Memahami "Kegagalan" Balotelli

Editorial

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Memahami

Nada sumbang terdengar saat Liverpool mendapatkan Mario Balotelli dengan nilai transfer 16 juta poundsterling dari AC Milan. Pertanyaan demi pertanyaan mulai mengalir, apa sebenarnya motif Liverpool mendapatkan penyerang timnas Italia di Piala Dunia 2014 tersebut?

Bukankah Balotelli dikenal sebagai “Si Pembuat Onar”. Lagipula, gaya bermainnya tak cocok diterapkan di Anfield. Jangankan menggantikan peran Luis Suarez, beradaptasi bersama The Reds pun, ia masih disangsikan.

Baca juga ulasan mengenai bagaimana caranya agar Balotelli bisa menanjak kembali performanya di depan gawang: Biarkan Balotelli Mengambil Tendangan Penalti.

Selasa (28/10) malam, Balotelli (akhirnya) mencetak golnya yang kedua bagi Liverpool di pertandingan kompetitif. Meskipun demikian, ia belum pernah mencetak satu gol pun di pertandingan liga. Satu gol iacetak di Piala Liga, dan satu lagi di Liga Champions.

Pertanyaan yang sama masih saja menggelayut, terutama bagi sebagaian fans Liverpool: mengapa perjalanan karir striker yang sering bertingkah aneh tersebut mesti berakhir di Anfield. Tak sampai akhir memang, tapi setidaknya menetap untuk beberapa saat.

Pembelian Balotelli sebenarnya tak bisa dilepaskan dari dijualnya Luis Suarez ke Barcelona. Pemain timnas Uruguay tersebut selain dihukum FIFA dan memiliki catatan buruk soal gigit menggigit, nilai transfernya pun dianggap sedang mencapai puncak. Itu pula yang membuat Liverpool tenang-tenang saja menjual Suarez.

Sayangnya, secara taktikal, kepindahan Suarez menjadi sebuah kehilangan yang sulit tergantikan. Benar, Liverpool mendapatkan dana segar 65 juta pounds. Uang sebesar itu, dapat dimanfaatkan untuk menambal sektor lain, seperti yang dilakukan Southampton misalnya pada musim ini.

Berapa sih harga striker muda? Paling mahal juga 10 juta pounds. Nilai sebesar itu nantinya akan digunakan sebagai investasi seandainya Liverpool butuh dana segar. Dengan catatan pemain tersebut bersinar seperti yang diharapkan.

Apa yang terjadi di London Utara, sebenarnya mesti menjadi pengingat tegas bagi Liverpool. Bagaimana Tottenham seolah kesulitan mengganti peran Gareth Bale yang dijual hampir 100 juta pounds ke Real Madrid. Christian Eriksen bukanlah pemain yang setipe dengan Bale di mana mampu mengontrol bola dari belakang hingga kotak penalti lawan, lalu mencetak gol.

Setidaknya, Liverpool sudah diperingatkan. Tapi mereka tak mendengar.

Liverpool bukanlah Real Madrid yang mampu membeli James Rodriguez untuk mengisi pos Mesut Oezil dan Angel Di Maria sekaligus. Bayern Munich punya Robert Lewandowski dan Mario Goetze yang bisa mengganti peran Mandzukic dan Toni Kroos. Tentu saja, Liverpool juga bukan Chelsea yang “berinvestasi” di Atletico dengan memulangkan Thirbaut Cortouis untuk “menegur” Petr Cech yang tanpa saingan, serta membeli Diego Costa yang membuat Fernando Torres menyingkir ke AC Milan.

Liverpool bukanlah klub yang dikenal boros dan sesuka hati mereka dalam mengeluarkan uang untuk membeli pemain. Liverpool adalah salah satu klub yang sering mendapat pujian soal pembelian pemain.

Mereka melakukannya berdasarkan analisis data komprehensif, ditambah dengan sejumlah pemandu bakat yang mengandalkan pengamatan dan insting. Mungkin banyak dari fans Liverpool yang tertawa sinis mengapa Luiz Felipe Scolari tak membawa Philipe Coutinho ke Brasil dan lebih memilih Bernard atau Hulk (jangan tertawa). Padahal, Coutinho adalah aset terbaik Liverpool bersama Jordan Henderson. Lagi-lagi, keduanya adalah hasil pengamatan yang matang sebelum ditarik ke Anfield.

Musim ini, ada anggapan kalau Brendan Rodgers (atau manajemen) memilih untuk mendatangkan penyerang dengan tipe yang lebih bervariasi. Hal ini (rencananya) akan lebih memudahkan Rodgers dalam memasang taktik, tak terpaku pada satu skema saja.

Lini serang Liverpool kini dihuni Lazar Markovic, Rickie Lambert, Adam Lallana, Fabio Borini, dan Daniel Sturridge. Adam Lallana memang bukan striker, tapi di Southampton perannya mirip dengan yang ditampilkan Michu di awal debutnya bersama Swansea City. Selain memberi umpan, Lallana pun turut aktif menyumbangkan gol.

Dari nama-nama di atas, lewat formasi yang menggunakan satu striker, nama Markovic saja sudah cukup untuk dipasang. Atau kalau mau dua striker, duet Daniel Sturridge dan Fabio Borini bisa dipadukan. Atau, kalau melawan tim yang enggan menyerang, Rickie Lambert adalah ujung tombak yang bisa diandalkan.

Pertanyaannya adalah mengapa dengan nama-nama di atas, Liverpool masih saja mendatangkan seseorang bernama Balotelli? Kenapa?

Halaman Berikutnya: Memahami "Kegagalan" Balotelli dengan Konteks

Komentar