Gus Dur, Piala Dunia, dan Sengketa Agraria di Karawang

Cerita

by redaksi

Gus Dur, Piala Dunia, dan Sengketa Agraria di Karawang

Pada 1982,  saat Piala Dunia sedang digelar di Spanyol, Gus Dur menulis esai berjudul "Piala Dunia dan Land Reform". 32 tahun kemudian, saat Piala Dunia 2014 sedang digelar, terjadi bentrokan di Karawang disebabkan sengketa agraria.


Perhatian semua pecinta bola kini tertuju pada Brasil. Sementara di tempat yang jauh dari Jakarta, Karawang, ada 1.200 yang sedang menggelar perlawanan karena masa depannya terancam. Para petani Desa Margamulya, Wanasari, Wanakerta, Kecamatan Teluk Jambe Barat, Karawang, tengah melakukan aksi mempertahan lahan garapannya.


Mereka yang hari ini melawan dan menentang penggusuran di Karawang sudah turun temurun menggarap lahannya. Mereka juga taat membayar pajak pada pemerintah. Tapi entah kenapa, Pengadilan Negeri (PN) Karawang, justru memutuskan bahwa 350 hektar tanah itu milik PT. Sumber Air Mas Pratama (PT. SAMP).


Kemarin sengketa itu meledak menjadi bentrokan. Beberapa petani ditangkap dan terluka. Mereka juga menuduh kepolisian menyembunyikan fakta penembakan yang dilakukan aparat. Ya, ribuan aparat kemarin berhadapan dengan para petani yang sedang mempertahankan haknya.


Memang, masalah menyoal tanah di negeri ini tak kunjung usai. Apa pula yang sebenarnya jadi keinginan pemerintah, kita semua juga tak tahu. Toh, nyatanya, sampai hari ini negeri ini juga belum menentukan mode produksinya. Sebagai negara agraris kah? Ataukah sebagai sebuah negara industri?


Dalam esainya yang terbit di majalah Tempo edisi 17 Juli 1982, Gus Dur mencoba mengaitkan pola “bermain bola negatif” yang sedang disukai  tim-tim peserta Piala Dunia 1982. Italia dan Jerman Barat, misalnya, kendati bermain jelek dan cenderung bertahan tim ini malah mampu lolos ke babak semifinal.


Tim-tim cenderung mencari kelemahan lawan, lantas mempertaruhkan serangan balik sebagai kelebihan. Piala Dunia pun menurun kualitasnya, menjadi industri pertukangan yang membosankan. Yang berlaku adalah sikap negatif : menahan gedoran lawan sambil mengintai kelemahan lawan.


Hal inilah yang menurut Gusdur tak beda jauh dengan sengketa agraria di negeri ini ?


“Pihak tuan tanah yang memiliki lahan pertanian luas (entah itu perorangan, 'keluarga besar' maupun perusahaan besar multi-nasional), tidak pernah 'menyerang' dengan sikap positif, mengajukan gagasan-gagasan berharga  untuk menjamin keadilan penguasaan tanah sebagai unit produksi.


Yang diambil adalah sikap negatif: tunggu saja gedoran kekuatan politik yang menghendaki penataan kembali pola pemilikan dan penguasaan tanah. Nanti toh akan ada kelemahannya," tulis Gus Dur.


Kalau masalah agraria dilakukan secara terpusat, maka akan banyak korupsi dan kolusi yang merugikan petani.


Gus Dur melanjutkan: “Akan banyak 'kemenangan' dicapai tuan-tuan tanah melalui  lubang-lubang peraturan dan cara kerja yang dianut birokrasi pemerintahan yang melaksanakan landreform itu sendiri.


Kalau didesentralisasikan, dengan jalan diserahkan kepada lembaga tingkat desa seperti LKMD, 'wakil-wakil' rakyat di tingkat desa itu akan dibeli dan di teror. Bukankah lalu mudah sekali dikandaskan  cita-cita mulia membagi kembali tanah pertanian, dan dicapai kemenangan di pihak tuan tanah?” tutup Gusdur.


Secara garis besar, lewat esai yang jika dibaca sekarang terasa futuristik ini, Gus Dur menegaskan bahwa perebutan tanah lahan pertanian sepanjang masa, selalu dimenangkan tim negatif.  Dan tim negatif ini biasanya diwakili oleh antek-antek kapitalis, perusahaan nasional, multi-nasional ataupun pemerintah atau yang keduanya saling bersekutu.


Apa yang dibicarakan Gusdur ada benarnya juga, lantas jika kita berbicara pada Piala Dunia tahun ini, toh dari 10 tim yang sudah memastikan lolos ke babak 16 besar, 4 di antaranya yakni Argentina, Belanda, Kosta Rika dan Yunani cenderung memainkan taktik yang memperbanyak pemain bertahan, lewat pola backthree di lini belakang.


Mereka lebih memilih menumpuk banyak pemain di belakang serta sesekali melakukan serangan balik. Efektif memang, mereka mampu menang tapi toh mereka kadang menang dengan cara membosankan.


Apa yang terjadi di Brasil seolah menggambarkan konflik antara PT Sumber Air Mas Pratama dengan 1.200 petani yang memperjuangkan hak-haknya.  Dan PT SAMP pun menyerang petani lewat serangan balik, memanfaatkan sesuatu celah yakni jalur hukum dan politik - jalur yang selamanya sukar bersahabat dengan para jelata.


Sialnya, PT SAMP mampu mendapatkan dua keuntungan. Ibarat mendapatkan hadiah penalti serta satu pemain lawan mesti diusir akibat terkena kartu merah itulah yang didapat PT SAMP. Sengketa yang mulanya hanya soal 77 hektar tanah, pengadilan malah "menghibahkan" 350 hektar untuk PT SAMP.


Kini PT SAMP pun cenderung bertahan dengan lini belakang yang kokoh. Ya, bagaimana tak kokoh coba, toh kini lini belakang mereka diisi oleh birokrasi, pengadilan dan 7000 anggota Brimob Polisi. Karena itu wajar saja, pertarungan antara petani Karawang dan PT SAMP ini selalu diidentikan sebagai laga David melawan Golliath.


Para petani Karawang boleh dikata mereka kini tertinggal 1 gol oleh pihak lawan, kemungkinan untuk membalas pun mungkin teramat sulit. Tetapi toh dalam sepakbola perjuangan mereka tak akan pernah berhenti sampai wasit meniup peluit tanda pertandingan usai.  Dan dalam kehidupan nyata, perlawanan mereka pun tak akan kelar sampai perjuangan dan mimpi mereka kembali terpenuhi, dan mungkin sampai Tuhan meniup peluit bahwa waktu mereka harus terhenti di bumi.


Selamat berjuang, kawan! Hormat dari Pandit Football Indonesia!


sumber foto: liputan6.com


(wam)

Komentar