Suriah, Sepakbola, dan Perang Saudara

Cerita

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Suriah, Sepakbola, dan Perang Saudara

Dalam beberapa tahun terakhir, sepakbola Suriah sedang mengalami kebangkitan. Kesuksesan yang diraih di level klub berhasil ditularkan ke tubuh tim nasional. Namun ketika langit sedang cerah dan harapan sedang tinggi-tingginya, sebuah badai bernama perang saudara menerpa.

Enam bulan setelah FC Barcelona dari Spanyol memutus harapan klub asal Inggris, Arsenal FC, untuk menjadi juara Liga Champions Eropa pada final pertama Arsenal di kejuaraan tersebut, partai puncak Liga Champions Asia tahun 2006 digelar. Kedua finalis berasal dari Korea Selatan dan Suriah; Jeonbuk Hyundai Motors dan Al-Karamah.

Dalam format final dua leg, kedua tim sama-sama berhasil meraih kemenangan saat bertindak sebagai tuan rumah. Jeonbuk menang 2-0 di Jeonju World Cup Stadium, sedangkan Al-Karamah menang 2-1 di Khaled Ibn Al Walid Stadium. Al-Karamah kalah. Tapi itu bukan masalah. Prestasi Al-Karamah di ajang Liga Champions Asia tetaplah yang paling tinggi di antara semua klub asal Suriah.

Pada tahun 2009, Al-Karamah berhasil kembali mencapai final kejuaraan tingkat Asia. Al-Karamah berhasil mencapai final Piala AFC, menyamai prestasi Al-Jaish dan Al-Wahda, dua klub Suriah yang berhasil mencapai final Piala AFC tahun 2004. Lawan Al-Karamah di final tahun 2009 adalah Al-Kuwait Kaifan, klub asal Kuwait. Bertanding di Al Kuwait Sports Club Stadium, tuan rumah berhasil meraih kemenangan tipis 2-1. Al-Karamah kalah. Lagi-lagi ini bukan masalah.

Walaupun hanya dua kali menjadi runner-up di dua kejuaraan berbeda, Al-Karamah menunjukkan bahwa sepakbola Suriah tengah mengalami kebangkitan. Mereka tidak sendirian membuka mata Asia dan dunia. Piala AFC tahun 2010 dimenangi oleh Al-Ittihad, yang juga berasal dari Suriah.

Prestasi klub-klub Suriah menular ke tubuh tim nasional. Setelah absen selama 15 tahun dari ajang Piala Asia, Suriah berhasil lolos ke Piala Asia 2011 yang digelar di Qatar. Tak tanggung-tanggung, Suriah meraih hak mereka dengan cara menjadi juara grup di babak kualifikasi. Tergabung bersama Republik Rakyat Cina, Vietnam, dan Libanon di Grup D, Suriah tak pernah kalah.

Tidak lama setelah Piala Asia 2011 selesai digelar, sebuah kejadian kurang mengenakkan terjadi di Suriah. Lima belas orang pelajar yang melayangkan kritik terhadap pemerintahan Presiden Bashar al-Assad lewat sebuah graffiti dijebloskan ke penjara. Masyarakat bereaksi. Mereka menginginkan demokrasi. Suriah terpecah menjadi tiga: pro Assad, pro demokrasi, dan kelompok netral. Pergerakan bersenjata membuat kehidupan di Suriah tak lagi tenang.

Perang saudara yang berkecamuk mempengaruhi semua sendi kehidupan di Suriah, termasuk sepakbola. Liga Suriah musim 2010/11 tidak terlaksana. Seorang pemain sepakbola profesional bahkan menjadi korban jiwa.

Rabu, 20 Februari 2013 lalu. Tiga pemain Al-Wathbah terluka akibat serangan bom mortir di hotel tempat mereka menginap di dekat Stadion Tishrin, Baramkeh, Damaskus. Tiga pemain terluka (satu di antaranya kritis) dan satu pemain bernama Youssef Suleiman (19), pemain tim nasional junior Suriah, tewas.

"Kami sedang bersiap-siap untuk berangkat ke stadion ketika kami mendengar ledakan pertama yang membuat jendela-jendela hancur berantakan. Youssef terluka di bagian leher. Kami berlari ke koridor saat bom kedua meledak dan saya melihat Youssef terjatuh, berdarah-darah dari lehernya," ujar Ali Ghosn, salah satu pemain Al-Wathbah, ketika mengisahkan kejadian yang merenggut nyawa Suleiman.

Kejadian-kejadian buruk yang menimpa persepakbolaan Suriah membuat para pemain profesional merasa gerah. "Ini semua adalah politik. Olahraga ini tidak terasa seperti sepakbola lagi," kata Mohamed Muselmani, pemain sepakbola profesional Suriah yang kini sedang mencari kedamaian dan pekerjaan di Libanon.

Seperti Muselmani, banyak pemain lain yang meninggalkan Suriah. Entah untuk mencari keselamatan atau melayangkan protes terhadap perang saudara yang sedang berkecamuk di negara mereka. Menurut Mohammed Nasser, ahli sepakbola Suriah, ada lebih dari 200 orang pemain yang sudah meninggalkan negara. Bahkan hanya tiga dari 25 pemain tim nasional Suriah di kejuaraan terbaru yang masih tinggal di dalam negeri.

Firas Al-Khatib, salah satu pemain terbaik yang pernah dimiliki oleh Suriah, melakukan hal yang sama dengan Muselmani untuk menentang kondisi yang ada. Al-Khatib kini bermain untuk Shanghai Shenhua di Republik Rakyat Cina. Tak hanya meninggalkan tanah airnya, Al-Khatib juga menolak untuk membela tim nasional atas dasar solidaritas kepada kelompok yang memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan.

Sementara Muselmani dan Al-Khatib pergi agar tetap dapat bermain sepakbola dengan aman dan tenang, Abdul Basit Saroot tetap meninggalkan dunia sepakbola dan bergabung dalam pergerakan bersenjata melawan pemerintah.

Saroot tidak sendirian. Pemain tim nasional Suriah, Musab Balhous, juga mengambil langkah yang sama. Balhous bahkan pernah mendekam dalam tahanan atas tuduhan memberi naungan kepada kelompok pemberontak bersenjata yang anggotanya tidak lain dan tidak bukan adalah rekan-rekan satu timnya di klub Al-Karamah.

Walaupun mayoritas pemain top Suriah sudah pergi meninggalkan negara mereka, harapan belum sepenuhnya mati. Liga sudah berjalan kembali dan tim nasional ternyata masih bertaji. Pada tahun 2012, Suriah mampu menjadi juara di Piala Asia Barat.

"Ada para pemain yang menolak untuk membela tim nasional untuk saat ini karena mereka yakin bahwa jika mereka melakukannya, mereka mewakili pihak tertentu," kata Tareq Hinwari, kapten tim nasional Suriah U-20.

Hinwari beropini bahwa seharusnya para pemain tetap menunjukkan keinginan untuk membela tim nasional. Dari sana, mereka dapat berangkat bersama membuktikan bahwa Suriah mampu bersatu.

"Namun saya tidak setuju terhadap mereka. Kami mewakili bendera negara dan kepatuhan kami kepada negara ini. Kami bermain untuk mengukir senyum di wajah setiap pendukung Suriah," tutupnya.

Hinwari masih meyakini kekuatan mimpi. Seperti kebanyakan warga Suriah lainnya, ia tak lupa memanjatkan doa kepada Tuhan: "Saya mendoakan kembalinya kedamaian dan keamanan ke negara yang saya cintai dan terlepas dari semua hal yang telah kami lalui, saya memiliki harapan yang tinggi untuk sepakbola Suriah."

Komentar