Presiden dan Sepakbola Indonesia (3): Ketidakberpihakan Soeharto pada Sepakbola

Klasik

by redaksi

Presiden dan Sepakbola Indonesia (3): Ketidakberpihakan Soeharto pada Sepakbola

Sebelum format “profesional” Liga Indonesia seperti saat ini, Indonesia sebelumnya telah memiliki liga profesional yang bergulir pada 1979. Liga Sepakbola Utama atau lebih dikenal dengan singkatannya Galatama.

Berbeda dengan kompetisi perserikatan, mayortias anggota Galatama adalah perusahaan-perusahaan. Karena tidak dibiayai APBD mereka murni memaksimalkan sisi komersial untuk menghidupi klub.

Ini yang membuat kompetisi Galatama disebut sebagai “profesional”. Berbeda dengan tim yang bermain di perserikatan seperti Persib, PSMS, ataupun Persebaya, yang manajemennya dipegang oleh Pemerintah Daerah/Kota. Kompetisi perserikatan hanya dianggap sebagai adu gengsi karena jumlah hadiah tidak pernah menutupi pengeluaran klub.

Kompetisi Galatama bergulir saat Soeharto menjabat sebagai presiden. Lewat putranya, ia turut membangun kompetisi Galatama.

Putra Soeharto, Sigit Harjoyudanto, adalah pengusaha pemilik Arseto Group. Usahanya ini ada di bidang perkebunan, pertambangan, kimia, hotel, dan penerbangan. Saat Galatama bergulir, Sigit lantas membuat klub sepakbola yang berbasis di Solo, dan menamainya Arseto Solo.

Selain mendirikan Arseto Solo pada 1978, Sigit juga terpilih untuk menjadi Ketua Harian Liga Sepakbola Utama. Pengaruhnya di PSSI semakin menguat setelah ia menjadi Kepala Proyek PSSI Garuda dan Junior, serta menjadi Ketua I PSSI.

Hingga kini, nama Arseto Solo masih dirindukan khususnya oleh warga Solo. Prestasi Arseto bisa dibilang mengagumkan. Mereka mulai menjadi Juara Piala Liga I pada 1985. Dua tahun berselang, mereka menjuarai Invitasi Perserikatan Galatama.

Tahun 1992 menjadi musim terbaik Arseto setelah mereka menjuarai Galatama dan mewakili Indonesia di Liga Champions Asia. Mereka pun mencatatkan sejarah dengan keberhasilannya melaju ke grup semifinal Liga Champions Asia.

Selain kompetisi Galatama, diam-diam Presiden Soeharto sebenarnya menaruh perhatian pada sepakbola Indonesia. Ini terlihat dalam sambutannya di majalah Sepakbola yang diterbitkan PSSI pada 1975. Dalam sambutannya, ia menantang PSSI untuk membentuk tim yang kuat karena dengan 130 juta penduduk Indonesia saat itu, mestinya ditemukan potensi-potensi besar yang hadir dalam skuat timnas.

Selain itu, Soeharto pun turut menghadiri peringatan ulang tahun PSSI pada 1990. Ia menekankan agar PSSI tidak hanya menjadi organisasi olahraga tetapi juga sebagai sarana perjuangan. Ia menekankan prestasi di olahraga berarti mendukung program pemerintah dalam hal pembangunan.

Meski Soeharto tidak pernah turun langsung mengurusi sepakbola Indonesia, namun lewat putranya yang menjabat sebagai Kepala Proyek PSSI, ia bisa memberi prestasi bagi Indonesia. Di masa Soeharto, Indonesia berhasil meraih prestasi tertinggi dengan dua kali menyabet emas di ajang Sea Games. Prestasi tersebut dibuat pada Sea Games 1987 dan Sea Games 1991. Hingga kini, timnas Indonesia belum pernah menyamai gelar yang direbut pada masa itu.

Di jaman Soeharto, pembangunan infrastruktur olahraga kurang berkembang. Ini karena pemerintah pusat kala itu lebih fokus membangun infrastruktur lain seperti jalan tol. Selama 32 tahun berkuasa, tidak satu pun UU Olahrga dibuat. Soeharto memang tak terlalu peka terhadap perkembangan sepakbola, dia seolah acuh dan abai akan hal itu.

Pada dekade 80-90an, sepakbola kadang dijadikan Soeharto sebagai alat untuk mengalihkan perhatian masyarakat atas kebobrokan rezim. Pada masa itu, Soeharto melegalkan adanya judi bola porkas. Hal ini menurut aktifis membuat generasi muda menjadi tak kritis, seluruh perhatian dicurahkan untuk menonton pertandingan bola yang sedang semarak-semaraknya lewat dua kompetisi akbar Galatama dan Perserikatan. Lewat sepakbola dan porkas, rezim Soeharto pun terus langgeng.

Di lain sisi, ada cerita menarik mengapa timnas sepakbola kita tak terlalu dekat dengan Soeharto. Dia jarang menjadi pembuka ataupun penyerah trofi pada kejuaran-kejuaraan nasional. Sosok presiden ini jarang terlihat di Stadion.  Sosok yang dijuluki The Smiling General ternyata trauma kala menonton pertandingan PON yang berakhir ricuh antara pemain dan pemain, serta penonton dan penonton. Entah takut atau apa hal ini yang membuatnya tidak suka untuk menonton langsung pertandingan sepakbola di stadion. Ia sepertinya kesal dan  benci melihat para pemain dan suporter yang berlaku tidak seperti gentleman.

Baca juga cerita lainnya: Presiden dan Sepakbola


Sumber Gambar: Agent108.org

[fva]

Komentar