Keniscayaan Politik dalam Sepakbola

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Keniscayaan Politik dalam Sepakbola

Oleh: Eko Noer Kristiyanto

Ada rasa tergelitik dalam diri saya ketika membaca salah satu judul artikel Pandit Football berjudul “Giliran Bobotoh Persib yang Dipolitisasi di Ajang Pemilihan Presiden”. Dalam bayangan saya, ribuan bobotoh yang masuk kategori “orang baik” tentu akan menyesalkan hal tersebut dan melihatnya sebagai suatu penyimpangan serta kekeliruan.

Dalam tulisan singkat ini, saya akan coba menjadi “orang tidak baik” yang tidak naif, dan secara rasional coba menjelaskan mengapa masuknya politik dalam sepakbola adalah suatu keniscayaan.

***

“Power tends to corrupt...and absolute power corrupts absolutely”

Ungkapan di atas dapat diartikan: “kekuasaan itu cenderung disalahgunakan...dan kekuasaan yang absolut/mutlak sudah pasti disalahgunakan”. Ungkapan yang dicetuskan oleh Lord Acton ratusan tahun lalu ini masih tetap relevan digunakan hingga saat ini. Tak terkecuali dalam ranah sepakbola.

Jika sepakat bahwa popularitas adalah salah satu modal terpenting seseorang untuk berkiprah di kancah politik, tentunya kita akan mengamini bahwa sepakbola memiliki daya tarik tersendiri.

Maka, akan sangat wajar jika seseorang yang tengah memegang kekuasaan akan sebisa mungkin mengoptimalkan apa yang bisa dia optimalkan (baca: salah gunakan). Termasuk di antaranya adalah akses dan kuasa terkait sepakbola yang sangat menarik perhatian publik.

Begitu pun sebaliknya. Politik –yang dimaknai sebagai cara untuk mencapai dan mengelola kekuasaan—sesungguhnya akan merasa tak berdosa menjadikan kepopuleran sepakbola sebagai alat untuk menuju kekuasaan.

Beberapa Contoh

Di negara lain, yang notabene juga sangat menggandrungi sepakbola, Italia, prestasi dan nama besar klub akan sangat berpengaruh pada banyak hal. Sebagai contoh adalah seorang Silvio Berlusconi yang karir politiknya berkibar dengan mengusung partai Forza Italia dan (tentu saja) salah satu klub terbesar Serie-A, A.C Milan.

Ini tentu jadi bukti nyata bahwa posisi tinggi di sebuah klub akan jadi faktor berpengaruh untuk mengajak para tifosi memberi dukungan terhadap partai dan bendera klub orang yang bersangkutan.

Maka, tak perlu heran jika slogan “Forza Milan” seakan menegaskan korelasi kuat antara dua kekuatan besar yang berada di dua jalur berbeda ini.

Fenomena ini bahkan terkadang melibatkan lebih dari satu negara dan juga lebih dari satu profesi, yang semuanya tak lepas dari figur politik.

Di Liga Inggris, kita dapat berprasangka bahwa Roman Abramovich menjadikan klub kepunyaannya, Chelsea, sebagai alat untuk memikat perhatian presiden Rusia Vladimir Putin. Maklum, Abramovich sendiri sempat terpilih sebagai gubernur di Chukotka, Rusia, dan sangat ingin terlibat dalam rencana-rencana strategis Putin terkait pasokan migas di negara-negara Eropa, termasuk Inggris.

Maka, suatu tindakan yang mengoptimalkan potensi, aset dan popularitas sepakbola untuk tujuan politis seseorang menjadi hal sangat wajar. Menggunakan dan digunakan adalah suatu hal yang lumrah dalam dinamika politik. Asalkan jangan menyalahgunakan dan disalahgunakan.

Tentu sosok politisi yang menggunakan sepakbola sebagai aksesoris politik tak hanya terbatas pada Abramovich dan Berlusconi. Untuk lingkup Asia Tenggara, nama Thaksin Shinawatra pernah begitu lekat dengan klub tenar liga Inggris

Di Indonesia, pada masa jahiliyah APBD untuk sepakbola (sebenarnya sekarang pun masih berlangsung, walaupun terkesan malu-malu), beberapa tokoh pernah begitu leluasa menggunakan nama klub dalam agenda-agenda politik terkait status sebagai kepala daerah.

Kala itu, ada yang menjabat sebagai ex-officio ketua umum, pembina, dan embel-embel lain klub daerahnya. Sebut saja Dada Rosada, Sukoyo Sutarip, Cak Narto, Alex Nurdin, Sutiyoso, dkk. Dari pihak swasta yang berafiliasi dengan kekuatan politik, kini tengah marak nama Bakrie. Sementara di era sebelumnya, ada nama Nurdin Halid.

Selain nama-nama lama itu, kini muncul juga sosok-sosok dadakan. Misalnya saja seorang direktur PT.PERSIB Bandung Bermartabat yang dengan statusnya kini merasa berhak merasa paling PERSIB, dan membuat kampanye “lembut” bersama koleganya yang kini sukses menembus jajaran anggota DPR

Etika dan Moral Sebagai Batasan         

Sebagaimana dikatakan di atas, ada perbedaan tegas antara guna dan salah guna. Penyalahgunaan mengacu kepada suatu hal yang tidak benar dan tidak pada tempatnya. Bahkan, dapat dikatakan suatu pelanggaran. Konsekuensinya adalah hukum. Semisal saja penyalahgunaan alokasi dana APBD yang di-markupß untuk klub sepakbola.

Namun, yang saya bahas di sini adalah hal yang lebih mengerikan, yaitu penyalahgunaan yang tak bisa ditindak oleh aparat penegak hukum dan kerusakannya begitu nyata di masyarakat. Ini adalah pelanggaran-pelanggaran etika, moral, dan kepatutan.

Apa patut seseorang yang hanya jadi pimpinan sekelompok orang –yang kebetulan adalah pendukung PERSIB—tiba-tiba mengklaim seluruh pendukung PERSIB (baca: bobotoh) untuk kepentingan pribadi dalam berpolitik?

Apa pantas karena kuasa dan kedekatan lalu membawa pemain untuk turut serta di ajang kampanye?

Masih banyak contoh ketidakpatutan ketika sepakbola diseret dalam politik praktis yang dipertontonkan secara vulgar dan seronok di negeri ini. Di sini pentingnya moral sebagai batasan. Bahwa seorang politisi, ataupun petinggi sepakbola, bisa saja akan melakukan sesuatu yang tidak melanggar hukum, namun sebenarnya amat tercela dan tak pantas untuk dilakukan.

Saling dukung untuk akses APBD

Ketika petinggi klub dan politisi mengabaikan moral dan etika, lalu mengapa tokoh-tokoh supporter, yang seharusnya menjadi benteng dan mencerdaskan suporter agar tak dieksploitasi, justru ikut-ikutan terseret dalam lingkaran tersebut?

Jawabannya sangat mudah. Agar ikut kebagian kekuasaan, yang juga termasuk di dalamnya adalah uang.

Saat politisi bersangkutan menang, tentu ia akan membalas budi seluruh pihak yang berjasa dalam proses berburu tahta. Selain partai, pengusaha, ormas-ormas dan kolega, ada juga ormas dan kelompok-kelompok masyarakat, termasuk kelompok suporter.

Jenis “balas budi” yang diberikan pada kategori ini adalah akses terhadap dana-dana yang dialokasikan dalam pos hibah dan bantuan sosial APBD. Caranya adalah memberikan persetujuan dengan mudah untuk proposal-proposal kegiatan kelompok suporter dengan dalih bahwa pos anggaran ini memang dialokasikan untuk rakyat. Maka, menggelontorlah uang rakyat dari mulai ratusan juta hingga (mungkin) miliaran rupiah.

Apa supporter-suporter yang dicatut namanya oleh para pentolan itu tahu tentang hal ini? Wallahualam.

Suporter yang Berpikir

Fakta membuktikan, tak selamanya tunggang-menunggang dan dompleng-mendompleng nama besar klub dan suporter ini berkorelasi positif dengan kemenangan.

Sebagai contoh adalah kekalahan Dani Setiawan (Pilgub Jabar 2008), Yance (Pilgub Jabar 2013), serta Ayi Vivananda (Pilwakot Bandung 2013). Padahal ketiganya mendapat dukungan secara eksplisit dari ketua umum kelompok suporter sepakbola terbesar di Jawa Barat. Tampaknya tak semua masyarakat cukup lugu untuk dibodoh-bodohi konspirasi para petinggi klub, pentolan suporter, dan politisi yang berkepentingan.

Kenyataan ini tentunya dapat membuat Anda para pecinta sepakbola yang termasuk kategori “orang baik” sedikit bernafas lega. Bahwa upaya mati-matian penyalahgunaan sepakbola dalam politik, ternyata tidak selalu berhasil.

Dan yang menjadi benteng pertahanan terakhir justru adalah kita-kita semua. Caranya adalah dengan berpikir kritis dalam eksistensi sebagai suporter, seperti apa yang dikatakan Rene Descartes: “cogito er go sum”, yang berarti “aku ada karena aku berpikir”. Dengan menggunakan dialektika ini maka masyarakat sepakbola berdaya untuk membendung tirani yang menyalahgunakan sepakbola dan rasa cinta para penggemarnya.

--

Penulis adalah Direktur Rechtsvinding Institute, berakun twitter @ekomaung

Komentar