Memahami Bencana di Stadion dari Hillsborough dan Valley Parade

Cerita

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Memahami Bencana di Stadion dari Hillsborough dan Valley Parade

Sebanyak 96 suporter Liverpool tewas di Stadion Hillsborough dalam laga semifinal Piala FA musim 1988/1989 kala menghadapi Nottingham Forest. Kepolisian dianggap sebagai pihak yang bersalah karena memasukkan suporter yang begitu banyak meski kondisi tribun sudah amat berjubel. Setelah tragedi tersebut, Federasi Sepakbola Inggris, FA, melarang kehadiran tribun berdiri.

Sebelum tragedi Hillsborough, satu tribun Stadion Valley Parade habis dilalap api. Sebanyak 56 suporter Bradford meninggal karena terjebak dan tidak bisa menyelamatkan diri, sementara 265 lainnya terluka. Api berasal dari puntung rokok yang dibuang ke bawah sela-sela tribun yang berbahan dasar kayu. Setelah tragedi tersebut, FA juga membuat aturan pelarangan penggunaan kayu sebagai bahan dasar tribun, serta pembatas antara kursi penonton dibuat lebih rendah.

Dalam Tragedi Hillsborough Anda bisa melihat bagaimana suporter kesulitan untuk keluar. Terdapat pagar sebagai batas antara tribun dengan lapangan. Mereka terpaksa menghancurkan besi tersebut karena hanya satu pintu pagar yang dibuka.

Kini, semua stadion di Inggris sudah mengikuti aturan FA. Tidak ada lagi tribun berdiri, serta tidak ada lagi pagar pembatas antara tribun dengan lapangan. Meskipun demikian, aksi yang dikhawatirkan seperti penonton yang menyerbu ke tengah lapangan, sudah amat jarang, karena ada steward yang berjejer mengawasi tingkah penonton.

Di Indonesia, hampir semua stadion tidak memiliki nomor tempat duduk. Tiket dijual dengan bebas ala kereta api ekonomi sebelum era Ignasius Jonan. Tribun pun didesain lebih tinggi dari lapangan serta terdapat pemisah berupa pagar.

Tujuannya jelas agar penonton tidak memasuki lapangan, dan pertandingan bisa berjalan aman. Namun, saat terjadi bencana, hal seperti ini amatlah menakutkan.

Satu Pintu Masuk Tanpa Pintu Keluar


Penonton yang ditarik ke tribun atas (Sumber gambar: theguardian.com)

Bagi Anda yang sering ke stadion dan duduk di tribun ekonomi atau “tribun yang bukan VIP” pasti pernah memilih untuk tidak segera keluar dari stadion tepat saat wasit membunyikan peluit. Ada yang memilih pulang lebih cepat, ada pula yang menunggu hingga suasana di luar stadion tidak terlalu ramai.

Selain itu, saat pertandingan berlangsung dalam kondisi tribun yang penuh, Anda mungkin malas untuk sekadar ke WC atau beranjak dari tempat duduk. Selain karena takut direbut, juga karena ramainya pintu masuk yang dipadati oleh polisi yang tidak ada kerjaan, hingga orang-orang yang bisulan karena hanya berdiri di pintu masuk dan tidak mau duduk.

Beberapa panitia penyelenggara kerap melakukan hal bodoh dengan hanya membuka satu pintu/gerbang akses masuk. Pintu keluar adalah pintu yang sama dengan pintu masuk. Konon, ini dilakukan agar suporter tertib, dan bisa ketahuan mana yang punya tiket dan mana yang tidak.

Hal ini jelas amat berbahaya jika ada bencana di atas tribun, seperti tribun yang terlalu penuh. Harus pergi ke mana suporter yang hampir kehabisan oksigen untuk menyelamatkan diri? Mereka tidak bisa keluar, karena sudah jelas tidak ada pintu keluar. Lewat pintu masuk pun tidak mungkin karena banyak orang yang masih ingin masuk.

Dengan satu gerbang saja yang dibuka, terjadi kepadatan seperti ujung botol (bottle neck). Ini membuka kesempatan terjadinya kecelakaan seperti suporter yang jatuh lalu terinjak-injak.

Penting bagi pengelola stadion atau panitia pelaksana pertandingan untuk membuka semua pintu yang ada di stadion. Anda tidak bisa memasukkan 10 ribu orang lewat gerbang selebar dua meter!

Selain itu, sudah wajar rasanya jika mereka yang berwenang menghadirkan pintu khusus keluar.  Bukan hanya untuk keselamatan, tapi juga untuk kenyamanan suporter itu sendiri.

Mengganti Pagar dengan Steward


Pagar + Tribun Tinggi = Bencana (Sumber gambar: theguardian.com)

Jika Anda penggemar Liga Inggris, pastilah sudah terbiasa menyaksikan ratusan steward di depan tribun penonton. Sekilas, pekerjaan mereka tidak terlalu sulit karena hanya duduk dan memerhatikan tingkah penonton.

Ini penting sebagai filter bagi penonton yang mencoba menyusup ke atas lapangan, karena se-disiplin apapun mereka, pastilah ada yang sulit menahan keinginan untuk masuk ke atas lapangan pertandingan.

Di Indonesia, peran steward tidak begitu terdengar. Kalau adapun ia tak lebih dari sekadar pajangan. Mereka biasanya berdiri dengan jarak masing-masing 10 meter, di trek lari sebelum lapangan. Jika penonton bersorak, tidak sedikit dari mereka yang menoleh ke lapangan, mencari tahu apa yang terjadi.

Steward tidak diperlukan sebenarnya karena sudah ada pagar yang memisahkan tribun dengan lapangan. Padahal, salah satu fungsi utama steward adalah untuk “memanusiakan pagar” yang kaku dan rigid.

Saat terjadi kebakaran di atas tribun, penonton harus memanjat pagar untuk bisa keluar dari tribun. Sementara steward dapat membantu evakuasi penonton, dan tentu saja tidak menghalang-halangi mereka untuk turun ke lapangan.

Masih Jauh

Suporter yang datang ke Stadion Emirates masih bisa makan siang dengan nyaman saat pergantian babak. Mereka yang ingin buang air pun tidak perlu menutup hidung saat masuk ke toilet.

Stadion di Liga Inggris adalah salah satu yang paling manusiawi. Mereka juga menyiapkan tribun khusus suporter lawan. Setiap tahun, selalu ada survey untuk menentukan kenyamanan stadion di Inggris. Yang disurvei bukan stadion kandang, melainkan pengalaman suporter saat mereka tandang ke stadion lain.

Hal ini mungkin sulit kita temukan di Indonesia. Jangankan suporter tandang, toilet tribun VIP saja terkadang kotor dan bau. Tidak ada semacam lobby khusus yang berisi foodcourt di stadion. Penggemar harus bawa sendiri, atau membeli eceran di stadion.

Melihat kondisi yang ada saat ini, harus kita akui bahwa pengelolaan stadion-stadion di Indonesia amat jauh dibandingkan di Inggris. Barangkali jaraknya sekitar satu juta tahun cahaya; di mana stadion-stadion di Inggris lampunya selalu menyala saat malam, panitia pertandingan di Indonesia mesti gusar karena lampu mati gara-gara lupa beli solar -- seperti di Jalak Harupat beberapa waktu yang lalu.....

Sumber gambar: goonersphere.com

Komentar