Apa yang Harus Dilakukan Juve Ketika Bermain di Kompetisi Eropa?

Editorial

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Apa yang Harus Dilakukan Juve Ketika Bermain di Kompetisi Eropa?

Juventus akan menghadapi tamu dari Athena, Olympiakos, dini hari nanti (5/11). Tamu yang cukup memberikan pukulan telak bagi Juve minggu lalu. Karena kala itu, Si Nyonya Tua harus menerima kekalahan keduanya pada Liga Champions musim ini.

Tak hanya itu, kekalahan tersebut membuat Juve mencatatkan enam laga tanpa kemenangan kala bermain away di Liga Champions. Kekalahan yang dialami Juve saat itu pun semakin menguatkan anggapan bahwa Juve tak memiliki mentalitas bermain di Liga Champions.

Ya, mentalitas bermain di Liga Champions yang buruk disinyalir menjadi penyebab Juventus selalu tak bisa meraih hasil positif. Namun benarkah hal ini yang menjadi penyebab utamanya?

Presiden klub Bayern Munich, Karl-Heinz Rummenigge, memberikan pandangannya atas hal ini. Pada harian Gazzetta dello sport  dua pekan lalu, Rummenigge mengatakan bahwa Juve seperti kebanyakan tim Italia, tak memainkan permainan dengan tempo yang cepat seperti kebanyakan klub-klub peserta Liga Champions lain.

Pernyataan yang tak salah, tak juga sepenuhnya benar. Benar jika kita berkaca pada Arsenal yang memiliki penguasaan bola mumpuni, tapi dibuat tak berdaya saat menghadapi permainan cepat Dortmund. Atau Manchester City yang ditahan imbang pelari-pelari cepat dari CSKA Moskow. Tapi bagaimana dengan Roma yang digunduli Bayern Munich meski Serigala Ibukota bermain dengan tempo lebih tinggi?

Alasan yang bisa dibilang paling masuk diakal adalah dari pemakaian taktkik dan strategi yang akan digunakan Max Allegri. Bukan tentang 3-5-2 yang tak maksimal digunakan ketika bermain Eropa, tapi bagaimana caranya menghadapi permainan tim-tim Eropa yang bermain lebih menyerang.

Ya, Juve memang kerepotan menghadapi tim yang bermain menyerang. Olympiakos berhasil menaklukkan Juve di leg pertama pun karena Pajtim Kasami cs berani bermain terbuka serta bermain di kandang sendiri. Serangan yang dibangun begitu cair dan tajam meski materi pemain mereka berada di level yang tak lebih baik dari Juventus.

Pun begitu saat Juve mengalahkan AS Roma dengan skor 3-2 beberapa pekan lalu. Juve sempat kebingungan menghadapi permainan Roma yang meladeni Juve dengan permainan menyerangnya. Juve saat itu berhasil menang pun berkat dua gol dari titik putih dan gol di menit-menit akhir.

Di Italia, Juve cukup mendominasi karena tim-tim lawan bermain defensif dan hanya mengandalkan serangan balik. Tengok saja ketika AC Milan melawan Juve pada awal musim ini. Mereka bermain memainkan garis pertahanan rendah dengan mengumpulkan banyak pemain di depan kotak penalti. Sang allenatore, Filippo Inzaghi, hanya menyisakan Jeremy Menez yang bermain sebagai false nine di lingkar lapangan tengah sebagai konektor serangan balik. Hasilnya? Tetap saja Juve mampu menaklukkan Milan.

Menurut kolumnis situs juvefc.com bernama Emmet Gates, hal itu terjadi karena Juve di Italia selalu bisa mendikte permainan lawan, karena tim lawan bermain defensif. Sedangkan ketika bermain di kompetisi Eropa, tim-tim lawan selalu berhasil mengakali Juve agar tak mendikte permainan, apalagi ketika Juve bermain tandang.

Atletico Madrid yang juga mampu mengalahkan Juve, meski bermain defensif, mereka tahu bagaimana cara agar Juve tak bisa mendikte permainan. Skuat asuhan Diego Simeone tahu betul cara mencuri bola dari kaki para pemain Juventus, baik dengan cara bersih, maupun dengan cara kasar (pelanggaran).

Permainan Juve sendiri sejak era Antonio Conte memang selalu bisa mendikte permainan lawan dengan possession football-nya. Formasi 3-5-2 dengan trio gelandang seperti Andrea Pirlo, Arturo Vidal, Paul Pogba ataupun Claudio Marchisio menunjang Juve untuk melakukannya.

Juve memerlukan skema dan strategi yang tepat ketika menghadapi tim di kompetisi Eropa maupun yang bermain menyerang. Formasi 3-5-2 bisa melakukannya, jika dengan strategi yang tepat. Misalnya, dengan lebih memanfaatkan kecepatan dan skill individu yang dimiliki Roberto Pereyra.

Atau bisa juga mencontoh pola permainan Bayern Munich ala Pep Guardiola yang memiliki keunggulan di sisi sayap meski menggunakan formasi 3-4-2-1. Pergerakan setiap pemainnya begitu cair sehingga terkadang Bayern Munich terlihat menggunakan berbagai formasi.

Singkat kata dari analisa pendek ini, Juve perlu melupakan pakem bermainnya ketika bermain di kompetisi Eropa, entah itu dengan 3-5-2 atau formasi lain. Yang jelas, Juve harus bisa keluar dari zona nyamannya yang terbiasa menghadapi tim-tim Italia yang cenderung membiarkan Juve mendikte permainan lawannya.

Komentar