Lewat Sepakbola Dunia Menjadi Lebih Datar

Cerita

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Lewat Sepakbola Dunia Menjadi Lebih Datar

Tiada yang menyangsikan bentuk bumi yang bundar. Ketika menginjakkan kaki di bulan pada 1969, Neil Amstrong dan dua koleganya, menjadi manusia pertama yang melihat bentuk bumi dari dataran bulan.

Ya, bumi memang bulat, tapi tidak untuk Thomas Loren Friedman, seorang Amerika yang “menemukan” India lewat Lufthansa. Tak seperti Christoper Colombus yang berkelana dengan perahu layar, yang pada akhirnya malah menemukan Benua Amerika.

Lewat bukunya The World is Flat, Friedman menceritakan bagaimana globalisasi membuat segalanya terasa lebih dekat. Ia menceritakan perjalanannya ke Banglore, dan merasa kalau tempat tersebut tak ubahnya sebagai bagian dari Kansas, Amerika Serikat.

Globalisasi menyusutkan dunia ini ke dalam kepingan yang jauh lebih kecil. Manusia dari tiap sudut dunia, bisa berkomunikasi dengan mudahnya. Karya dari sudut yang satu, bisa ditemukan di sudut yang lainnya. Friedman menyebutnya sebagai “Globalisasi 3.0”.

Ini merupakan era di mana satu individu bersaing dengan individu lain. Mereka ada di tataran paling kecil dari sebuah perusahaan ataupun sebuah negara.

Sepakbola Sebagai Tataran Dunia Datar

Saat menyaksikan Liga Indonesia misalnya, terdapat sejumlah sponsor luar negeri di sana. Anda bisa dengan mudah menemui ad board Nike, Pizza Hut, BV Sports, Adidas dan lainnya. Pun dengan chant dari para suporter. Bagai di Inggris saja rasanya.

Chant berbahasa Inggris, lengkap dengan jaket Sergio Tacchini, sepatu Adidas, polo shirt Lacoste, membuat suasana Inggris hadir sedemikian rupa di stadion.

Ada pula yang menyanyikan chant berbahasa Italia, lengkap dengan flare yang menyala. Itu semua memperlihatkan bagaimana individu atau kelompok di dua sudut yang berjauhan, memiliki kultur tribun yang hampir mirip.

Sama halnya dengan sponsor asing yang masuk ke klub. Seperti hukum ekonomi pasar, ketika ada tempat yang kaya akan sumber daya, maka perusahaan akan memindahkan bisnisnya ke sana.

Ini berlaku di sepakbola. Misalnya OctaFx yang menjadi sponsor Persib. Broker yang terdaftar di negara St. Vincent and the Grenadies tersebut, tentu akan lebih menguntungkan jika menempelkan nama perusahaannya di jersey Persib, ketimbang menjadi sponsor klub sepakbola di negaranya.

Negara St. Vincent and the Grenadies hanya memiliki populasi 103 ribu jiwa. Bandingkan dengan jumlah penggemar Persib misalnya, yang memiliki lebih dari 5,3 juta penggemar (Detik, Maret 2012).

Konvergensi Materi

Memang menyenangkan menjadi penggemar sepakbola. Hampir setiap hari, media selalu memberitakan segala hal tentang olahraga ini.

Dari berita tersebut, ada yang puas, ada pula yang tidak. Maka, sebagian dari penggemar lebih memilih untuk menuliskan apa yang ia pikirkan tentan sepakbola.

Misalnya, ketika seorang wartawan membuat review atas pertandingan Liverpool. Seorang fans tak begitu puas atas tulisan tersebut. Ia pun mulai menganalisa pertandingan tadi dan mempublikasikannya lewat blog. Siapapun bisa membaca dan mengomentari analisa tersebut.

Globalisasi membuat siapapun dapat membaca karya siapapun yang diunggah lewat internet. Hanya dalam jangkauan jari dengan waktu tunggu tak lebih dari lima detik, kita bisa menemukan ide pikiran orang lain yang jaraknya ribuan kilometer dari tempat kita duduk di depan layar komputer.

Kini, siapapun bisa menjadi penulis. Siapapun bisa menjadi pembaca setia. Mereka telah memiliki bekal sebelum berdebat dengan teman lainnya di warung kopi.

Bilang saja, “Analisa kamu kurang tajam, ini analisa ku,” sembari mengutip analisis taktik Michael Cox.

Globalisasi membuat dunia menjadi lebih datar. Segala hal menjadi jauh lebih dekat dan mudah untuk diraih. Pun dengan sepakbola yang menjadi bagian atas perubahan tersebut. Jika rekaman pertandingan Piala Dunia 1966 baru bisa disaksikan keesokan harinya, maka rekaman pertandingan Piala Dunia 2014, bisa diputar berulan-ulang 20 menit setelah pertandingan usai.

Atau malah sebaliknya? Lewat sepakbola lah dunia menjadi lebih datar. Kita bisa menemui suasana ultras Eropa di Stadion Maguwoharjo. Kita juga bisa menyaksikan suporter berlogat Sunda berjalan kaki lengkap dengan parka dan sepatu bermerek menuju stadion, laksana suporter casual di Inggris.

Komentar