Keheningan di Soreang

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Keheningan di Soreang

“Ceu, Persib juara!”

Itu yang saya ucapkan kepada seorang ibu pedagang tahu petis di dalam kompleks stadion Si Jalak Harupat tepat pada hari kelahiran saya, 9 November.

Hari itu Bandung sedang menggila oleh warna biru di mana-mana. Pesta juara sedang menyelimuti atmosfir Kota Bandung. Puluhan ribu bobotoh tumplek ke jalanan kota Bandung untuk melihat konvoi juara yang mengarak pemain dan tentu saja trofi juara ISL. Pesta gila-gilaan setelah puasa gelar selama 19 tahun.

“Muhun Jang, jagoan euy juara! Ai maen didieu, ai nuju bungah teu aya nolol ka lapang,” jawab si ibu pedagang petis. Artinya, “Iya, dik. Jagoan juara! Kalau main di sini, tapi pas senang tidak ada yang muncul ke lapangan.”

Itulah kalimat balasan dari si ibu, saya pikir mungkin itu yang dirasakan khususnya warga pribumi sepanjang jalan raya Cipatik, ruas jalan di mana Stadion Si Jalak Harupat berdiri.

Kalimat itu, percakapan singkat dengan si ibu itu, justru membuat saya jauh lebih bersemangat menulis artikel ini daripada menulis tentang prediksi laga- laga klub Eropa. Saya mendapatkan ide tulisan dengan sudut pandang yang menarik.

Kurang dari 15 menit berjalan kaki dari rumah, saya sudah bisa sampai di Si Jalak Harupat. Bersama para teman, saya hanya perlu berjalan kaki untuk menonton laga Persib yang hampir tidak pernah kami bisa lewatkan. Tidak hanya dekat, banyaknya kerabat saya yang menjadi calo tiket, membuat saya merasa “lebih berkelas” karena memasuki Stadion dengan perasaan yang lebih ajib daripada seorang Menpora sekalipun.

Riuh gemuruh Bobotoh dari seluruh penjuru Jawa Barat memadati Soreang di setiap laga Persib yang selalu dinanti lambaian tangan warga, calo tiket dan tukang parkir dadakan.  Sampai akhirnya para penggawa kebanggan kami harus berangkat menuju Palembang di mana laga semifinal akan dihelat.

Laga pertama semifinal pun di akhiri dengan kemenangan Persipura atas PBR, laga yang sengit.  Laga yang saya pikir PBR masuk semifinal pun sudah beruntung, terhormat sekali mereka bisa bertemu Persipura.  Akhirnya beberapa jam yang dinanti seluruh Bobotoh di dunia pun dimulai, laga semifinal kedua antara Arema Kronos melawan Persib, laga semifinal rasa final.

Saya pribadi ngeri melihat taburan bintang di skuad Arema, namun tetap kita libas mereka.  Terima kasih untuk CEO Arema yang mendadak menjadi Pelatih di laga tersebut.  Kami ke final!

Beberapa hari menuju final, banyak hal yang jauh lebih menarik daripada mantan kekasih yang sudah mempunyai kekasih baru lebih cepat dari kita. Tagar #ModalFinal di media sosial seperti tak akan berkesudahan dipromokan akun-akun besar yang berhubungan dengan Persib. Entahlah bagaimana nasib Pegadaian dan toko lelang sepanjang hari-hari itu.

Saya kagum melihat pemuda yang ingin melelang kompor gas milik ibunya demi menuju Jakabaring. Bahkan beberapa Nazar pun bermunculan, dari Walikota Populer yang akan botak jika juara sampai yang akan menikah dan mencukur kumisnya sebelah.

Final pun dimulai!

Saya memutuskan untuk menyaksikan laga final sendirian di rumah. Laporan para kerabat akan riuh gemuruh acara nobar di setiap pelosok RW di kota Bandung terus berdatangan. Akhir babak pertama berkesudahan 1-1 untuk kedua tim.

Jeda itu saya putuskan untuk membeli rokok sengaja melewati Si Jalak Harupat dengan manaiki motor. Saya menyalakan sebatang rokok di Warung Nasi Padang yang letaknya berada di depan stadion Si Jalak Harupat. Santai saya melihat ke sekeliling.

Astaga! Hening sekali. Bukankah ini Kandang Persib? Bukankah di sini salah satu tempat mereka berjuang menuju Palembang? Sayang, Soreang bukan Milan.

Persib Juara! Setelah drama adu pinalti yang pelik. Jujur saya berkaca-kaca, dan saya resmi menjadi generasi yang akan membicarakan final Persib vs Persipura, bukan final Persib vs PSMS yang entah kapan akan dibayar.

Betul, setelah malam itu Bandung “membiru”. Hampir tak ada jalanan lenggang di kota Bandung malam itu.  Sampai akhirnya konvoi pemain dan piala mengitari jalanan nadi kota Bandung.  Bukan saya tak ingin melihat konvoi pemain dan piala di pusat kota, tapi saya tahu kondisi badan saya saat itu yang tidak akan mudah menikmatinya, padahal harusnya saya bernafsu di hari kelahiran saya hampIr seluruh warga Jawa Barat merayakannya.

Saya memutusakan membeli tahu petis saja di Si Jalak Harupat. Ironis. Di hari ulang tahun, saat Bandung sedang menggila oleh pesta, saya menikmati keheningan yang aneh di Jalak Harupat.

“Heningnya Medan Perang”, mungkin kalimat itu cocok bagi siapapun yang melihat Si Jalak Harupat dan tahu bagaimana euforia di pusat kota. Untuk kesekian kalinya Si Jalak Harupat terlupakan.

Ah! Orang-orang memang lebih mengenal Vassili daripada Danilov.

Catatan: Tulisan ini buat Almarhum Bapak yang tak pernah mencintai Persib, aneh!

Dikirim oleh: Dani Suryadi

Seorang Analis Kimia berakun Twitter @storyofdanny

gambar: panoramio.com , devipatra

Komentar