden Napoli yang mengatakan bahwa Liga Eropa adalah kompetisi tak berguna, yang hanya akan membuang waktu, sesungguhnya patut dipertanyakan. Jangan lupa. Bahkan Si Dewa Napoli, Diego Maradona, menggunakan ajang serupa untuk menasbihkan status maha-bintangnya.

Juventus, seperti yang dijanjikan Conte, harus pasang target tinggi pada kompetisi ini. Kalau pun capaian juara masih terlalu pagi, minimal masukilah pelataran LE dengan persepsi "semegah" LC. Permasalahan taktik biarlah waktu yang menjadi saksi, tapi jangan pernah menganggap diri sudah menang sebelum peluit wasit berdentang.

Apalagi Juventus punya privilese khusus pada penghujung Liga Eropa edisi 2013/2014. Laga final akan digelar di Juventus Stadium! Mengangkat piala di hadapan tifosi-nya sendiri pasti jadi satu hal yang diinginkan oleh semua tim.

Sejarah Berpihak pada Si Nyonya Tua

Banyak yang menjadikan kompetisi ini bahan lelucon untuk mengilustrasikan kepayahan Juve di Liga Champion. Tapi, fans yang optimis akan langsung merujuk pada sejarah atau statistik.

Juventus merupakan satu dari tiga klub pemegang gelar terbanyak pada ajang yang dulu bernama Piala UEFA ini. La Fidanzata d�Italia atau sang kekasih Italia mengoleksi trofi edisi 1977, 1990, dan 1993. Dua raja lainnya adalah Liverpool (1973, 1976, 2001) dan Inter Milan (1991, 1994, 1998). Total sembilan titel diraih ketiga klub itu saat kompetisi masih berformat Piala UEFA.

Terlepas dari itu, menjadi yang teratas dalam satu turnamen reguler UEFA bisa jadi jawaban dari Conte atas label jago kandang yang kadung tersemat. Kalau Liga Champion belum sudi mendekati si Nyonya Tua yang labil pada tingkat kontinen, trofi LE bisa jadi pembuka jalan.

Kembali ke ihwal sejarah, Piala UEFA punya memori manis tersendiri untuk Juventus. Trofi UEFA adalah gelar Eropa pertama yang masuk almari Zebra Turin. Banyak sosok legendaris klub yang angkat nama pada ajang itu. Mungkin yang paling diingat adalah si kuncir Roberto Baggio. Ia meraih Ballon d�Or 1993 setelah mengantar Juve merajai Piala UEFA pada tahun yang sama.

Jauh sebelum itu, Giovanni Trapattoni membuka lebar kecemerlangan karir manajerialnya setelah raihan perdana Juventus di Piala UEFA musim 1976/1977.

Menutup Lubang Kerugian Finansial

Kini, kendali penuh ada pada Conte dan Bepe Marotta. Sang direktur olahraga barangkali tidak bisa tidur nyenyak memikirkan dampak tersingkirnya Juve dari Liga Champion dan Coppa Italia. Di lantai bursa saham mestinya Juventus ikut anjlok. Potensi pendapatan sebesar 35-40 juta euro amblas.

Musim lalu, saat mampu menapak perempat final, senyum Juventus sangat lebar. Pendapatan sebesar 65,3 juta euro yang diterima dari UEFA bahkan lebih tinggi dari 55 juta Euro yang diterima sang juara Bayern Muenchen!

Ya, terdepaknya Juventus dari Liga Champion menghilangkan pundi-pundi dari uang televisi. Apalagi Juventus adalah tim yang pendapatan dari hak siarnya paling tinggi di Eropa.

Maka dari itu, pendapatan seminim apapun dari Liga Eropa (hanya 11,1 juta), seharusnya bisa digunakan sebagai penambal kebocoran. Jika tidak, siap-siap saja memikirkan nama yang akan ditendang di bursa transfer Januari.

Apalagi Conte kelebihan stok di sektor penyerang. Pada saat busa transfer ditutup, maka jangan heran jika salah satu (atau dua?) dari Giovinco, Vucinic, dan Quagliarella sudah tidak berbaju Bianconeri lagi.

Sepak bola memang berlangsung di lapangan, namun jauh sebelum peluit kick-off ditiup, proses transaksional sudah menancapkan pengaruhnya yang sangat dalam. Jual-beli pemain tak terelakkan lagi demi mencapai keseimbangan kas. Tapi penulis tetap angkat topi bagi siapa saja punggawa yang terpaksa menyusul Matri keluar dari Juventus Stadium.

Menutup lubang kerugian finansial, tampil di kandang sendiri saat partai puncak, potensi dobel gelar, dan memantapkan diri sebagai kolektor terbanyak trofi yang bersangkutan. Terlalu banyak alasan atau motivasi yang bisa diperjuangkan Juventus di Liga Eropa, dibanding sekadar setor muka pada UEFA.

Rekor Conte masih belum mengkilap kalau tidak mau dikatakan buruk- di ajang antar benua. Saatnya mentransformasikan semangat "raja kandang" ke kompetisi prestisius bernama Liga Eropa.

Kalau belum bisa melangkah jauh di LE, bagaimana mau bermimpi bisa meraih trofi LC ketiga? Bukan begitu, Conte?



Dikirim oleh:

Alfan Suhandi akun Twitter: @alfansuhandi

Mahasiswa Sosiologi UGM. Seorang Juventini, rutin menembus tabloid dan majalah sepak bola sejak 2011.

Foto: Youtube

Komentar