Ketahuilah, Kesetiaan Belum Sepenuhnya Punah dari Industri Sepakbola

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Ketahuilah, Kesetiaan Belum Sepenuhnya Punah dari Industri Sepakbola

Bruno Labbadia memang bisa menyelamatkan Hamburg SV dari ancaman degradasi Bundesliga, namun ini dia tidak mampu menahan Marcell Jansen bertahan di Hamburg.

Jansen merupakan wakil kapten Die Rothosen, julukan Hamburg. Sebagai full-back kiri, ia merupakan andalan yang berperan penting menyelamatkan anak asuh Labbadia dari degradasi.  Mereka bisa lolos dari degradasi karena memenangkan laga play-off atas Karlsruher FC dengan agregat 3-2.  Sebelumnya Hamburg menduduki peringkat 16 klasemen akhir Bundesliga 2014/2015, posisi yang memaksa mereka harus berjuang di play-off.

Tapi sayangnya peran sang wakil kapten itu tidak diganjar dengan sepadan oleh Hamburg. Pasalnya kontrak Jansen, bersama Rafael Van der Vaart, tidak diperpanjang Die Rothosen. Jansen pun mengakhiri musim ini dengan status bebas transfer.

"Kita tidak akan mengadakan pembicaraan tentang kontrak dengan mereka, Rafael (Van der Vaart) dan Marcell (Jansen)," kata Dietmar Beiesdorfer, Direktur Hamburg, pada akhir Maret lalu.

Ucapan tersebut, walau dikatakan pada Maret, ternyata bukan isapan jempol belaka. Ucapan itu sangat serius dan direalisasikan. Marcell pun harus benar-benar angkat kaki dari Volksparstadion, kandang Hamburg. Jansen dan Van der Vaart, dalam penilaian manajemen, dianggap harus bertanggung jawab atas keterpurukan Die Rothosen musim lalu.

Van der Vaart sendiri kemudian melanjutkan karirnya bersama Real Betis di La Liga Spanyol. Tapi tidak dengan Jansen. Ia tak mau melanjurkan karirnya. Ia lebih memilih mengakhiri karirnya sebagai pemain sepakbola profesional.

"Aku sudah memutuskan untuk berhenti bermain sepakbola profesional," ujar Jansen pada status facebook miliknya.

Keputusan untuk pensiun diputuskannya dengan matang saat sedang menjalani libur kompetisi. Mantan pemain Borussia Moenchengladbach dan Bayern Munich tersebut mengaku kondisinya masih sehat dan bugar. Ia memang masih belum terlalu tua. Usianya baru 29 tahun. Tidak tua-tua amat.

Lalu apa yang membuatnya memutuskan pensiun? Sederhana: ia kadung memiliki hubungan emosional dengan Hamburg.

Jansen bergabung dengan Die Rothosen sejak 2008 dengan biaya transfer 5,6 juta poundsterling dari Bayern Munich. Pada laga debutnya bersama Hamburg ia sempat merasakan kemenangan atas Arminia Bielefeld dengan skor 4-2 pada 30 Agustus 2008. Gol pertamanya dicetak pada 7 Desember 2008 saat meraih kemenangan penting 2-1 atas Koln FC. Pada musim pertamanya tersebut ia berhasil membawa Hamburg duduk di peringkat lima klasemen akhir Bundesliga 2008/2009. Bukan pencapaian yang buruk.

Berada di Hamburg selama tujuh tahun membuat dirinya terlanjur cinta sekaligus tidak rela membela kesebelasan lain setelah kontraknya tidak diperpanjang. Padahal Jansen sendiri tidak sepi peminat. Dikabarkan Benfica dan Schalke sebenarnya sempat menawarinya untuk meneruskan karirnya.

"Tapi sekarang bermain bersama klub baru? Tidak, aku tidak ingin berbohong atau menipu beberapa klub lain atau penggemar mereka jika aku tidak bisa lagi membela mereka (dengan sepenuh hati). Aku tidak bisa tiba-tiba mencium badge lain sekarang," ujarnya.

Bayangkan dalam usia 29 tahun ia malah memilih gantung sepatu. Padahal pada umur tersebut bisa dikatakan seorang pesepakbola sedang dalam kondisi matang-matangnya, apalagi ia diplot sebagai wakil kapten Die Rothosen.

Simak cerita mengesankan ihwal bagaimana Alessandro Lucarelli memperlihatkan kesetiaan di tengah badai karamnya Parma karena krisis keuangan.

Pengabdian Alessandro Lucarelli kepada Parma dan Sepakbola.


Namun keputusan sudah kadung diambil. Ia menepi dari lapangan hijau di usia yang sesungguhnya masih sangat produktif untuk seorang pemain. Ia kini memilih melewati waktu dengan tinggal di Hamburg sebagai kota yang terlampau dicintainya sambil menikmati teh dan menonton pertandingan-pertandingan mantan kesebelasannya tersebut.

"Dalam beberapa tahun terakhir aku sangat emosional terikat HSV. Aku akan terus tinggal di Hamburg dan akan selalu mencintai klub ini," katanya.

Masih ada waktu bagi Jansen untuk berpikir ulang tentang keputusannya tersebut. Kesempatan meneruskan karirnya sebagai pesepakbola profesional pun masih ada jika suatu hari ia gatal tampil di depan ribuan penonton yang memadati tribun stadion.

Ini langkah yang sangat berani yang diambilnya. Bahkan Mirror berani mengadu tentang loyalitas Jansen kepada Hamburg dengan Steven Gerrard kepada Liverpool. Berapa banyak orang di dunia yang akan mengatakan kesetiaan Gerrard kepada Liverpool sampau usia 35 sebagai contoh kesetiaan. Tapi Mirror mengatakan Gerrard harus bertemu dengan Jansen sebagai pemain paling berdedikasi di dunia kepada Hamburg.

Sikap Jansen ini, akhirnya, seperti sebuah interupsi yang sangat mengesankan di tengah geliat pasar pemain yang beberapa di antaranya kadang terasa absurd. Casillas didepak dari Bernabeu, Scweinsteiger cabut dari Bayern Munich yang sudah dibelanya sejak 1998, Gerrard angkat kaki dari Liverpool, dan lain-lain, dan sebagainya.

Ketika pemain tak ubahnya aset yang bisa diperjualbelikan, saat status legenda dan kesetiaan pun kadang tak dihargai sepadan oleh manajemen, Jansen muncul dengan cerita yang tak lazim. Bahwa kesetiaan itu belum punah dari industri sepakbola. Dan betapa kesetiaan itu tetaplah sesuatu yang indah dan berkilau, bahkan ketika uang sedang bertebaran sekali pun.

Menyenangkan rasanya di tengah industri sepakbola yang makin tak terbendung, masih ada orang yang bisa dengan gagah berkata: "Loyalty over royalties, because loyalty is more important than royalty."

Terima kasih, Jansen! Danke banyak-banyak!

 Sumber : Bild, Daily Mail, Metro, The Guardian, Telegraph

Komentar