Ketika Suksesor Zidane Ini Terpuruk dan Menjadi Ronin

Cerita

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Ketika Suksesor Zidane Ini Terpuruk dan Menjadi Ronin

Ketika Kaká sedang berada di puncak permainannya dan Manchester City dikabarkan berniat memboyong sang pemain ke Inggris dalam sebuah rencana pemecahan rekor transfer dunia, tidak terjadi kepanikan yang berlebihan di AC Milan. Buat apa panik jika Milan saat itu merasa punya playmaker sangat potensial? Siapa lagi kalau bukan Yoann Gourcuff.

Sang pemuda Perancis adalah sebuah pengecualian. Karim Benzema dan Samir Nasri dipandang sebagai Zidane baru karena mereka sama-sama putra imigran seperti Zidane. Namun Gourcuff mendapat julukan Le Successeur – sang suksesor – murni karena kualitas permainan yang ia tampilkan di atas lapangan. Dan julukan tersebut datang dari sumber yang tidak sembarangan: L'Equipe yang biasanya hati-hati dalam melontarkan pujian.

Potensi mahabesar yang sangat menjanjikan, toh, pada akhirnya terbukti tidak mampu membantu Gourcuff menghindari perputaran roda nasib. Dulu mengabdi untuk Stade Rennais, Milan, Girondins de Bordeaux, dan Olympique Lyonnais, kini ia menjadi seorang samurai tak bertuan. Menjadi ronin.

“Terlepas dari imajinasi seorang nomor 8 dan bakat serta teknik seorang nomor 10, ia memiliki kekuatan seorang nomor 6,” ujar Christophe Dugarry, juara Piala Dunia 1998 dan Euro 2000 bersama Perancis. Kualitas-kualitas itulah yang membuat Duggary, sahabat Zidane sendiri, menilai Gourcuff lebih lengkap dari Zidane. Gourcuff dapat bermain di lebih banyak posisi walau ia seringkali bermain di posisi gelandang serang atau penyerang lubang.

Memasuki Piala Dunia 2010, Gourcuff pula yang mengambil alih peran pengatur serangan utama yang pada Piala Dunia edisi sebelumnya milik Zidane. Patut dicatat, bakat besar Gourcuff dan kemampuannya menggantikan Zidane baru benar-benar menjadi perbincangan nasional sejak 11 Januari 2009.



Melawan Paris Saint-Germain, Gourcuff menerima bola dengan posisi membelakangi gawang dan dalam tekanan dua pemain lawan. Dengan empat sentuhan dalam satu rangkaian gerakan yang melibatkan Marseille Turn dan La Croqueta, Gourcuff membebaskan diri dari Sylvain Armand dan Sammy Traoré. Sebuah Trivela menjadi sentuhan kelima dan terakhir sebelum bola melewati garis melewati sudut atas gawang.

Saat itu musim dingin namun Duggary, yang berada di Stade Chaban-Delmas saat Gourcuff mencetak gol tersebut, sampai rela melepas sarung tangan yang ia kenakan hanya agar dapat bertepuk tangan lebih keras.

“Gol tersebut bukan kebetulan,” ujar Duggary. “Gol tersebut menunjukkan ada sesuatu yang luar biasa dalam dirinya. Saya sangat sedih ketika Zidane pensiun. Menyaksikan Gourcuff telah menyembuhkan rasa sakitnya. Ketika saya menyaksikan pemain sepertinya, saya menjadi seorang anak kecil lagi.”

Lain Duggary, lain pula reaksi Adriano Galliani. Sang presiden Milan, yang melepas Gourcuff ke Bordeaux sebagai pemain pinjaman agar sang pemain dapat mengumpulkan banyak pengalaman bertanding di kesebelasan utama sementara Kaká masih ada, mengingatkan dunia bahwa Gourcuff adalah milik kesebelasannya.

Namun rencana tinggal rencana. Gourcuff tidak pernah menggantikan Kaká. Galliani menyesali perjanjian yang tertera dalam kesepakatan peminjaman Gourcuff ke Bordeaux. Di akhir masa peminjaman, Bordeaux menebus biaya transfer permanen sebesar 15 juta euro.

“Saya berusaha sebaik mungkin untuk meyakinkannya agar mau kembali ke Milan,” ujar Galliani. “Namun ia tidak bahagia mendapati fakta bahwa kami tidak mampu menjanjikannya posisi starter. Dengan Piala Dunia yang sudah dekat, Gourcuff berkeras ia membutuhkan waktu bermain untuk mengamankan posisi di Afrika Selatan.”

Berbeda dengan Galliani, Carlo Ancelotti dan Paolo Maldini tidak menyesali kepergian Gourcuff ke Bordeaux pada 2009. Ancelotti merasa bahwa Gourcuff tidak memiliki kesabaran yang dibutuhkan untuk bermain di bawah asuhannya sementara menurut Maldini, Gourcuff di Milan itu “100 persen salah.” Masalah Gourcuff, menurut Maldini, adalah sikap.

“Ia tidak cerdas mengatur diri sendiri,” ujar Maldini kepada L’Equipe pada 2010. “Ketika ia bermain di sini, ia tidak membuat dirinya sendiri menjadi bagian dari kesebelasan. Ia tidak mempelajari bahasa Italia secepatnya.”

Pembelaan pun datang dari Jean-Louis Triaud, presiden Bordeaux. “Yoann tidak seperti itu. Seorang nomor 10 yang tidak bermain sebagai bagian dari kesebelasan itu (tuduhan yang) aneh. Yoann yang kami lihat di Bordeaux tidak seperti itu. Ia membaur dengan sangat baik dengan rekan-rekannya, dan secara kolektif menjadi bagian dari mereka di pertandingan. Ia meninggalkan kenangan yang baik di sini.”

Mengingat Gourcuff juga pergi meninggalkan Bordeaux, jelas Triaud tidak membela sang pemain karena Gourcuff bagian dari kesebelasannya.

Pada 2009, Gourcuff bersama Gourcuff menyudahi dominasi Lyon, juara tujuh musim berturut-turut Ligue 1 sejak 2002. Setahun  setelahnya, Gourcuff menjadi bagian dari Lyon (ralat: bersamaBordeaux).

Kepindahan Gourcuff ke Lyon pantas menjadi sorotan besar karena dua hal. Pertama, biaya transfernya tidak murah: 22 juta euro. Kedua, gaji bulanan Gourcuff mencapai angka 366 ribu euro; termahal saat itu. Lyon sendiri dikenal sebagai kesebelasan yang senang membeli pemain dengan harga murah dan menjualnya dengan harga tinggi. Jika Gourcuff menjadi pengecualian, jelas karena ada sesuatu yang sangat berharga dalam dirinya.

Fakta lain bahwa Lyon tidak melepas Gourcuff ketika mereka melakukan serangkaian cuci gudang – satu per satu pemain bintang seperti Hugo Lloris, Miralem Pjani?, Jean II Makoun, Ederson, César Delgado, Lisandro López, Michel Bastos, Bafétimbi Gomis, Aly Cissokho, Dejan Lovren, Jimmy Briand, Jérémy Toulalan, Anthony Révèillere, Kim Kallstrom, dan Cris meninggalkan Lyon namun Gourcuff tetap tinggal – menjadi bukti tersendiri akan arti penting Gourcuff. Jean-Michel Aulas menaruh kepercayaan yang besar kepadanya.

Namun Gourcuff tak mampu membayar kepercayaan tersebut dengan cukup baik. Selama lima musim berad di Lyon Gourcuff berpeluang tampil dalam 187 pertandingan liga. Namun serangkaian cedera membuat dirinya hanya ambil bagian dalam 90 pertandingan. Dan hanya 23 di antara 90 pertandingan itu yang ia jalani dari menit pertama hingga pertandingan berakhir. Catatan 14 gol dan 17 assist tidak banyak membantu.

Lyon memberi Gourcuff kontrak berdurasi lima tahun ketika sang pemain bergabung. Kontrak tersebut berakhir musim panas ini dan Lyon tidak berniat memperpanjangnya walau usia Gourcuff belum mencapai kepala tiga.

Gourcuff kini berstatus bebas transfer. Dengan riwayat cedera dan gaji tinggi, sulit rasanya Gourcuff mendapat kesebelasan baru. Bahkan Arsène Wenger yang menyukai pemain gratis serta pernah dua kali berusaha memboyong Gourcuff ketika sang pemain berusia 15 tahun dan 19 tahun mungkin tidak akan berusaha membawanya ke London.

Ditambah fakta bahwa Gourcuff baru saja kehilangan sang nenek di awal tahun serta Tiburce Darou – pelatih fisik pribadinya yang membantu Gourcuff dalam banyak proses penyembuhan cedera terutama ketika Gourcuff menderita cedera lutut pada 2012 – di awal bulan Juli, musim panas ini bukan tidak mungkin akan menjadi yang paling sulit dilalui sepanjang hidup Gourcuff.

Komentar