Mite Messi

Editorial

by Zen RS

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Mite Messi

Terlalu banyak waktu dihabiskan untuk menginginkan sesuatu dan kemudian tak menginginkannya lagi.

Berapa kali dalam hidupmu menginginkan sesuatu, kemudian keinginan itu terpenuhi, dan seiring waktu berlalu sesuatu yang (pernah) diinginkan itu tak lagi diinginkan, kemudian didiamkan, diabaikan lalu dicampakkan. Sebutlah itu pakaian, atau sepatu, atau kendaraan. Mungkin karena yang diinginkan itu tak lagi menarik, tak lagi memukau dan tak lagi mengairahkan. Mungkin juga karena sudah aus dan usang. Atau karena sudah menua, kusut dan akhirnya keriput.

Tapi banyak juga orang yang menyia-nyiakan waktu dengan menginginkan sesuatu dan kemudian tak menginginkannya lagi walau keinginan itu belum sempat terpenuhi. Masih mending menginginkan sesuatu dan kemudian tak menginginkannya lagi saat keinginan itu sudah terpenuhi. Lha ini? Belum juga terpenuhi keinginan itu, malah sudah tak menginginkannya lagi. Berganti dengan keinginan yang lain, keinginan yang berbeda, keinginan yang baru.

Bukan tidak mungkin jika dari situ kita bisa menarik garis batas yang agak jelas antara “menginginkan sesuatu” dengan “mengangankan sesuatu”.

“Menginginkan sesuatu” anggaplah sebagai hasrat yang sanggup mengerahkan semua potensi kemanusiaan yang dimilikinya untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Sementara “mengangankan sesuatu” tak lebih dari hasrat yang tak pernah berhasil mengerahkan semua potensi kemanusiaan yang dimilikinya untuk mengejar, mendapatkan dan merealisasikan apa yang diinginkan – sekadar berhenti menjadi angan dan khayalan. Yang pertama sanggup menggerakkan, yang kedua tak mampu menggerakkan.

messi

Saya memikirkan hal-hal di atas setelah menyimak foto terbaik 2014 versi World Press Photo untuk kategori olahraga karya Bao Tailiang – seperti yang bisa anda saksikan di atas.

Foto yang menampilkan Lionel Messi sedang menatap trofi Piala Dunia beberapa saat setelah Argentina dikalahkan Jerman di final Piala Dunia 2014 lalu itu berhasil mendesak saya untuk merenungkan: apakah Messi sedang menginginkan trofi itu ataukah sekadar mengangankannya? Apakah potensi kemanusiaan Messi sebagai pemain sepakbola sudah dikerahkan hingga batasnya yang paling jauh untuk merealisasikan keinginan itu ataukah belum atau bahkan tidak sama sekali?

Tak sedikit orang Argentina yang berpikir bahwa Messi tak pernah bisa menampilkan permainan sebaik yang sering diperlihatkannya bersama Barcelona. Tentu saja itu praduga yang tak mudah untuk dibuktikan. Tak gampang membuktikan benar tidaknya praduga tersebut.

Praduga itu, agaknya, lahir dari sebuah komparasi. Secara kuantitatif memang mudah mengukurnya: trofi yang dipersembahkan Messi untuk Barcelona berlipat-lipat lebih banyak ketimbang yang ia berikan untuk Argentina. Jika ukurannya level senior, maka Messi tak pernah memberikan sebiji pun trofi untuk Argentina. Jangankan Piala Dunia, trofi Copa America pun tak pernah berhasil dipersembahkan Messi untuk tanah airnya.

Tapi adilkah menilai Messi benar-benar “menginginkan” trofi Piala Dunia ataukah sekadar “mengangankan” trofi Piala Dunia melalui komparasi kuantitatif macam itu? Bukankah Messi sendiri, beberapa tahun lalu, pernah mengatakan dirinya bersedia menukar tiga trofi Ballon D’or yang diraihnya dengan satu trofi Piala Dunia? Tidakkah itu merupakan pernyataan telanjang kalau Messi juga sangat menginginkan Piala Dunia dan bukan sekadar mengangankan? Bukankah dengan menyatakan hal itu maka Messi sedang mengatakan bahwa pencapaian individualnya (Ballon d’Or) tidak lebih penting daripada pencapaian kolektif (kesebelasan nasional) Argentina?

Sebentar. Tunggu dulu. Pernyataan itu, menurut saya, tak sedang mengatakan bahwa pencapaian individual itu tidak penting. Pernyataan itu juga tidak berarti Messi menganggap pencapaian individual tidak ada artinya sama sekali dibandingkan trofi Piala Dunia. Pernyataan itu sesungguhnya bersifat retoris: jika Messi berhasil meraih trofi Piala Dunia maka trofi Ballon d’Or bukannya akan hilang dari genggamannya tapi malah akan bertambah satu lagi. Jika Messi meraih trofi Piala Dunia 2014 lalu, hampir bisa dipastikan Ballon d’Or 2014 tak akan jatuh pada Cristano Ronaldo.

Messi tak perlu menukar trofi Piala Dunia dengan apa pun, tidak juga dengan trofi-trofi individualnya. Antara trofi Piala Dunia dengan Ballon d’Or bukanlah juxtaposisi yang saling menegasikan, bukan pula dua sisi mata uang atau dua kutub utara dan selatan. Meraih Ballon d’Or adalah suatu anugerah dan anugerah itu tak akan pernah menjadi dosa andai pun Messi ditakdirkan takkan pernah meraih trofi Piala Dunia.

Ucapan Messi bahwa ia bersedia menukar semua trofi Ballon d’Or dengan satu saja trofi Piala Dunia, bagi saya, bukan sekadar slip of tongue alias keseleo lidah tapi lebih tepat merupakan sebentuk freudian slip: ucapan yang tidak disadari benar makna dan artinya oleh si pengucap (sebagaimana mimpi) sesunguhnya memperlihatkan sesuatu yang terperam di lapisan terdalam kesadaran.

Tapi apakah sesuatu yang terperam di lapisan terdalam kesadaran itu?

Saya kira jawabannya bukanlah keinginan bawah sadar atau naluri yang tersembunyi atau keinginan yang belum kesampaian. Jawabannya, saya kira, adalah “kesadaran-yang-tak-disadari” kalau kemampuan/kualitas individual (yang mendatangkan banyak trofi individu) bagi Messi telah menjadi beban, mungkin juga kutukan, yang telah menekannya sedemikian rupa. Ucapan itu, bagi saya, memperlihatkan betapa bakat dan kemampuannya dalam mengolah bola telah membawanya pada situasi yang demikian sulit sehingga ia dengan gampang menjadi satu-satunya sasaran tembak tiap kali kesebelasan nasional Argentina gagal meraih trofi. Dan Messi merasa ter-represi oleh bakat dan kemampuannya sendiri.

Memang benar sudah banyak orang yang mengingatkan bahwa trofi Piala Dunia tidak mungkin diraih hanya dengan mengandalkan Messi seorang. Cukup banyak orang yang mengatakan tidaklah adil menyalahkan Messi atas kegagalan Argentina meraih trofi Piala Dunia. Bahkan Maradona sekali pun, di Piala Dunia 1986 yang legendaris itu, tak meraih trofi sendirian sebab setidaknya ia ditemani oleh bomber mematikan bernama Jorge Valdano.

Tapi itu semua tak bisa memulihkan Messi dari represi yang datang justru dari bakat dan kemampuan individualnya dalam mengolah bola itu. Makin banyak orang yang mengatakan bahwa trofi Piala Dunia bukanlah beban yang harus ditanggung Messi sendirian, justru akan semakin tertekan sajalah dirinya. Alih-alih mengurangi bebannya, perkataan bahwa trofi Piala Dunia tidak adil jika dibebankan pada pundak Messi seorang justru kian menegaskan bahwa kebanyakan orang-orang memang membebankan trofi Piala Dunia itu hanya di pundaknya.

Situasi selanjutnya jadi mudah ditebak: tiap kali Messi meraih Ballon d’Or kembali, makin kuatlah represi itu menekan dirinya dan akan makin kuat sajalah keinginannya untuk menukar (baca: membuang) trofi Ballon d’Or itu jauh-jauh.

Maka, jika kembali ke pembukaan tulisan ini, agaknya menjadi jelas kalau trofi Piala Dunia bagi Messi bukanlah perkara “menginginkan sesuatu” ataukah “mengangankan sesuatu”. Trofi Piala Dunia baginya melampaui batas antara “ingin” atau “angan”. Bagi Messi, trofi Piala Dunia mencuatkan sesuatu yang lebih menyedihkan: tragedi.

Jika para eksistensialis, seperti Sartre, percaya bahwa manusia dikutuk menjadi bebas saat turun ke dunia (human is condemned to be free), maka Messi dikutuk turun ke dunia dengan bakat dan kemampuan mengolah bola yang luar biasa. Jika Sisifus dikutuk berulang kali naik ke puncak gunung sambil mendorong sebongkah batu besar, maka bongkahan batu besar itu bagi Messi adalah bakat dan kemampuannya dalam mengolah bola.

Messi, sebagaimana Sisifus, sendirian di dalam dan dengan kutukannya itu.

Tak seperti Maradona yang masih ditemani Jorge Valdano di laga final 1986, di mana Valdano mencetak gol di laga final itu dan total mencetak empat gol sepanjang turnamen, Messi tak ditemani oleh malaikat yang kepadanya ia bisa berbagi beban: Angel di Maria.

Malaikat di Maria yang membawa Argentina hingga babak semifinal, dengan gol tunggalnya ke gawang Swiss di babak 16 Besar dan asist yang dikirimnya kepada Higuain di perempatfinal ke gawang Belgia. Tanpa Malaikat di Maria, yang absen di semifinal karena cedera, Argentina (juga Messi) tak bisa mencetak gol sepanjang 120 menit semifinal melawan Belanda dan baru bisa melenggang ke final melalui adu penalti. Tanpa Malaikat di Maria, Argentina (juga Messi) tak bisa mencetak gol ke gawang Jerman, dan akhirnya kalah. Lalu, lahirlah foto The Final Game karya Bao Tailiang itu.

Jika Albert Camus (lewat novel-esai Mite Sisifus) membayangkan Sisifus berbahagia, haruskah kita membayangkan jika Messi bahagia?

========

Sumber lukisan: https://friedala.wordpress.com

Komentar