5 Cerita Lainnya dari Otobiografi Roy Keane

Buku

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

5 Cerita Lainnya dari Otobiografi Roy Keane

Perdebatan dalam otobiografi Roy Keane, "The Second Half", memang tiada habisnya. Ia tetap menjaga reputasinya sebagai orang yang paling "mengerikan" dalam sejarah Liga Primer Inggris. Keane tidak menahan diri dalam otobiografi barunya dengan mengkritik banyak orang.

Meskipun kami telah membahasnya sebelumnya, ternyata otobiografi Keane masih memiliki beberapa kelakar yang belum terendus publik. Di bawah ini lah lima di antaranya.

Selamat Datang di Neraka

"Permainan saya pertama (untuk Celtic) adalah saat tandang melawan Clyde di babak ketiga Piala Skotlandia. Kami kalah 2-1. Itu adalah mimpi buruk. Saya tidak senang dengan permainan saya sendiri. Permainan saya OK, tapi OK tidak cukup baik. Setelah permainan hanya ada kekecewaan.

Saat saya melepaskan jersey saya, saya masih melihat tag Nike ada di atasnya. Ketika saya sampai di bus, John Hartson, seorang pria yang benar-benar baik, sudah duduk di sana dan dia makan sebungkus keripik dengan minuman bersoda. Saya berkata kepada diri saya sendiri: Welcome to Hell."

Siapa yang Mengurusi Musik?

"Ini mungkin tampak aneh tapi Anda mencari tahu tentang karakter ketika Anda melihat siapa yang bertanggung jawab mengurusi musik. Seorang anak muda mungkin ingin memasang musik terbaru; pemain yang lebih tua mungkin mengatakan: 'Saya pemain senior dan menempatkan pemain lain untuk bertanggung jawab'. Tapi saya melihat tidak ada pemain (di Sunderland) bertanggung jawab atas musik dan ini adalah keprihatinan bagi saya.

Seorang anggota staf bertanggung jawab. Saya menatapnya berpikir: 'Saya berharap orang lain selain dia'. Lagu terakhir sebelum para pemain pergi ke lapangan adalah 'Dancing Queen' oleh Abba. Saya benar-benar khawatir ketika tidak ada pemain - tidak ada satu pun - yang protes: 'Gantilah musiknya!'. Mereka akan memainkan pertandingan, pertandingan antara pria, kadar testosteron pastilah tinggi. F*ckin' Dancing Queen. Ini mengkhawatirkan saya."

Biru Bukanlah Warna yang Tepat

"Sesi pertama kami (di Ipswich Town) terbuka untuk para fans. Tapi tak ada yang datang. Hari pertama saya dan Anda akan berpikir beberapa anak-anak sekolah akan diseret oleh seorang ayah atau kakek. Kehangatan itu tidak ada. Lalu ada pakaian latihan berwarna biru. Saya tidak suka warna biru. (Manchester) City berwarna biru.

Rangers biru. Saingan terbesar saya selalu berwarna biru. Apakah itu kekanak-kanakan? Saya tidak bisa merasakannya. Saya dan klub. Saya kesal sekarang, berpikir bahwa saya harus bisa menerimanya. Saya ada di sana untuk melakukan pekerjaan."

Voicemail Turnoff

"Saya menelepon Mark Hughes. Robbie (Savage) sedang tidak di tim Blackburn dan saya bertanya kepada Mark jika kita bisa mencoba untuk mengatur kesepakatan. Sparky mengatakan: 'Yeah, yeah, dia tidak terpakai di sini tapi dia masih bisa melakukan pekerjaan untuk Anda'. Robbie mungkin tidak secepat dulu tapi saya pikir dia mungkin akan bisa bermain bagus untuk kami (di Sunderland), dengan rambutnya yang panjang, dan akan menaikkan permainan kami - seperti yang Yorkie (Dwight Yorke) miliki, kepribadian yang besar di ruang ganti. Sparky memberi saya izin untuk memberinya panggilan telepon.

Jadi saya menghubungi ponsel Robbie dan meneleponnya. Namun sayang saya menerima sebuah voicemail: 'Hai, ini Robbie - whazzup!' seperti iklan Budweiser. Saya tidak pernah meneleponnya lagi. Saya berpikir: Saya tidak bisa mendatangkannya (I can't be f*cking signing that)."

Paul Scholes dan Class of '92

"Dia (Paul Scholes) adalah seorang top, pemain top. Tapi saya masih tidak terlalu mengagungkannya, meskipun dia sangat rendah hati. Dia terlalu berlebihan. Semua orang berpikir ia tinggal di sebuah flat sederhana. The Class of '92 - semuanya pemain bagus, tapi peran mereka di klub sudah dilebih-lebihkan. Class of '92 terlihat menumbuhkan kaki mereka sendiri; telah menjadi sebuah merek.

Seolah-olah mereka adalah tim yang jauh dari tim, dan mereka tidak malu untuk mengakuinya. Kita semua memiliki tujuan yang sama; kita semua memiliki rasa lapar. Menurut saya mereka biasa saja."

Komentar