Louis van Gaal, Benteng Terakhir United dalam Perang Komentar di Media

Cerita

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Louis van Gaal, Benteng Terakhir United dalam Perang Komentar di Media

Manajer Manchester United, Louis van Gaal, memperingatkan Paul Scholes atas apa yang telah ia tulis dan ucapkan. Scholes, yang merupakan didikan akademi Manchester United, melontarkan pujian terhadap akademi Manchester City dalam kolomnya di Independent. Scholes, menurut Van Gaal, mesti mulai “berhati-hati” dan tidak menuruti apa yang dilakukan Gary Neville, mengkritik klub.

Scholes, yang kini aktif sebagai pundit, menulis mengenai kekagumannya terhadap akademi Manchester City. Ia khawatir, di masa mendatang, para orang tua dan anak-anak asli Manchester lebih memilih akademi Manchester City yang lebih gemerlap dibanding akademi Manchester United. Scholes takut, para pemain terbaik Manchester malah merumput di Manchester City.

Manchester City baru saja meresmikan akademi yang dinamai “Etihad Campus” pada Senin (8/12) lalu. Akademi tersebut menghabiskan biaya sekitar 200 juta pounds dengan fasilitas 16 lapangan, alat kesehatan, hingga kampus.

“Seluruh bangunan dan akomodasi tidaklah penting,” kata Van Gaal seperti dilansir Independent. Menurutnya, filosofi bermain dan staf kepelatihan jauh lebih penting karena mereka-lah yang terjun langsung menangani para pemain.

“Aku tak punya waktu untuk membandingkan bakat-bakat serta staf satu sama lain; ketika aku melihat apa yang kami punya, aku tahu, aku amat gembira. Kini, aku lebih sibuk dengan tim utama, dan itu akan menjadi lebih sulit, tanpa dukungan pendidikan sepakbola usia dini,” tutur Van Gaal.

Van Gaal sendiri dengan terang-terang tak begitu peduli terhadap kompleks akademi mewah di timur Manchester. Ia mengaku tak terkesan dengan apa yang dilakukan oleh sang pemilik City, Syeikh Mansour.

Apa yang dikatakan Van Gaal memang ada benarnya. Tanpa filosofi yang jelas, serta tanpa mental juara, tiap pemain belum tentu memiliki semangat juang untuk memenangkan pertandingan. Hal ini sebenarnya disoroti Scholes dalam opininya tersebut. Ia bersama Nicky Butt dan Ryan Giggs misalnya, telah memenangkan banyak pertandingan saat masih di akademi. Itu yang membuatnya selalu ingin menang saat dipromosikan ke tim utama.

Lebih jauh, jika kita menilik pernyataan Van Gaal ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar kritik terhadap Neville dan Scholes. Van Gaal adalah cambuk bagi pemain, staf, bekas pemain, dan suporter United untuk lebih percaya diri dalam mengarungi liga.

Semenjak kehadiran David Moyes, Manchester United, yang dulunya berkuasa di liga, malah menjadi bahan ejekan. Pandangan negatif itu terus terasa hingga saat ini. MU saat ini seolah tak memiliki rasa percaya diri, jangankan untuk memenangkan pertandingan, untuk mengangkat moral tim saja terkadang masih terlihat berat.

Ini yang kemudian digugah Van Gaal lewat komentar-komentarnya. Sepanjang perjalanan United musim ini, Van Gaal selalu memberi komentar positif mengenai timnya kepada media. Dengan wajah yang seolah menggambarkan dirinya berkuasa, Van Gaal menyiratkan sesuatu yang begitu ingin ia sampaikan kepada media: United adalah tim besar, dan komentar Anda tak akan mampu mengkerdilkannya.

Tiap usai pertandingan, mata Van Gaal selalu membelalak tajam kepada para kuli tinta. Van Gaal ingin memberi isyarat untuk tidak memberinya “pertanyaan bodoh”. Hal-hal yang tidak disukainya, ia lontarkan pada media. Misalnya, saat Robin van Persie membuka kaus saat perayaan golnya di menit keempat waktu tambahan. Van Gaal tak sungkan menyebutnya sebagai perayaan gol yang bodoh. Di luar itu, Van Gaal seolah memandang apa yang dilakukan Van Persie dalam pertandingan menghadapi Chelsea tersebut sebagai hal yang tidak perlu. Kenapa? Karena ia menganggap Chelsea bukanlah tim yang sebegitu penting, sehingga Van Persie mesti meluapkannya dengan hadiah kartu kuning.

Pujian Scholes terhadap akademi Manchester City tidaklah salah. Lagipula, apa yang dituliskannya pun benar. Namun, Van Gaal melihatnya dari sisi lain. Ia memandang tidak pantas bagi seorang legenda untuk “membesarkan” nama tetangga, yang baru membangun prestasi, apalagi sampai memujinya. Mereka tak pantas diberi perhatian, khususnya kepada media.

Toh, Van Gaal tidak cuma bicara di depan media. Ia sudah melakukannya dengan memainkan Paddy McNair, Tyler Blacket, dan James Wilson. Coba Anda pikirkan, jika bukan Van Gaal yang menjadi nahkoda United, mungkinkah tiga pemain tersebut mendapat debut pada musim ini? Malahan, Van Gaal sempat dikritik karena merusak tradisi United yang selalu menelurkan pemain muda, saat menjual Danny Welbeck ke Arsenal.

Saat kalah dari Liverpool, Van Gaal sempat menyatakan kepuasannya karena menang dari laga “penting”. Namun, ia menekankan ingin “meningkatkan performa” ketimbang berambisi menjadi juara. Ia pun menyoroti buruknya penyelesaian akhir dari lini serang United.

Komentar-komentar tersebut hanya menguap begitu saja di permukaan. Namun, jika dilihat lebih dalam, ada makna tersembunyi yang mungkin saja secara sengaja atau tidak sengaja diucapkan Van Gaal. Laga menghadapi Liverpool dianggap penting untuk melanjutkan tradisi kemenangan, bukan karena Liverpool adalah lawan yang penting. Kedua, kemenangan atas Liverpool tak membuatnya mengalihkan target menjadi juara, melainkan hanya ingin “meningkatkan performa”, karena permainan Liverpool hanya "begitu-begitu saja".

Meski belum sampai setengah musim, Van Gaal sudah mempelajari bagaimana caranya menyatu ke dalam klub. Bagaimana caranya ia menjadi orang yang paling berkuasa di tempat latihan, bench, dan kamar ganti. Dan itu semua ia praktekkan di Old Trafford.

Van Gaal juga tak suka saat Gary Neville menyebut timnya sebagai "tim cafe" saat mengalahkan Southampton 2-1. Meski kenyataannya tak jauh dari itu, tapi rasa-rasanya tak pantas bagi seorang duta klub merendahkan timnya sendiri. Van Gaal juga sepertinya tak peduli amat jika Gary mundur sebagai duta klub. Toh ia malah membuat semangat tim menurun.

Jika komentar adalah busur panah, maka Van Gaal adalah penjaga terakhir pertahan rasa percaya diri United, lewat perang komentar di media.

Komentar