Pilih Mana: Pendidikan atau Sepakbola?

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Pilih Mana: Pendidikan atau Sepakbola?

Oleh Dadan Resmana
Seminggu terakhir ini, kota Bandung disibukan dengan beberapa event sepakbola berlabel nasional dan Internasional. Dimulai dengan Persib Bandung yang berhadapan dengan  New Radiant di  ajang AFC Cup. Pertandingan ini dihelat di Stadion Si Jalak Harupat Kabupaten Bandung. New Radiant akhirnya taklub dari Persib Bandung dengan skor 4-1.

Kemudian di hari yang sama, bertempat di Stadion legendaris Siliwangi Kota Bandung, Persib U-21 menghadapi tantangan dari Timnas U-19 yang dipersiapkan untuk ajang AFC CUP. Pertandingan ini berakhir dengan skor akhir 0-2 untuk kemenangan Timnas u-19 yang diarsiteki oleh mantan pemain nasional Fachri Husaeni.

Jeda 2 hari kemudian ditempat yang sama  giliran Persib U-16 menghadapi Timnas U-16 yang disiarkan langsung oleh salah satu TV Nasional. Pertandingan ini berakhir dengan skor 4-2 untuk kemenangan Timnas U-16 yang juga diarsiteki oleh Fachri Husaeni.

Kemudian esok paginya, masih di Kota Bandung, tepatnya di lapangan progresif yang berada dikawasan gedebage, seakan belum puas dengan hasil di hari sebelumnya, digelar rematch antara Persib U-16 melawan Timnas U-16. Kali ini, giliran Persib U-16 yang memenangkan pertandingan dengan skor 3-1.

Pada dua pertandingan terakhir, ada hal yang unik pada susunan nama pemain. Terdapat dua pemain dari Persib U-16 yang bernama Beckham dan Zidane. Sungguh luar biasa sekali, karena yang saya tahu nama asli orang Bandung itu adalah Asep, Eman, Ujang (maaf untuk nama yang disebutkan).

Dan saya berhuznudzon, kedua orang tuanya tersebut mungkin sangat terosbsesi sekali dengan pemain sepakbola khususnya Zidane dan Beckham. Mereka berharap suatu saat nanti anak kesayangannya menjadi pemain bola terkenal dan hebat layaknya Beckham dan Zidane. Dan kini, mungkin sedikit dari impian orang tuanya tersebut sudah terwujud dengan melihat anaknya  tampil di TV Nasional.

Tidak ada yang salah dengan keinginan Orang Tua tersebut. Karena sudah sewajarnya orang tua akan berharap agar anaknya menjadi seseorang yang berguna di masa depan. Dan salah satunya bisa jadi diwujudkan dengan menjadi seorang pemain sepakbola profesional. Meski tentu saja, perihal masa depan adalah hak penuh bagi setiap anak untuk mencapai sesuatu yang diinginkannya, bukan yang diinginkan orang tua.

Dalam kasus Beckham dan Zidane ini apa yang diinginkan orang tua sepertinya sejalan dengan keinginan sang anak. Namun, timbul masalah berikutnya apakah sang anak memiliki kemampuan yang cukup untuk bisa menjadi pemain sepakbola.

Karena, jika sang anak ingin menggantungkan hidupnya pada sepakbola, tentu saja dia harus bisa mencari nafkah yang mencukupi dari bidang tersebut. Disitu dibutuhkan kemampuan yang memadai agar dia layak untuk mendapatkan bayaran yang besar dari sepakbola. Jika tidak, maka tentu saja karirnya sebagai pemain sepakbola tidak akan lebih dari pemain-pemain level amatir yang tidak mendapatkan bayaran yang mencukupi.

Untuk mencapai hal tersebut tentu saja membutuhkan satu perjalanan panjang yang bernama pelatihan. Sang anak tidak hanya bisa bergantung pada bakat yang dimiliki, namun juga harus ditunjang dengan pelatihan yang baik. Pelatihan ini akan berlangsung dari mulai sang anak berusia 6-8 tahun hingga sang anak beranjak dewasa.

Hal ini akan membuat terjadi bentrokan antara dua kepentingan yang harus diberikan kepada sang anak pada usia tersebut. Di satu sisi sang anak harus belajar agar memiliki ilmu yang cukup untuk masa depannya. Di sisi lain, keinginannya menjadi pemain sepakbola mengharuskannya untuk berlatih yang tentu saja juga membutuhkan waktu dan tenaga.

Hal yang sama terjadi pada saya. Pada tahun 2000-an sepakbola lebih populer dibandingkan dengan futsal yang saat itu masih sedikit peminatnya. Ketika saya memasuki jenjang SMP, tepatnya ketika berumur 12 tahun, saya dimasukan oleh Ibu ke sekolah sepakbola yang berada dekat dengan rumah. Sama halnya dengan anak-anak seumuran saya waktu itu, menjadi pemain sepakbola profesional adalah impian yang sangat ingin saya capai ketika beranjak dewasa nanti.

Di masa SMP tidak ada masalah berarti antara latihan dan sekolah, keduanya berjalan beriringan. Akan tetapi, masalah terjadi ketika menginjak masa SMA. Pilihan antara latihan dan Sekolah menjadi semakin rumit. Saya masuk ke sekolah kejuruan yang berorientasi pada praktek. Hal ini yang menjadikan waktu latihan semakin terbengkalai.

Hingga akhirnya pada akhir semester 1 tingkat 1, saya memutuskan untuk berhenti dari sekolah sepakbola. Maka pupuslah harapan saya menjadi pemain sepakbola profesional. Meski ketika itu saya juga menyadari kemampuan saya yang tidak terlalu hebat dalam mengolah si kulit bundar dan hanya mengetahui tehnik-tehnik dasar sepakbola saja.

Dari situ saya lebih memutuskan untuk fokus akan pendidikan saya hingga meneruskan ke perguruan tinggi. Hingga saya meraih gelar sarjana pada tahun 2014 kemarin. Entah apa yang terjadi bila saya lebih “memaksakan” pada sepakbola dibandingkan dengan pendidikan, mungkin saat ini masih menjadi pemain yang berkutat di divisi bawah, atau bahkan menjadi pemain tarkam yang main dari kampung ke kampung. Sesuatu yang hanya sebatas kemungkinan kemungkinan dan tidak pasti.

Baca juga:


Akademi Manchester City untuk Pembinaan Sepakbola Inggris


Semua Pemain Akademi City Diwajibkan Sekolah


Sejarah Sepakbola Indonesia Berhutang pada Anak-anak Sekolahan



Memilih antara pendidikan dan sepakbola merupakan salah satu pilihan yang dianggap paling sulit. Terkadang keduanya tidak bisa berjalan beriringan dan ada salah satu yang harus dikorbankan. Karena untuk menjadi pesepakbola yang berkualitas dibutuhkan juga latihan yang ekstra pula. Terlebih setelah lulus dari SMA, pilihannya  antara mengejar karir mereka  di sepakbola atau melanjutkan pendidikan mereka di perguruan tinggi.

Tapi tentunya di era modern seperti saat ini, banyak kemudahan dalam bidang komunikasi dan pendidikan dibandingkan dengan satu dekade sebelumnya. Tanpa harus mengorbankan salah satu diantara menjadi seorang pesepakbola profesional ataupun menjadi seorang Sarjana. Karena sekarang mulai terdapat perguruan tinggi yang menyesuaikan jadwal dengan mahasiswanya. Jadi bukan tidak mungkin jika adik-adik kita semacam Zidane maupun Beckham asal Bandung ini, maupun anak-anak lainnya di seluruh Indonesia, akan menjadi seorang pemain sepakbola profesional yang bergelar S.Si ataupun S.T suatu saat nanti. Karena sampai saat ini  masih sulit menemukan pemain sepakbola di Indonesia aktif yang mempunyai gelar Sarjana.

=================

Penulis: Dadan Resmana, seorang Sarjana Kimia yang berhasrat menjadi pelatih sepakbola. Bisa dihubungi melalui akun twitter: @dadanresmana.

Komentar