Luis Suarez dan Kebebasan Pers di Inggris yang Kebablasan

Cerita

by redaksi

Luis Suarez dan Kebebasan Pers di Inggris yang Kebablasan

Industri media akan sulit mencapai fitrahnya di negara dengan sistem otoriter. Pers akan terbelenggu dalam ancaman penutupan perusahaan media. Akhirnya, media menjadi tumpul dan tidak bergigi. Kewajiban untuk mengkritik dihilangkan. Tak ada yang berani menempatkan kritik menohok di halaman muka. Jika itu terjadi, siap-siap saja ditodong senjata di muka.

Amerika dianggap sebagai negara dengan kebebasan pers yang paling tinggi. Mereka melampaui media Inggris yang masih memiliki larangan untuk menelisik kehidupan Kerajaan Inggris.

Kebebasan pers seberanya sejalan dengan jaminan Hak Asasi Manusia (HAM), yang disahkan PBB lewat piagam Universal Declaration of Human Rights, dan mulai resmi berlaku pada 1948.

Salah satu poin dalam piagam tersebut adalah hak pribadi sebagai hak yang paling mendasar bagi manusia. PBB menjamin hak untuk hidup, hak menyatakan pendapat, hak untuk memeluk agama, dan hak untuk mendapatkan informasi.

Pers menjadi bagian dalam “Hak untuk Menyatakan Pendapat”, atau hak yang paling mendasar dan tidak bisa diganggu gugat.

Tapi, itu adalah perjanjian yang dibuat oleh organisasi dunia. Inggris pada abad ke-13 telah menerbitkan “Magna Carta”. Piagam tersebut membatasi sistem monarki Inggris sejak masa King John, dari pemerintahan yang absolut.

Pada akhirnya, Magna Carta menjadi tonggak kebebasan berbicara di Inggris. Pun dengan persnya. Meski bebas, mereka masih memiliki batasan-batasan khusus yang diatur dalam “NUJ Code of Conduct”.

Kode etik ini menjadi pedoman bagi jurnalis Inggris untuk berperilaku dan bersikap. NUJ atau National Union of Journalists merupakan gabungan wartawan media Inggris dan Irlandia. Kode etik ini sudah berlaku sejak 1936.

Media Inggris, Kritik, dan Sepakbola

Tampaknya, sulit untuk tidak mengidentikkan media Inggris dengan sepakbola. Majalah dewasa sekalipun, masih tetap memuat berita-berita terkait sepakbola.

Inggris sebenarnya memiliki beberapa olahraga nasional selain sepakbola: kriket, rugby, dan polo. Tapi, sepakbola adalah primadona. Media-media besar Inggris sering menempatkan sejumlah momen dalam sepakbola di halaman muka.

Media Inggris dikenal sebagai kritikus handal. Tidak perduli dengan siapa mereka bicara, kritik kerap menjadi topik utama.

Tapi, pengecualian diberikan untuk bekas manajer Mancester United, Sir Alex Ferguson. Media Inggris tampaknya menaruh hormat yang besar bagi Fergie. Prestasinya bersama United, bisa jadi membuat suara-suara sumbang tentang Fergie menjadi tak terlalu terdengar.

Boleh dibilang, hanya dua orang yang jarang diganggu media Inggris: keluarga Kerajaan Inggris dan Alex Ferguson.

Menghukum Luis Suarez

Beberapa hari ke belakang, media Inggris ramai memberitakan soal gigitan Luis Suarez ke pundak bek Italia, Giorgio Chiellini. Mereka memuat gambar-gambar yang telah diedit untuk dimuat di halaman muka.

Koran kuning semacam The Sun, bahkan lebih parah. Dalam sebuah berita pada 25 Juni lalu, mereka menulis judul “Animal Suarez faces two years ban”.

Ada banyak kode etik yang dilanggar. Pertama, berita tersebut tidak benar, karena Suarez nyatanya hanya dihukum empat bulan. Ini melanggar kode etik NUJ nomor 2 yang menyatakan “Berusaha untuk memastikan bahwa informasi yang disebarkan secara jujur ??disampaikan, akurat dan adil.”

Kedua, mengasosiasikan Suarez dengan binatang, melanggar kode etik nomor sembilan. Di situ tertulis bahwa wartawan tidak boleh menghasilkan bahan yang mengarah pada kebencian atau diskriminasi atas dasar usia seseorang, jenis kelamin, ras, warna kulit, keyakinan, status hukum, kecacatan, status perkawinan, atau orientasi seksual.

Berbagai pelanggaran kode etik ini seperti sulit untuk membedakan mana media produk jurnalistik, dan mana media yang memang berniat untuk menyebarkan kebencian.

Ini yang membuat sejumlah media di negara lain, turut menghukum Suarez. Media Amerika, The Sun Herald, menulis berita dengan judul “Luis Suarez: disgrace to humanity”.

Begitu parahkah Suarez hingga mesti dihukum dengan tulisan-tulisan yang akan menggiring opini masyarakat? Media sekelas The Telegraph pun bahkan menyatakan perilaku Suarez tersebut sebagai “barbar”.

Sejumlah TV Uruguay pun mengecam perilaku media Inggris ini. Salah satunya adalah Tenfield. Dalam berita tersebut dituliskan seperti ini: “Seperti di tayangan ulang televisi, dan seperti yang terlihat di ruang media, terlihat wajah Luisito (Suarez) bertabrakan dengan Chiellini tanpa dengan jelas apakah dia menggigit Chiellini, seperti yang dikalim oleh mereka—terutama orang Inggris—yang ingin mengecilkan kemenangan Uruguay.”

Mereka pun menyoroti jurnalis asal Inggris yang dalam konferensi pers menanyakan tentang gigitan tersebut kepada Oscar Tabarez sebanyak tiga kali! Ini yang menurut media Uruguay memancing FIFA untuk memberikan hukuman berat bagi Suarez.

Tabarez pun dalam konferensi pers yang mendadak, murka terhadap media Inggris. Ia juga menyalahkan media Inggris karena akibat pemberitaan tersebut, FIFA memberikan hukuman secara sepihak, tanpa memberi ruang bagi Suarez untuk membela.

Ini pula yang memicu sejumlah media asing lainnya untuk mencaci Suarez. Terutama setelah The Sun menerbitkan foto yang telah diedit. Foto-foto tersebut akhirnya menyebar dan dianggap sebagai foto asli. Foto di mana pundak Chiellini berdarah-darah karena gigitan tersebut.

Chiellini sendiri sebenarnya tidak terlalu senang dengan keputusan tersebut. Ia menganggapnya sebagai suatu hal yang berlebihan. Ia mengatakan tidak merasa bahagia atas keputusan tersebut. Chiellini mengungkapkan, sudah tidak ada marah dan rasa dendam terhadap penyerang Liverpool ini.

“Saat ini saya merasa hukuman itu terlalu berat. Saya masih memikirkan Suarez dan keluarganya. Sebab, mereka akan mengalami momen yang sulit,” ujar Chiellini.

Perseteruan dengan FIFA

Media Inggris juga dikecam FIFA karena pemberitaannya yang terlalu keras tentang kasus suap FIFA.

Presiden FIFA, Sepp Blater, menyerang media Inggris yang kerap mengangkat isu terkait korupsi di tubuh FIFA. Blater mengklaim tuduhan yang dilakukan media Inggris tersebut didorong karena rasa diskriminasi dan rasisme.

Pria kelahiran 1936 tersebut menyatakan mulai ditemukannya usaha-usaha untuk menghancurkan FIFA, meskipun demikian, dengan cepat ia menyanggah dan mengatakan bahwa pernyataan itu tidak ditujukan untuk media Inggris. Menurut Blatter, sejumlah sponsor telah diperiksa terkait dengan dugaan penyuapan yang dilakukan Qatar untuk Piala Dunia 2022.

“Sekali lagi, ada semacam badai yang menghadang FIFA berkaitan dengan Piala Dunia Qatar. Sayangnya, terdapat banyak diskriminasi dan rasisme dan ini menyakitkan. Ini membuat saya sedih,” ujar Blatter.

“Kami mengetahui apa yang media Inggris telah publikasikan. Saya tidak tahu apa alasan yang ada di belakangnya tapi kami harus tetap menjaga persatuan. Kami sedang dalam situasi di mana kami membutuhkan kepemimpinan. Saya masih memiliki kekuatan dan jika kita menunjukkan persatuan, itulah cara terbaik untuk berurusan dengan mereka yang ingin menghancurkan FIFA. Mereka ingin menghancurkan kita,” kata Blatter.

Tidak adanya wakil Inggris di komite eksekutif FIFA, membuat media Inggris makin leluasa untuk mengkritik Federasi Sepakbola Seluruh Dunia tersebut. Tapi, ini bisa menjadi bumerang bagi sepakbola Inggris itu sendiri. Ketika mereka memiliki masalah dengan FIFA, tidak akan ada yang bisa membendung FIFA untuk melakukan hal yang semena-mena.

Terlebih, ketua FA, Greg Dyke, dengan tegas menolak Sepp Blater yang akan maju kembali menjadi presiden FIFA pada 2015. Ia pun menyerang FIFA karena menyebut media Inggris rasis.

Dyke mengatakan pada Blatter, bahwa reaksinya tersebut membuat banyak orang terganggu. Ia pun menyarankan inilah saat yang tepat bagi FIFA untuk berhenti menyerang sang pengirim pesan (media) dan seharusnya FIFA lebih memahami apa isi pesan tersebut.

Ia lalu bicara di hadapan Blatter. “Aku bicara seperti ini: ‘Bisakah aku mengatakan bahwa komentar yang Anda buat kemarin tentang tuduhan terhadap media Inggris, yang mana Anda menganggap mereka sebagai rasis adalah hal yang tidak dapat diterima. Aku telah membaca artikel di Sunday Times secara detail, dan tuduhan yang telah dilancarkan, tidak memiliki hubungan apapun dengan rasisme. Mereka (media Inggris) sebenarnya menuduh tentang korupsi di tubuh FIFA,” kata Dyke.

Nasib Media Inggris

Sulit untuk menyatakan jika Inggris selalu membanggakan bangsanya sendiri. Tidak, itu tidak benar. Pemain macam Wayne Rooney pun kerap mendapat olok-olok. Pelatih Inggris saat ini, Roy Hodgson, juga pernah diolok-olok The Sun.

Kejadian ini membuat FA naik pitam. Mereka pun mengecam The Sun atas pemberitaan tersebut. Tapi kecaman hanyalah kecaman. Tidak ada yang bisa menahan kebebasan pers di negeri Ratu Elisabeth tersebut.

Tapi, ada pemandangan yang berbeda di Spanyol. Media yang berasosiasi dengan Real Madrid, AS, menunjukkan dukungannya pada Suarez. Ketika gigitan tersebut tengah hangat-hangatnya, AS pun lebih terkesan netral dan tidak menuduh macam-macam.

Mereka pun membesarkan berita tentang Chiellini yang akan mendukung Suarez dan keluarganya. Tidak lupa, pernyataan “hukuman yang berlebihan” pun diangkat. Mereka lantas memperlihatkan foto gigitan yang mereka anggap telah diedit terlebih dahulu.

Ini memberikan sinyal bahwa adanya agenda media antara AS dengan Real Madrid yang berhasrat untuk memboyong Suarez ke Bernabeu.

Sementara media Inggris seolah tak ingin melihat Suarez kembali berlaga di Liverpool. Isu mengenai kepindahan Suarez ke Barcelona atau Madrid pun ramai diperbincangkan.

Jika melihat kecenderungan saat ini, apa yang diperlihatkan media Inggris ini seperti sebuah reaksi terhadap satu hal yang mereka tidak suka. Mereka seolah tidak memiliki agenda media yang akan dilaksanakan.

Media Inggris akan selamanya menjadi kritkus handal, tanpa mendapat keuntungan dari apa yang telah mereka korbankan.

Sumber gambar: Dailymail.co.uk

[fva]

Komentar