Nigel Pearson Dipecat (Lagi) dan Kenapa Pemain Tak Usah jadi Manajer

Berita

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Nigel Pearson Dipecat (Lagi) dan Kenapa Pemain Tak Usah jadi Manajer

Leicester City dilaporkan telah memecat manajer Nigel Pearson dengan mengatakan bahwa hubungan kerja antara dirinya dan dewan klub "tidak lagi layak." Pearson, yang berusia 51 tahun, sebelumnya telah membawa The Foxes finis di peringkat ke-14 di Liga Primer Inggris 2014/15.

"Hal ini telah menjadi jelas bahwa ada perbedaan mendasar dalam perspektif di antara kita [Pearson dan manajemen Leicester]," kata sebuah pernyataan kesebelasan di stus resmi mereka.

Pearson pertama kali menjadi manajer Leicester pada Juni 2008, namun ia meninggalkan Leicester dua tahun kemudian untuk mengambil alih Hull City sebelum kembali lagi ke Blue Army pada November 2011.

Mereka merebut gelar Football League Championship 2013/14 dan memenangkan tujuh dari 10 pertandingan terakhir mereka musim lalu untuk mengamankan status mereka di Liga Primer. (Baca juga: Juara Liga Primer 2018, Leicester City?)

Sebuah pernyataan lainnya dari Leicester menunjukkan rasa terima kasih kepada Pearson untuk "kontribusi yang cukup besar" dari dirinya. Mereka juga menambahkan: "Dewan direksi mengakui keberhasilan Nigel yang telah membantu membawa Leicester City selama dua musim yang sukses, terutama selama tiga setengah tahun terakhir."

Kasus terbaru pada Juni lalu, James Pearson yang merupakan anak Nigel, menjadi salah satu dari tiga pemain yang dipecat oleh kesebelasan karena keterlibatan mereka dalam video seks berbau rasisme, pada tur mereka di Thailand, yang merupakan negara asal pemilik kesebelasan, Vichai Srivaddhanaprabha dan anaknya, Aiyawatt.

Video itu menampilkan bek James Pearson, 22 tahun, telanjang di kamar hotel bersama dengan seorang perempuan Thailand yang terlibat dalam tindakan seksual, sementara penyerang Tom Hopper (21 tahun) dan kiper Adam Smith (22) juga ada dalam video tersebut sedang tertawa sambil telanjang sembari berbaring di tempat tidur.

Keputusan ini diambil hanya beberapa hari sebelum pemain kembali untuk latihan pra-musim. Padahal skuat The Foxes sudah kedatangan tiga pemain baru di musim panas ini, yaitu striker Jepang Shinji Okazaki, bek Austria Christian Fuchs, dan bek tengah Robert Huth dari Stoke City.

Dipecat karena urusan di luar sepakbola

Pat Murphy dari BBC Sport melaporkan bahwa pemecatan itu "pasti tidak karena masalah sepakbola." Murphy mengatakan bahwa pemilik Thailand bertindak demikian karena mereka khawatir tentang reputasi kesebelasan yang sudah rusak.

Murphy menambahkan: "Tidak ada keraguan bahwa citra dan reputasi kesebelasan di tanah air mereka di Thailand telah rusak oleh perilaku anak manajer, James, saat 'niat baik' tur mereka ke Thailand."

Masalah di luar sepakbola ini semakin menjadi jelas ketika ia berkata, "Sangat sulit untuk meyakinkan orang bahwa [pemecatan] ini terjadi karena alasan sepakbola. Dia tidak pernah berada dalam posisi sekuat sekarang. Dua atau tiga kali selama musim lalu, pemilik bisa membenarkan [tindakan tak mengenakan pearson]. Kami kemudian mendapatkan fakta bahwa mereka sudah 'terjebak' dengan manajer mereka."

Pearson terlibat dalam beberapa insiden musim lalu, termasuk memanggil seorang wartawan dengan panggilan "burung unta" dan juga bentrok dengan pemain Crystal Palace, James McArthur.

Di balik kejadian-kejadian itu, Pearson mengakhiri musim dengan tujuh kemenangan yang luar biasa dan sekali imbang dari sepuluh pertandingan terakhir mereka sehingga mereka terhindar dari degradasi.

Meskipun keberhasilannya di atas lapangan, Murphy mengatakan insiden yang melibatkan anak Pearson adalah "puncak kekesalan" untuk sang pemilik kesebelasan.

Larangan mendampingi kesebelasan dan didenda setelah berselisih dengan suporter

Pada bulan Desember 2014, Pearson diberi larangan mendampingi Leicester di touchline selama satu pertandingan dan didenda 10.000 poundsterling karena telah menghina suporternya saat Leicester kalah 3-1 dari Liverpool di pertandingan Liga Primer.

Pearson menolak untuk mengungkapkan apa yang dikatakan selama perselisihan dengan suporter, tapi beberapa saksi melaporkan bahwa ia berkata "f** off and die". Pearson berkilah bahwa ia merasa perlu untuk melindungi pemain dan dirinya dari caci-maki para suporter.

Ia kemudian disebut arogan oleh ketua kelompok suporter Leicester setelah ia menolak untuk meminta maaf. Pemilik kesebelasan juga sempat geram akibat insiden ini.

Konfrontasi di lapangan dengan McArthur

Pearson juga menjadi berita utama di pinggir lapangan saat ia bentrok dengan gelandang Crystal Palace, James McArthur, pada Februari 2015.

Kejadian aneh ini berawal setelah keduanya bertabrakan dan sempat tampak seolah-olah kedua belah pihak akan tertawa setelah insiden itu. Tapi Pearson malah kemudian mencekik McArthur.

Ditanya alasannya, Pearson mengatakan: "Karena dia mengatakan sesuatu kepada saya. Saya mampu menjaga diri saya sendiri. Tidak ada masalah antara saya dengan pemain [McArthur]."

FA sempat memperingatkan Pearson tentang tanggung jawabnya di atas lapangan, tapi tidak mennghukumnya. (Selengkapnya: Prahara Nigel Pearson)

Leicester-City-0-1-Crysta-008

Dipecat atau tidak dipecat?

Setelah insiden dengan McArthur pada bulan Februari itu, media sempat melaporkan bahwa Pearson telah kehilangan pekerjaannya, tapi kesebelasan mengeluarkan pernyataan mengatakan rumor itu "tidak akurat dan tak mendasar."

Saat itu Leicester sedang berada di posisi juru kunci. Tapi Pearson katanya "sudah berbicara" tentang pekerjaannya bersama manajemen Blue Army meskipun tidak mengungkapkan rincian dari percakapan tersebut.

"Jika saya punya hal yang bisa saya katakan, saya akan mengatakannya dalam cara yang tepat, dan hanya kepada orang-orang yang tepat pula," tambahnya. "Saya tidak berpikir bahwa saya berada di posisi di mana saya bisa berbicara terlalu terbuka tentang apa yang terjadi di internal [kesebelasan]."

"Saya selalu memiliki hubungan kerja yang baik dengan pemilik, dan saya yakin saya akan mengalami kemajuan."

"Dasar, burung unta"

Selain kejadian-kejadian di atas, Pearson sempat bersitegang dengan seorang wartawan sambil memanggilnya dengan sebutan "burung unta" (ostrich) dan "bodoh" saat konferensi pers pasca-pertandingan yang aneh menyusul kemenangan Chelsea 3-1 di Stadion King Power pada April 2015.

Setelah Pearson dicap sebagai manajer yang "penuh kritik dan negatif", Ian Baker dari Wardles Press Agency meminta Pearson untuk "menguraikannya".

Manajer Leicester tersebut menjawab: "Kepala Anda pasti sedang mengawang-ngawang di awan atau baru pulang dari liburan karena pertanyaan Anda benar-benar luar biasa."

"Jika Anda tidak tahu jawaban untuk pertanyaan itu, maka saya pikir Anda adalah burung unta. Kepala Anda pasti Anda letakkan di dalam pasir. Apakah kepala Anda di dalam pasir? Apakah Anda cukup fleksibel untuk meletakkan kepala Anda di dalam pasir? Saya jadi curiga."

ostrich-head-in-sand

Kritik kepada pemecatan Pearson: Lebih baik jadi pundit daripada jadi manajer

Sebelum Pat Murphy dari BBC Sport, mantan penyerang Leicester dan kesebelasan negara Inggris, Gary Lineker, sudah terlebih dahulu mengkritik Leicester atas keputusannya tersebut.

"Jadi, setelah tidak hanya membawa LCFC promosi, tapi juga melakukan pelarian [dari degradasi] paling ajaib dalam sejarah EPL, Pearson malah dipecat," kata Lineker di blog Breathesport-nya.

"Mereka yang menjalankan sepakbola tidak pernah berhenti memukau kita semua dengan kebodohan mereka."

Presenter Match of the Day ini juga berkicau di Twitter-nya: "Bisakah Anda berbaik hati mempekerjakannya kembali seperti terakhir kali Anda memecatnya?" yang mengacu pada kebingungan atas masa depan Pearson yang muncul setelah insiden McArthur.

Mantan bek Liverpool Jamie Carragher juga ikut-ikutan berkomentar dengan mengatakan: "Dan orang-orang bertanya mengapa pemain modern lebih memilih menjadi pundit [daripada menjadi manajer]."

Bagaimana nasib Leicester selanjutnya?

Sangat mudah untuk menunjukkan rasa simpati kita untuk Pearson. Ia tampaknya telah dikutuk oleh kelakuan anaknya, tetapi hal ini kemungkinan besar menjadi masalah yang kumulatif dan berlarut-larut.

Sekilas semuanya tampak sangat ceroboh; Pearson sudah melakukan yang terbaik untuk Leicester. Pada saat pemecatannya, ia sedang memulai rekonstruksi kesebelasannya menjelang musim baru. Jelas itu tidak ideal. Memilih pengganti Pearson bukanlah hal yang mudah. (Baca juga: Jamie Vardy, Penerus Kisah teladan Pemuda Setempat)

Perlu diingat bahwa dalam jangka pendek, masa depan Leicester tidak akan ditentukan oleh apa yang terjadi pada hari Selasa kemarin (pemecatan Pearson), tetapi oleh serangkaian keputusan yang akan dibuat selama beberapa minggu mendatang.

Ketika seorang manajer mencapai promosi dan bertahan di Liga Primer secara berturut-turut, respon terhadap pemecatannya selalu sama: kurangnya rasa syukur, risiko yang tidak perlu, dan tindakan tak termaafkan dari kecerobohan.

Sementara itu wajar untuk mengasumsikan bahwa Leicester sekarang sedang berjudi dengan masa depan mereka di Liga Primer.

Srivaddhanaprabhas selanjutnya bisa saja melupakan Pearson dengan menunjuk Sam Allardyce, Martin O'Neill, atau Michael Laudrup. Salah satu manajer tersebut akan mewakili upgrade secara taktis untuk Leicester dan mungkin juga akan memberikan mereka napas yang lebih segar dalam jendela transfer. (Baca juga: Rahasia West Ham United Menjadi Kuda Hitam di Liga Primer)

Keadaan di Leicester sekarang mungkin sedikit membingungkan, dan keputusan untuk memecat Pearson mungkin tampak tidak adil. namun, itu tidak berarti bahwa Leicester sekarang sedang bergerak ke bawah.

Misalnya saja Southampton di musim 2012/13 yang memecat Nigel Adkins (meskipun untuk untuk alasan yang sama sekali berbeda). Adkins telah membawa Soton ke Liga Primer dan mungkin sedang berada di jalur yang tepat untuk mempertahankan mereka di Liga Primer, tapi kemudian ia dibuang begitu saja pada Januari 2013.

Yang terjadi kemudian malah bertolak belakang dengan kekhawatiran banyak orang. Mauricio Pochettino ditunjuk dan membuat Southampton menjadi kesebelasan yang mumpuni dan menjadi salah satu dari kesebelasan paling konsisten di Liga Primer.

Begitupun ketika Crystal Palace meraih promosi bersama Ian Holloway pada 2012/13 dan berhasil bertahan di bawah bimbingan Tony Pulis pada 2013/14. Saat itu, Pulis diberikan mission impossible untuk menyelamatkan Palace dari degradasi, tapi ia berhasil melakukannya.

Namun, pada musim selanjutnya ia malah dipecat (lagi-lagi karena alasan yang tentunya sangat berbeda dari Pearson). Palace yang kelabakan dan diperkirakan akan terdegradasi, kemudian menunjuk Alan Pardew dan berhasil membuat mereka menjadi kesebelasan yang paling menghibur di Liga Primer.

Sedangkan Tony Pulis sendiri pergi ke West Brom untuk menciptakan kesuksesan yang serupa dengan skema kick and rush­ andalannya. (Baca juga: Dia yang Merawat Skema Kick and Rush)

Kasus Pearson menunjukkan kepada kita bahwa integritas dan kerendahan hati adalah isu-isu penting di manajemen kesebelasan. Sepakbola mungkin sudah berlaku sangat kejam kepada Pearson.

Namun, jangan menelan begitu saja semua narasi di atas, karena apa yang akan terjadi dengan Leicester City di musim depan dan musim-musim selanjutnya benar-benar akan ditentukan oleh keputusan seperti apa yang akan diambil oleh manajemen dalam beberapa hari ke depan.

Sejujurnya, apapun yang terjadi dalam dunia manajer sepakbola, saya pribadi setuju dengan Jamie Carragher, bahwa dunia manajer sepakbola itu sangat kejam dan tak seindah video permainan Football Manager. Anda bisa dipecat kapan saja, dan dengan alasan apa saja. Mungkin sebaiknya pemain yang pensiun memang benar-benar tidak usah menjadi manajer.

Sumber: BBC Sport, The Telegraph, Squawka

Komentar