Polemik Persija-Ahok dan Anatomi (Pengelolaan) Sepakbola Indonesia

Editorial

by Zen RS

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Polemik Persija-Ahok dan Anatomi (Pengelolaan) Sepakbola Indonesia

Polemik kepemilikan Persija Jakarta mulai menemukan jalan keluar. Kabar terbaru, Ahok (mewakili Pemprov DKI Jakarta) akan mengambil 20 persen saham kepemilikan Persija sebagai langkah awal.

Polemik ini menarik untuk diikuti, bukan hanya oleh penggemar Persija saja, melainkan juga oleh pemerhati dan penikmat sepakbola di Indonesia. Polemik ini bisa menjadi kaca benggala bagi tata kelola, khususnya, kesebelasan-kesebelasan eks-perserikatan. Bagaimana polemik ini nantinya akan berakhir boleh jadi akan menjadi semacam "yurisprudensi" baru bagi tata kelola kesebelasan-kesebelasan eks-perserikatan.

Pertanyaannya: apa yang bisa dipelajari dari polemik kepemilikan Persija bagi tata kelola persepakbolaan Indonesia?

Gugatan Ahok Atas Kepemilikan Persija

Sudah lama sebenarnya Ahok berbicara mengenai Perija, bukan belakangan saja. Pada pertengahan 2013, Ahok sudah mengatakan pernyataan yang keras terhadap isu ini. Anda bisa mengeceknya di Youtube pada video berjudul "Ahok: Persija Dibuang Saja" yang diunggah pada 13 Agustus 2013. Pernyataan yang sama ia ulang pada pertengahan Januari 2014 di Metro TV.

Pernyataan-pernyataan keras Ahok itu dipicu (jika merujuk pernyataan Ahok) oleh permintaan Jakmania agar Pemprov DKI mau ikut memecahkan persoalan finansial yang sudah beberapa musim membelit Persija. Dari situlah polemik mengenai kepemilikan saham di Persija dimulai oleh Ahok. Ahok menolak untuk membantu memecahkan persoalan keuangan Persija. Alasannya: Pemprov DKI tidak punya saham di Persija. Tak berhenti sampai di situ, Ahok kemudian membawa persoalan tersebut ke aspek yang lebih mendasar: soal kepemilikan saham-saham Persija.

"Saya ga ngerti Persija dulu bisa begitu baik kasih saham ke perorangan, harusnya punya DKI dong," kata Ahok seperti yang bisa kita lihat dalam tayangan Metro TV.



Ahok mempersoalkan kepemilikan saham Persija oleh perorangan. "Kan bukan dia yang dirikan. Merasa sudah keluar uang. Uang apa? Transparan atau tidak? (Kalau) Anda gak sanggup urus Persija, ya sudah jual dong (sahamnya ke Pemprov DKI)," kata Ahok lagi.

Argumentasi Ahok agaknya dibangun oleh logika bahwa Persija, sebagai kesebelasan eks-perserikatan, merupakan aset publik (dalam hal ini Pemprov DKI). Berangkat dari logika itulah ia menggugat kenapa dengan begitu mudahnya perseorangan atau swasta bisa tiba-tiba memiliki saham saat Persija menjadi berbadan hukum PT.

"Kan memang peraturan mengharuskan klub sepak bola dibuat ke dalam badan usaha. Jadi Pemprov membentuk Persija jadi PT. Tapi setelah Persija dibuat jadi PT, saham Pemprov DKI kok malah tidak ada. Masing-masing pengurus mengklaim saham karena merasa sudah keluar duit. Itu konyol kan," ujar Ahok di kesempatan yang lain.

Di situ, Ahok mempersoalkan transparansi "transfer" kepemilikan saham Persija. Apa dasarnya seseorang bisa memiliki saham? Berapa uang yang sudah ditanamkannya dalam struktur modal? Bagaimana hitung-hitungannya seseorang bisa punya 10% atau 20% atau berapalah itu? Apakah persentase itu sesuai dengan nilai uang yang ia tanamkan dalam kaitannya dengan perhitungan aset Persija yang sudah berusia puluhan tahun itu?

Kendati Ahok merasa janggal jika Pemprov harus keluar uang untuk membeli Persija (karena ia merasa Pemprov DKI juga sebagai salah satu pemilik Persija), tapi Ahok agaknya tidak keberatan jika memang harus membeli. Syaratnya: jelas hitung-hitungannya.

"Kalau mau kita keluar duit, boleh. Tapi sahamnya mana? Sini jual ke kita, kita beli. Kalau Pemprov DKI mau keluar uang untuk Persija, oke. Tinggal hitung saham Anda berapa. Nanti kita masuk. Mesti bayar berapa," kata Ahok lagi.

Di titik ini, Ahok mencoba memperlihatkan bagaimana cara yang benar (setidaknya menurut dia) dalam soal pengelolaan kepemilikan. Secara sederhana, Ahok ingin menjelaskan bahwa kalau seseorang setor penyertaan modal sekian milyar, maka berapa persen saham yang akan dia miliki itu ditentukan oleh berapa total aset (juga modal yang sudah ditanamkan pemilik lain) di perusahaan itu.

Setelah berlarut-larut cukup lama, akhirnya kemarin muncul titik temu. Pemprov DKI, melalui BUMD Jakpro, akan memiliki saham 20% sebagai langkah awal. Selanjutnya akan dilakukan uji tuntas terkait aset-aset Persija oleh pihak yang berkompeten guna pemindahan saham selanjutnya.

Menurut Fery Paulus, Pemprov DKI nantinya akan memiliki 60% saham. 40% sisanya akan dibagi rata antara 30 kesebelasan internal Persija dan manajemen yang mengelola Persija.

Pelajaran untuk Eks-Perserikatan Lainnya

Apa yang terjadi dengan polemik kepemilikan saham Persija sebenarnya menjadi cermin bagi pengelolaan para eks-perserikatan lainnya. Persoalan yang dipicu oleh gugatan Ahok itu sebenarnya juga rentan menimpa kesebelasan-kesebelasan eks-perserikatan lainnya.

Persoalan ini dimulai seiring digulirkannya Indonesian Super League (ISL) pada 2008 lalu. Salah satu syarat bagi peserta ISL adalah harus berbadan haukum. Dan syarat itu diterjemahkan secara homogen oleh semua peserta ISL: badan hukum itu berbentuk Perseroan Terbatas (PT).

Menurut UU No. 40/2007, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pendirian PT. Dari sekian syarat, ada beberapa syarat yang krusial yaitu pendiri minimal dua orang atau lebih dan modal dasar minimal 50 juta.

Dari sinilah persoalan dimulai. Beberapa orang kemudian mendaftarkan sebuah kesebelasan sebagai PT dan nama-nama itu kemudian masuk ke dalam struktur pendiri, pemilik dan manajerial PT tersebut (direktur, komisaris, dll). Biasanya, dalam kasus kesebelasan-kesebelasan di Indonesia, nama-nama yang didaftarkan adalah orang-orang yang menjadi pengurus kesebelasan saat pendaftaran itu dilakukan. Kadang orang berstatus swasta, sering juga pejabat pemerintah.

Hal biasa juga jika kemudian masuk nama-nama lain yang ikut menyetorkan uang sebagai modal. Biasanya ini terkait modal untuk mengarungi kompetisi (baik untuk kontrak pemain, transportasi dan tetek bengek lainnya). Orang-orang yang terakhir ini bisa merupakan orang-orang baru yang tidak terkait sama sekali dengan pengelolaan di tahun-tahun sebelumnya.

ahok-persija-inilahcom

Ada dua persoalan yang sering muncul dari proses itu.

Pertama, di mana posisi pemerintah (kota/kabupaten/provinsi) dalam akta pendirian dan struktur kepemilikan sahamnya?

Dalam logika Ahok, Pemprov DKI (ini bisa diganti Pemkot Kediri untuk kasus Persik, Pemkot Bandung untuk Persib, Pemkot Surabaya untuk Persebaya, Pemkot Banda Aceh untuk Persiraja, dll) harusnya punya saham di Persija. Sebab, jika pun Pemprov/Pemkab/Pemkot bukan pemilik tunggal di masa-masa sebelumnya, setidaknya pemerintah menjadi salah satu pemiliknya. Menjadi janggal, sekali lagi jika merujuk logika Ahok, jika pemprov/kot/kab sama sekali tak punya saham.

Logika Ahok ini, jika diterapkan untuk eks-eks perserikatan lainnya, bisa dianggap sebagai cara berpikir yang faktual dan historis. Apa pasal? Sebab eks-eks perserikatan umumnya memang terkait erat dengan pemerintahan di sebuah kota/kabupaten.

Sangat biasa eks-perserikatan dulunya dipimpin oleh walikota atau pangdam atau pejabat daerah lainnya. Sebab, ini terkait fakta berikutnya, pejabat-pejabat itulah yang bisa memastikan kesebelasan tersebut akan mendapatkan dana yang cukup untuk mengarungi kompetisi. Dana itu bisa didapatkan dengan cara mendesak pengusaha-pengusaha untuk "nyawer" atau dengan cara lain yang sudah bertahun-tahun sudah menjadi kelaziman: melalui dana hibah APBD, dan kita tahu APBD adalah uang rakyat.

Setelah bertahun-tahun lamanya, atau belasan tahun atau bahkan puluhan tahun (masing-masing kesebelasan berbeda kasusnya), bergantung pada APBD, bukankah hal wajar jika pemerintah (provinsi/kota/kabupaten) mendaku sebagai --setidaknya-- salah satu pemilik dari kesebelasan tersebut?

Bisakah diterima jika setelah bertahun-tahun menerima uang rakyat, kesebelasan tersebut tiba-tiba dimiliki oleh orang per orang hanya karena (1) orang tersebut kebetulan adalah pengurus di tahun sebelumnya, (2) kebetulan orang tersebut yang mendaftarkan status PT, (3) orang tersebut ikut menanamkan modal semilyar dua milyar atau 10 milyar atau (4) karena orang tersebut berjasa dan berandil menalangi kebutuhan kesebelasan tersebut di awal musim atau di musim sebelumnya?

Tentu saja mereka, orang-orang itu, sampai batas tertentu, bisa memiliki sekian persen saham PT yang menaungi kesebelasan eks-perserikatan itu. Tapi bisakah diterima jika tiba-tiba saja pemerintah, sebagai wakil publik yang mengelola uang rakyat via APBD, dan puluhan/belasan/bertahun-tahun lamanya tidak memiliki satu persen pun saham?

Mungkin pemprov/kab/kot sempat semusim atau dua musim tidak membantu kesebelasan eks-perserikatan. Tapi itu tidak bisa menghapuskan andil tahun-tahun sebelumnya melalui kucuran dana APBD yang notabene merupakan uang rakyat.

Dengan alur berpikir inilah kita bisa memahami mengapa Ahok sempat mengancam untuk melaporkan polemik kepemilikan saham Persija ini kepada KPK. Logikanya Ahok sederhana saja: jika ada aset negara (pemprov/kot/kab) yang tiba-tiba beralih ke perorangan, bukankah ini bisa dianggap sebagai indikasi merugikan keuangan negara?

Jika seseorang punya saham 20% karena menyetorkan modal sebesar 10 milyar, misalnya, dari mana datangnya angka 20%? Sudahkah itu mempertimbangkan valuasi aset yang pernah ditanamkan oleh pemerintah (provinsi/kota/kabupaten) selama bertahun-tahun atau belasan atau puluhan tahun? Lalu bagaimana memvaluasi aset kesebelasan-kesebelasan internal yang selama puluhan tahun "menyetorkan" pemain secara gratis?

Bersambung ke halaman berikutnya..

Komentar