Muntari dan Bonera Seperti Kumis yang Lucu di Wajah AC Milan

Editorial

by Redaksi 35

Redaksi 35

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Muntari dan Bonera Seperti Kumis yang Lucu di Wajah AC Milan

Yang perlu disesalkan dari kepergian Bonera dan Muntari bukan karena Milan kehilangan pemain hebat, tapi karena Milan kehilangan humor terbaik mereka.

Beberapa saat setelah pengumuman tentang kesepakatan manajemen untuk tidak melanjutkan kontrak keduanya (berdasarkan Milan Channel, kontrak Bonera tidak akan diperpanjang), saya melihat-lihat lagi kicauan lampau di media sosial tentang keduanya. Ada sumpah serapah, ada caci maki – tetapi tetap ada humor di sana. Beberapa akun bahkan sengaja mengunggah foto-foto jenaka a la meme Muntari dan Bonera.

Baru-baru ini, saya menemukan foto yang menunjukkan bagaimana Bonera melayani permintaan seorang penggemar yang masih remaja untuk berfoto dengannya di tribun stadion. Di foto tersebut terlihat Bonera tak keberatan dengan permintaan si remaja. Yang membikin heran, foto semacam ini pun dijadikan lelucon. Saya termasuk orang yang tertawa atas lelucon yang satu ini.

Pun dengan Muntari. Foto-foto jenaka tentang gol hantunya ke gawang Buffon, ekspresi-ekspresi menggelikannya yang tertangkap kamera, rekaman video saat marah-marah akibat tak terima dengan keputusan pelatih yang menggantinya di tengah laga adalah hal yang jauh lebih sering muncul dibandingkan berita-berita tentang akurasi umpannya.

Saya berpikir, Bonera dan Muntari itu tak ubahnya kumis di wajah Etgar Keret.

Siapa Etgar Keret? Simak ulasan Marini Saragih tentang pengarang kontemporer Israel itu:

Humor (Sepakbola) Yahudi ala Keret


Esai A Mustache for My Son,  karya Etgar Keret, penulis Israel kontemporer, mengisahkan bagaimana kumisnya bisa menyelamatkan dirinya dari pertanyaan-pertanyaan menyebalkan tentang kejadian-kejadian buruk yang menimpanya.

Beberapa hari setelah kecelakaan yang mengakibatkan punggungnya cedera, Etgar semacam ditimpa musibah beruntun. Terjadi kesalahan dalam transfusi darah bagi istrinya yang sedang dirawat dan datangnya kabar mengejutkan bahwa ayahnya divonis kanker. Atas rentetan kejadian buruk yang menimpanya itu, sejumlah kerabat dan kolega menunjukkan simpati dengan bertanya perihal keadaan istri dan ayahnya.

Sedikit-banyak, saya paham kondisi Etgar. Walaupun bermaksud baik, pertanyaan-pertanyaan seperti “Mengapa bisa terjadi kesalahan dalam transfusi istrimu?” atau “Apakah ayahmu baik-baik saja setelah kemoterapi pertamanya?” juga bisa membikin jengah. Rasanya seperti berkali-kali diingatkan akan rentetan kejadian yang, kalau boleh memilih, lebih baik tak terjadi.

Namun, tanpa disangka-sangka, kumis itu menyelamatkan Etgar dari pertanyaan-pertanyaan yang memantik ingatan buruk tentang rentetan kejadian buruk itu. Kumisnya sendiri yang justru membantunya mengalihkan pembicaraan. Barangkali, orang-orang merasa aneh dengan kumisnya tersebut. Kemungkinan besar, sebelumnya, Etgar tak pernah memelihara kumis.

Jadi banyak orang yang tadinya hendak bertanya perihal keadaan keluarganya, justru terdistraksi dengan kumis baru Etgar dan lalu bertanya: “Mengapa sekarang memelihara kumis?” Dan pertanyaan tersebut selalu dijawabnya dengan; “Kumis ini untuk anak saya.”

Konon, beberapa hari menjelang ulang tahun anaknya yang ke 6, Etgar bertanya kepada si bocah tentang apa yang ingin dilakukannya di hari ulang tahun tersebut. Etgar bilang, ia dan istrinya akan mengabulkan apapun yang dimintanya. Namun alih-alih minta dibuatkan pesta, diajak berlibur atau meminta hadiah sepeda baru – si anak justru meminta Etgar untuk melakukan hal yang berbeda pada wajahnya. Dan voila! Tumbuhlah kumis itu.

Etgar Keret pernah menulis sebuah cerpen tentang bagaimana sepakbola dan sepatu Adidas dijadikan bahan untuk mendiskusikan tragedi holocaust di mata generasi muda Yahudi. Kami pernah menerjemahkan cerpen tersebut. Simak cerpennya di sini:

Cerpen Sepatu karya Etgar Keret.


Lantas saya melihat keberadaan humor tentang Bonera dan Muntari serupa kumis pada wajah penulis asal Israel tersebut.

Di setiap pertandingan Milan yang berakhir mengecewakan, saya menemukan humor tentang keduanya. Pada kompetisi Serie A musim 2014/2015, Milan kalah 12 kali dan seri 12 kali. Setidaknya, ada 24 kali humor tentang keduanya yang mengiringi pertandingan buruk Milan. Ajaibnya, lelucon-lelucon tentang Muntari dan Bonera juga tetap beredar walaupun Milan berhasil memetik kemenangan.

Sadar atau tidak sadar, diakui atau disangkal, humor adalah senjata buat mereka yang lemah - buat mereka yang kerap dihajar kekecewaan. Jika Milan benar-benar kesebelasan yang berani memproklamirkan dirinya sebagai klub tersukses di dunia, maka kekalahan 0-2 atas Palermo dan 1-3 atas Genoa di kandang sendiri, akan menjadi mirip dengan kesialan beruntun yang dialami Etgar tadi. Hal yang membuat siapa saja berandai-andai akan semenyenangkan apakah jadinya jika kejadian-kejadian itu bisa dilupakan atau dihapuskan saja.

Begitu pun dengan penggila Milan. Rasanya menerima kekalahan beruntun, membaca berita tentang kepergian sejumlah pemain bintang, mendengar cerita tentang  bobroknya performa manajemen di sepanjang bursa transfer adalah hal-hal yang membikin sepakbola menjadi tidak menyenangkan bagi para Milanisti.

Celakanya, tak ada yang berubah. Aksi boikot dan protes keras Curva Sud pun tak membuahkan hasil. Ada beberapa nama besar dan calon nama besar yang digiring ke Milan, namun tetap saja mereka harus mengakhiri musim 2014/2015 di peringkat 10. Katanya, Allegri adalah pelatih butut yang menjadi biang kerok kebobrokan Milan. Seedorf dan Inzaghi, dua legenda Milan datang mengambil alih. Namun tetap saja Milan tak bisa tampil mengesankan di kompetisi manapun. Kesialan-kesialan yang tak bisa diubah yang mau tidak mau harus diterima.

Muntari dan Bonera bagi Milan ibarat kumis pada wajah Etgar Keret.

Sejak dulu, Milan mejadi karib dengan bek-bek kelas dunia: Franco Baresi, Mauro Tassotti, Paolo Maldini, Alessandro Costacurta, Alessandro Nesta, Thiago Silva. Namun belakangan yang tersisa tinggal Daniele Bonera dan Philippe Mexes. Jika lapangan tengah dulu diisi dengan nama-nama sakral seperti Alberigo Evani, Carlo Ancelotti, Demetrio Albertini, Zvonimir Boban, Gennaro Gattuso ataupun Andrea Pirlo – kini Milan harus puas dengan duet maut Sulley Muntari dan Michael Essien.

Mereka bukan pesepakbola yang salah, mereka hanya pesepakbola yang tak lazim. Dan segala sesuatu yang tak lazim memang begitu menarik. Ia mahir untuk menjadi distraksi, sehingga ada banyak perhatian yang teralihkan kepadanya.

Salah satu pemain sepakbola top yang terkenal punya selera humor yang agak ganjil adalah Fransesco Totti. Simak cerita mengenai lelucon dalam kehidupan Totti:

Lelucon-lelucon (dari dan tentang) Fransesco Totti.

Fransesco Totti dan Tawa yang Membebaskan Kita


Humor tentang keberadaan pesepakbola seperti Muntari dan Bonera pada akhirnya muncul setiap kali Milan menunjukkan performa dengan kualitas memuakkan. Dibandingkan dengan mengutuk kekalahan atau menangisi kesalahan umpan, tentu lebih menyenangkan untuk menertawakan mereka yang dianggap tak lazim (bahkan tak pantas, bagi beberapa orang) untuk berseragam Milan. Dan daripada membicarakan repetisi performa buruk Milan, menikmati lelucon sudah pasti jauh lebih menghibur. Bukankah buat para penonton, sepakbola adalah hiburan?

Milan tak akan mengalami kesulitan untuk mencari pengganti buat Muntari dan Bonera di lapangan. Hengkangnya mereka memang membikin banyak penggemar Milan girang bukan kepalang.

Tapi kemudian muncul masalah lain. Bagaimana jika kekalahan masih belum berhenti walaupun kekosongan posisi Muntari dan Bonera sudah terisi? Agaknya penggemar Milan harus bersiap, karena mulai musim depan kekalahan tak akan bisa jadi semenyenangkan sekarang.

Kami cukup sering menulis tentang humor dalam sepakbola. Anda bisa menelusurinya di sini: Humor-humor dalam Sepakbola.

Komentar