Beckenbauer sebagai Uebermensch dari Lapangan Hijau?

Editorial

by Zen RS Pilihan

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Beckenbauer sebagai Uebermensch dari Lapangan Hijau?

Sosok paling hebat dalam sejarah sepakbola Jerman, sekaligus yang paling komplit dalam sejarah sepakbola dunia, hari ini merayakan ulang tahunnya yang ke-69. Siapa dia? Hanya satu orang dengan kualifikasi demikian: Franz Beckenbauer.

Sepakbola Jerman boleh berbangga hati karena memiliki Beckenbauer. Melihat prestasi, capaian dan kiprahnya dalam dunia sepakbola, boleh jadi memang dia sosok yang tiada banding. Bahkan jika dibandingkan Pele atau Maradona sekali pun.

Dengan menggunakan konsepsinya Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman yang masyhur itu, bisalah dikatakan kalau Beckenbauer adalah "uebermensh dari lapangan hijau".

Uebermensch digunakan oleh Nietzsche untuk menjelaskan tipe manusia yang tidak hanya mumpuni secara mental, melainkan juga tangguh secara fisik. Dialah manusia yang yakin diri, tak ragu dalam bertindak untuk menggapai harapan dan merealisasi target, termasuk berlaku keras dan bertindak tegas. Tak ragu mengambil alih tugas untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah oleh pundak dan tangannya sendiri, tanpa perlu berpelan-pelan menanti titah komandan, karena dirinyalah sang komandan itu sendiri.

Nietzsche hakulyakin manusia model seperti itulah satu-satunya yang pantas memimpin. Perubahan dan peradaban tidak layak digantungkan pada manusia-manusia lemah, "budak-budak" yang lembek, pasif, nihil prakarsa, terlampau mudah menyerah, dan gampang bertekuk punggung pada suratan nasib. "Budak-budak" macam itu tak pantas dikasihani. Jika perlu disingkirkan.

Deretan kriteria ini memang begitu telengas dan seakan tak punya belas kasihan. Etnis, ras, atau kelompok minoritas (misalnya gay atau juga kaum diffabel) rentan berhadapan dengan konsepsi uebermensch ini.

Rezim degil nan buas yang dipimpin oleh Adolf Hitler, misalnya, kerap disebut mengambil inspirasi dari uebermensch untuk menabalkan superioritas ras Arya. Kita tahu, NAZI yang dipimpin Hitler ini kemudian berlaku keji terhadap Yahudi yang dianggap sebagai dekadensi peradaban Eropa.

Nietzsche secara akademik sebetulnya terdidik dalam disiplin ilmu filologi, terutama dalam bahasa Latin. Dari sanalah Nietzsche banyak mengkaji kebudayaan klasik dunia, terutama kebudayaan Yunani dan Romawi. Dari situlah Nietzsche menemukan dua model spirit yang bertarung dalam sejarah kebudayaan manusia: spirit Appolonian dan spirit Dyonisian.

Berlainan dengan pemikiran umum yang percaya bahwa kebudayaan agung Yunani itu dikerek ke langit-langit peradaban dunia karena tradisi olah pikir yang bertumpu pada rasio yang gemilang melahirkan filsuf-filsuf besar, Nietzsche percaya bahwa peradaban Yunani menjulang ke angkasa karena spirit Dyonisian yang lebih mengedepankan rasa dan kemampuan mengecap kenikmatan ragawi.

Pikiran ini agak mirip dengan pandangan Johan Huizinga, sejarawan Belanda. Dalam opus magnum-nya, Homo Ludens, Huizinga menyebut permainan sebetulnya mendahului kebudayaan. Permainan pula yang dianggap Huizinga sebagai motor penggerak pasangnya kebudayaan Yunani ke langit-langit peradaban manusia. Maraton, atletik, olimpiade kuno, hingga berdebat dalam tradisi retorika di Yunani dianggap Huizinga sebagai bentuk ekspresi bermain.

Dalam bahasa Nietzsche, inilah yang dimaksudkan sebagai spirit Dyonisian: ekspresi kebudayaan yang dikobari oleh spirit bergerak, kebahagiaan, dan kesenangan, dan bukan oleh spirit Appolonian yang lebih mengedepankan olah pikir (rasio). Pengejawantahan spirit itu, Nietzsche mencontohkan, gamblang terpapar dalam kemabukan tarian ekstravaganza yang arkaik ataupun dalam tradisi berolahraga (olympic). Mestikah diherankan jika olimpiade modern yang digagas Baron de Coubertain sebetulnya diinspirasi oleh tradisi untuk menghormati keberadaan Zeus di Gunung Olympic.

Dan ide Nietzsche tentang arti penting kekuatan, dalam dunia modern yang makin menolak kekerasan, sebetulnya diakomodasi dengan lapang dalam dunia olahraga, sepak bola salah satunya. Uebermensch yang dibayangkan Nietzsche sebagai archetype manusia yang kuat secara fisik, cerdik, dan licik, juga menjadi prasyarat bagi pemain mana pun yang ingin menjadi hebat dan untuk tim mana pun yang ingin menjadi juara. Tak mungkin juara tanpa fisik yang tangguh, sama mustahilnya tanpa kecerdikan dan kelicikan ramuan strategi permainan. Uebermensch, dalam bayangan Nietzsche, adalah manusia yang memang kuat dalam pikiran, mental, dan raga.

Saya ingin menjajal seberapa mungkin mencari sosok Uebermensch di lapangan hijau. Dan bukan karena kebetulan Nietzsche orang Jerman yang membuat saya mencoba mengajukan hipotesis: Uebermensch di dunia sepak bola mungkin adalah orang Jerman. Siapa yang paling memungkinkan itu? Saya kira jawabannya: Franz Beckenbauer.

Kita mulai menguji dalam kapasitas Beckenbauer sebagai pemain. Yang menggelitik saya adalah posisi yang dia mainkan di lapangan. Beckenbauer adalah orang pertama yang memainkan posisi libero, dan hingga kini diakui sebagai pemain paling sempurna di posisi itu sepanjang sejarah. Posisi libero ini istimewa, bukan karena lahir dari tradisi Jerman, tapi posisi libero ini adalah bayangan dari konsep Uebermensch Nietzsche di lapangan hijau.

Libero secara formal berada di belakang pemain belakang. Tapi sesungguhnya ia bukan bek. Seperti asal katanya, liberty (yang artinya kebebasan), libero adalah pemain bebas yang punya keleluasaan untuk bergerak semampunya dan nyaris tanpa kekangan. Ini tak mudah. Situasi bebas menuntut tanggung jawab besar. Kebebasan membawa orang pada situasi sendiri, tanpa penopang, kendati ia memang merdeka benar. Tapi sering orang tak kuasa menanggung kebebasan, situasi yang membuat, dalam konsepsi Erich Fromm, "lari dari kebebasan".

Situasi itu membutuhkan kualifikasi yang sukar digapai pemain lain, karena selain menuntut fisik prima karena ia harus bergerak terus-menerus, ia membutuhkan kemampuan inteligensia yang tinggi untuk menentukan kapan saatnya berada di pertahanan dan kapan mulai merangsek kotak penalti lawan. Dan yang makin sukar, selain membutuhkan fisik dan inteligensia di atas rata-rata, hanya seorang dengan kemampuan leadership mumpuni yang bisa melakoninya.

Dan Beckenbauer bisa melakukannya. Dalam posisi itulah ia membawa Jerman Barat menjadi juara Piala Dunia 1974, membawa Bayern Muenchen juara Piala Champions pada 1972, dan berkali-kali membawa Muenchen juara Bundesliga. Sebagai pelatih, Beckenbauer juga di atas rata-rata. Dia sukses, tak tanggung-tanggung, membawa Jerman Barat yang dilatihnya menjuarai Piala Dunia 1990.

Hanya satu orang selain dirinya yang punya konduite macam itu: Mario Zagallo dari Brasil.

Hebatnya lagi, sewaktu ia melatih, dia sukses menemukan satu pemain yang dianggap juga brilian memainkan posisi libero (kendati tentu saja masih di bawah dirinya) sekaligus kapten kesebelasan: Lothar Mattheus.

Sebagai pemain dan pelatih ia sukses. Selesai? Tidak juga. Dialah satu-satunya orang yang pernah menjuarai Piala Dunia sebagai pemain dan pelatih yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Panitia Piala Dunia. Pada Piala Dunia 2006 yang dilangsungkan di Jerman, Beckenbauerlah ketua panitianya. Dan sukses! Hanya menjadi wasit Piala Dunia ia tidak.

Beruntung Jerman tidak menjadi juara dunia saat menjadi tuan rumah (Jerman dikalahkan Italia pada pertandingan semifinal pada 5 Juli 2006. Apa lagi yang harus dikatakan jika Beckenbauer berhasil membawa Jerman sebagai juara dunia baik dalam posisi sebagai�pemain, libero, kapten, pelatih sampai ketua panitia Piala Dunia? Setidaknya�dia tak berhasil "menyiapkan panggung" bagi�Jerman untuk jadi juara dunia di tanah sendiri saat dia berposisi sebagai ketua panitia Piala Dunia.

Selamat ulang tahun, Kaisar!

Di atas kaisar, setidaknya, masih ada langit yang selalu menjauh tiap kali hendak digapai....

Komentar